ddd

Jika Yesus Kristus adalah orang gila, stress berat, tidak mungkin ada pengikutnya. Jika Yesus Kristus seorang penipu tidak mungkin Dia mau disalib. Kesimpulannya adalah Yesus Kristus adalah Tuhan Allah yang datang ke dunia menjadi manusia

Minggu, 28 Oktober 2012


Tugas Teologi Agama-Agama (Yahudi,Buddhis,Hindu)
Kelompok: Pdt. Evalina Simamora, Sofi,Teguh Pramono
PPST UKDW – Yogyakarta 2010

1.       Pandangan Yahudi terhadap Kristen

Pengantar

Kebanyakan orang Kristen, sepanjang sebagian terbesar dari sejarah Kristen telah bersikap sangat anti-Semitik. Prasangka anti-yahudi dan kebencian serta kekerasan yang dilahirkannya berakar sangat mendalam di dalam sejarah Kristen. Bahkan, pada abad ke-2 penolakan Kristen terhadap bangsa Israel jelas tampak dalam usulan Marcion (85-1650 agar orang Kristen tidak lagi menganggap Alkitab Ibrani sebagai Kitab Suci yang kanonik. Bersama dengan kecenderungan Kristen untuk menolak bangsa Israel sebagai umat pilihan Allah, timbul penafsiran Kristen atas laporan-laporan Perjanjian baru mengenai pengadilan dan penyaliban Yesus sebagai laporan tentang kesalahan orang Yahudi, tanggung jawab orang yahudi atas kejahatan pembunuhan terhadap Allah. Semua hal ini telah menjalin persepsi-persepsi Kristen tentang orang yahudi dan Yudaisme serta tanggapan mereka sejak permulaan sejarah Kristen sampai sekarang. Mau tidak mau mereka juga telah membentuk berbagai persepsi yahudi tentang orang Kristen dan kekristenan serta tanggapan-tanggapan mereka. Sulit bagi kita untuk merasakan hal yang lain kecuali kebencian dan rasa takut nterhadap mereka yang menjadi penganiaya kita, dan hampir tidak mungkin kita terlibat di dalam dialog keagamaan yang serius dengan mereka.
Dengan latar belakang ini, seharusnya orang Kristen sudah harus memahami mengapa kebanyakan diskusi Yahudi pada abad ke-20 tentang kekristenan terpusat kepada negara Israel dan Holocaust. Melalui pertimbangan terhadap sikap-sikap Kristen mengenai pembentukan negara Israel dan keberadaannya yang berkelanjutan, serta pembantaian 6 juta orang Yahudi oleh Nazi pada tahun 1940-an inilah orang-orang Yahudi dapat berusaha memperlihatkan kepada orang-orang Kristen di mana kesalahan mereka dalam mengembangkan pandangan-pandangan teologis tentang Yudaisme pada masa lampau, dan dengan demikian mendefinisikan pandangan-pandangan mereka mengenai kekristenan. Kekristenan dan orang Kristen telah menjadi ancaman bagi bertahannya orang-orang Yahudi dan bangsa Israel.
Dasar Teologis bagi Persepsi Yahudi tentang Kekristenan

Orang Yahudi menganggap diri mereka sebagai bangsa pilihan, bangsa yang mendapatkan janji-janji dan tugas-tugas khusus dari Allah. Tugas-tugas mereka itutersimpan dalam Torah, dalam hukum Allah; janji-janji yang menjamin bahwa pemilihan atas Israel tidak mungkin gagal dan bahwa kemurahan Allah pada akhirnya akan menang. Gagasan teologis yang dasariah di sini adalah gagasan tentang perjanjian: hubungan antara Allah dan umat Allah adalah suatu hubungan ketika pihak pembuat perjanjian dan pihak yang menerima perjanjian mempunyai hak, tugas, dan kewajiban. Peristiwa paradigmatik di dalam sejarah umat Yahudi dan pembentukan perjanjian ini adalah peristiwa pembebasan dari perbudakan di Mesir dan pemberian hukum ini kepada Musa di Sinai.
Oleh karena itu, orang Yahudi ditandai, dipisahkan dari semua orang lainnya. Mereka mempunyai hubungan yang khusus dengan Allah; tetapi, itu tidak berarti bahwa hanya orang Yahudi sajalah yang mempunyai hubungan perjanjian dengan Allah atau hanya orang Yahudi sajalah yang menerima janji-janji dan kemurahan Allah. Secara tradisisonal, kebanyakan orang Yahudi telah menegaskan bahwa semua orang berada dalam hubungan dengan Allah melalui perjanjian yang dibuat dengan Nuh, dan bahwa oleh karenanya semua orang mempunyai hak dan tugas di dalam hubungan mereka dengan Allah dan dapat memiliki peranan mereka di dalam rencana Allah bagi keselamatan seluruh umat manusia melalui penggenapan tugas-tugas mereka sendiri. Orang Yahudi terbuka untuk mengakui bahwa orang Kristen adalah orang-orang non-Yahudi dan semua orang non-Yahudi dapat memiliki hubungan seperti itu.
Gagasan-gagasan teologis tentang perjanjian dan pilihan, yang menjadi dasar pemahaman diri orang Yahudi, tidak membawa mereka kepada eksklusivisme. Gagasan-gagasan itu tidak menyebabkan orang Yahudi menganggap bahwa semua orang non-Yahudi mendapat murka Allah; tidak pula membuat mereka menganggap bahwa orang-orang non-Yahudi sebaikanya dijadikan Yahudi. Dorongan untuk melakukan dialog antar-agama tidak dirasakan secara mendalam, dan para intelektual dan teolog Yahudi, biasanya, bukanlah para pelopor yang mengembangkan. Dalam hampir seluruh sejarah Yahudi, orang Kristen telah menaruh minat terhadap orang yahudi terkait dengan hal-hal yang bersifat praktis dan politik, tetapi jarang sekali dengan hal-hal yang bersifat teologis.
Orang Kristen, mungkin saja dianggap oleh orang-orang yahudi sebagai orang-orang yang hidup dalam perjanjian. Bagi kebanyakan orang Yahudi, orang-orang Kristen pun harus dianggap sebagai orang-orang yang memiliki kekeliruan-kekeliruan konsep teologis yang cukup dasariah. Pertama, tentang apakah tepat menyebut Yesus sebagai Sang Mesias, Dia yang diurapi dari antara orang-orang Yahudi dan penggenapan janji-janji Allah kepada umat Israel. Untuk pertanyaan ini, hampir semua orang Yahudi memberikan jawaban yang negatif dan tegas bahwa Yesus bukan dan tidak dapat disebut Sang Mesias, dan menganggap bahwa Kitab Suci Ibrani dalam cara apa pun mengacu atau menunjuk kepadanya adalah suatu kekeliruan mendasar dalam membaca teksnya. Yesus tidak menanggapi pengharapan-pengharapan mesianik tradisisonal orang-orang Yahudi.   Kedua, pertanyaan tentang status Yesus dari Nazaret sebagai Mesias, orang Yahudi selalu menolak hal itu, bahwa Yesus adalah Allah yang menjelma menjadi manusia, pribadi kedua dari Tritunggal, karena hal ini bagi kebanyakan orang Yahudi tampak sebagai klaim yang paling konyol dan berhala. Allah bukanlah berhala, bukan objek fisik, dan sudah barang tentu bukanlah manusia yang terdiri atas darah dan daging. Menganggap bahwa Allah bisa menjadi seperti itu, secara tegas adalah berhala.

Negara Israel dan Holocaust

Negara Israel efektif berdiri sebagai sebuah entitas politik yang independen pada tahun 1947-1948 setelah upaya Jerman Nazi untuk membersihkan Eropa dari semua orang Yahudi. Meditasi dan pertisipasi dalam seluruh kompleks peristiwa ini telah berada di pusat sebagian besar upaya orang Yahudi untuk mengembangkan sebuah pandangan Yahudi tentang kekristenan sejak itu. Bahkan sebelum Perang Dunia II dan Holocaust – dan hal ini tampak jelas dalam cuplikan dari surat-surat Franz Rosenzweig kepada Eugen Rosenstock-Huessy – tanggapan-tanggapan orang Yahudi terhadap kekristenan sangat dipengaruhi oleh persepsi-persepsi tentang “dogma Kristen” tentang kedegilan orang Yahudi, sebagaimana dikatakan oleh Rosensweig, dan tentang anti-Semitisme yang terjadi berbarengan dengan hal itu. setelah tahun 1947, praktis tidak mungkin bagi pemikir Yahudi manapun untuk menulis tentang kekristenan tanpa berpaling kepada peristiwa-peristiwa ini. Alasan jelasnya adalah Gereja-gereja Kristen dianggap, bahkan sampai sekarang, oleh orang-orang Yahudi ikut bertanggung jawab atas Holocaust. Baik Vatikan maupun gereja-gereja Protestan di Eropa tidak membuat usaha bersama untuk melawan fasisme, bahkan ketika mereka tahu tentang “solusi akhir” Hitler terhadap masalah Yahudi. Baik Inggris maupun Amerika Serikat gagal mengarahkan upaya-upaya militer untuk mengakhiri operasi kamp-kamp maut, bahkan ketika mereka dengan mudah dapat melakukannya. Akar-akar anti-Semitisme Nazi dalam anti-Semitisme Kristen tampak sangat jelas. Sejak tahun 1950-an telah berkembang dua jenis persepsi dan tanggapan orang Yahudi terhadap orang Kristen dan kekristenan sehubungan dengan masalah Holocaust dan negara Israel. 
·      Bersifat menyerang dan konfrontatif. Kekristenan dipandang sebagai penyumbang utama terhadap anti-Semitisme, dan pada gilirannya anti-Semitisme dipandang sebagai bukti dari masalah dasariah dalam kekristenan. Sebuah tema yang muncul berulang-ulang ialah bahwa orang Kristen adalah orang kafir, bukan orang yang sungguh-sungguh religius. Karena itu, orang-orang Yahudi cenderung menuntut pertobatan radikal dari orang Kristen. Hanya apabila orang Kristen dapat mentarnsformasikan sikap anti-Semitisme mereka yang tradisional, dapat meyahudikan diri mereka kembali dan belajar untuk membangun iman mereka dalam hubungan dengan Yudaisme, maka ada harapan bagi orang Kristen menjadi umat Allah.
·      Bersifat bersahabat dan liberal. Harus diakui dan disayangkan bahwa orang Kristen terlibat di dalam peristiwa Holocaust. Namun, harus dihargai juga bahwa ada kebajikan-kebajikan dari orang Kristen, terlepas dari hubungannya dengan Yudaisme. Di sini, biasanya ada sebuah seruan untuk kembali kepada warisan Kitab Suci yangsama, pada peribadahan kepada Allah yang sama, dan kepada kemungkinan kerja sama Kristen yahudi di masa depan.
Dalam pandangan ini, kekristenan bukan hanya suatu mitra dialog, melainkan juga pemolong aktif. Orang Kristen dapat menjadi cermin bagi orang Yahudi, karena mereka mewakili salah satu aspek dari maksud Allah, seperti halnya orang Yahudi bagi orang Kristen.[1]




1.1      Franz Rosenzweig

Dalam surat-suratnya kepada Rosenstock-Huessy, seorang Kristen dan filsuf, Rosenzweig berusaha mendefinisikan ulang dan membatasi Yudaisme dengan menggunakan kekristenan sebagai sebuah lapisan. Ia mengatakan bahwa Gereja “membutuhkan orang-orang Yahudinya” dan bahwa “kedegilan orang-orang Yahudi, demikian dapat dikatakan, adalah sebuah dogma Kristen”. Ia juga menekankan kemampuan orang-orang Yahudi untuk menderita. Bahwa kedegilan orang-orang Yahudi memang sesungguhnya adalah sebuah dogma Kristen, dan bahwa dari dogma ini dan dogma-dogma lainnya yang terkait dengannya itu, muncul sikap anti-Semitismenya. Upaya-upaya orang Kristen untuk menyisihkan keyahudian dari orang-orang Yahudi dengan menobatkan mereka, bagi Rosenzweig, hal itu merupakan sebuah upaya untuk menyisihkan identitas orang-orang yahudi sebagai manusia. Sebagaimana yang dikatakannya, “kapal layar” Yudaisme adalah “kapal layar”-nya; ia tidak mungkin meninggalkannya untuk berganti agama, karena ia telah dipanggil untuk hal itu.
Menurut dogmatis Yahudi, kekristenan dipandang sebagai penyiap jalan yang miskin, artificial dan terlalu penuh dengan upacara bagi Yudaisme. Orang Kristen harus belajar apa yang diketahui secara otomatis oleh orang-orang Yahudi, bahwa Allah adalah bapa mereka. Orang Yahudi, sesungguhnya lebih dekat kepada Allah. Tuntutan yang ditempatkan Rosenzweig kepada Rosenstock-Huessy dan pada semua orang Kristen adalah bahwa orang-orang yahudi diberikan kemerdekaan untuk menjadi apa adanya, untuk mengayuh kapal mereka ke mana pun arah yang mereka inginkan. Sesudah itu, maka perjumpaan yang bebas antara Yudaisme dan kekristenan – atau lebih tepatnya, antara orang-orang Yahudi dan Kristen – “di laut terbuka” dapat terjadi.[2]



1.2      Abraham Joshua Heschel

Dalam esainya, Heschel berdebat tentang perlunya suatu asosiasi agam-agama mengikuti model Perserikatan Bangsa-Bangsa, sebuah perhimpunan yang di dalamnya otonomi maupun perbedaan-perbedaan diakui dan dihormati, tetapi yang di dalamnya juga tidak boleh ada ancaman terhadap kelanjutan eksistensi siapa pun dari pesertanya. Heschel berhati-hati, namun bersikap optimis dalam perspektifnya tentang kekristenan. Ia mengakui perbedaan-perbedaan yang mendalam dan tidak dapat dipertemukan; tetapi, ia juga menekankan kemungkinan untuk hidup bersama dan dialog yang bermanfaat. Secara khusus ia memperdebatkan mengenai perlunya pengakuan dari pihak orang-orang Kristen atas akar keyahudian mereka dan pengakuan dari pihak orang-orang Yahudi bahwa mereka berutang kepada orang Kristen atas keberhasilan mereka dalam menyebarkan pengetahuan tentang Allah Abraham di seluruh dunia. Orang Kristen dan Yahudi menyembah Allah yang sama dan mengakui sekumpulan teks suci yang pada umumnya diakui sama; masing-masing mempunyai kekayaan yang dapat diajarkan kepada pihak yang lainnya.
Menurut Heschel, masalah utamanya sekarang bukanlah halakah untuk orang Yahudi ataupun gereja untuk orang Kristen – melainkan premis yang ada di balik kedua agama ini, yakni apakah ada pathos, sebuah realitas ilahi yang berkaitan dengan arah tujuan manusia yang secara misterius menerobos ke dalam sejarah; masalah utama adalah apakah kita hidup atau mati terhadap tantangan dan tuntutan dari Allah yang hidup. Krisis ini mencekam kita semua. Penderitaan dan ketakutan karena keterasingan dari Allah membuat orang Yahudi dan Kristen menangis bersama-sama.
Orang Yahudi dan Kristen sama-sama ikut menanggung bahaya dan rasa takut; kita sama-sama berdiri di tepi jurang. Kesalingtergantungan kondisi-kondisi politik dan ekonomi di seluruh dunia adalah kenyataan mendasar dari situasi bersama. Kekacauan di sebuah negara kecil yang tidak dikenal di bagian mana pun dari dunia ini, membangkitkan kecemasan di antara bangsa-bangsa di seluruh dunia.
Agama-agama dunia tidak lagi mampu hidup mandiri, tidak lagi independen, tidal lebih terpisah dari individu-individu atau bangsa-bangsa. Energi, pengalaman, dan gagasanyang hidup di luar batas-batas suatu agama tertentu atau semua agama terus-menerus menantang dan mempengaruhi setiap agama. Tidak ada agama yang dapat hidup sendirian. Kita semua terlibat satu sama lain. Pengkhinatan rohani dari salah satu pihak di antara kita mempengaruhi iman kita semua. Pandangan-pandangan yang diterima di sebuah komunitas mempunyai pengaruh terhadap komunitas-komunitas lainnya. Isolasionisme agama pada masa kini adalah mitos. Dengan segala perbedaan yang mendalam di dalam perspektif dan substansinya, cepat atau lambat Yudaisme akan dipengaruhi oleh peristiwa-peristiwa intelektual, moral, dan rohani di dalam masyarakati Kristen, dan juga sebaliknya.
Dasar yang paling utama bagi setiap orang yang mempunyai komitmen keagamaan yang berbeda-beda untuk saling berjumpa adalah kita berjumpa sebagai manusia yang mempunyai begitu banyak kesamaan: hati, wajah, suara, kehadiran jiwa, rasa takut, pengharapan, kemampuan untuk percaya, kapasitas untuk berbelas kasih dan memahami, tali persaudaraan sebagai umat manusia. Manusia adalah penyingkapan dari Yang Ilahi dan semua orang adalah satu di dalam pemeliharaan yang Allah berikan untuk manusia. Banyak hal di muka bumi ini yang berharga, sebagian di antaranya kudus. Umat manusia adalah yang terkudus dari semua yang kudus.
Tujuan utama dari sebuah refleksi adalah mencari tahu bagaimana seorang Yahudi dan Kristen dari komitmennya dapat menemukan sebuah basiskeagamaan untuk berkomunikasi dan bekerja sama dalam hal-hal relevan bagi kepedulian moral dan rohani mereka meskipun ada ketidaksepakatan di antara mereka. Heschel mengusulkan bahwa dasar yang paling utama dari perjumpaan di antara orang-orang yang berasal dari tradisi keagamaan yang berbeda adalah pada tingkat rasa takut dan gentar, pada tingkat kerendahan hati dan penyesalan, ketika momen iman peribadi kita hanyalah gelombang di tengah samudera umat manusia yang berupaya mencapai Allah, ketika semua rumusan dan pengungkapan tampak sebagai pernyataan yang remeh, katika jiwa kita di sapu oleh kesadaran atas adanya desakan untuk menjawab perintah Allah, sementara kita dilucuti dari segala kepura-puraan dan kesombongan, kita merasakan kekurangan yang tragis dari iman manusia.
Yang paling penting adalah walaupun dogma dan bentuk-bentuk ibadah berbeda, tetapi Allah tetap sama. Orang Kristen harus sadar bahwa dunia tanpa Israel adalah dunia tanpa Allah. Orang Yahudi harus mengakui juga peranan dan bagian penting kekristenan di dalam rencana Allah untuk menebus seluruh umat manusia. Tujuan komunikasi keagamaan di antar orang-orang yang memiliki komitmen iman yang berbeda adalah saling memperkaya dan meningkatkan rasa saling menghormati dan penghargaan, bukan mengharapkan bahwa orang yang diajak berbicara itu akan terbukti salah dalam apa yang dianggapnya sebagai hal-hal yang kudus. Dialog tidak boleh merosot menjadi sebuah pertikaian, menjadi upaya masing-masing pihak untuk menguasai yang lainnya. Memang ada jurang yang dalam antara orang Kristen dan Yahudi, misalnya tentang keilahian dan kemesiasan Yesus. Namun, di seberang jurang itu, kita dapat saling mengulurkan tangan.
Agama adalah sarana dan bukan tujuan. Agama akan berubah menjadi berhala jika dianggap sebagai tujuan. Di atas dan mengatasi segala makhluk berdirilah sang Pencipta dan Tuhan atas sejarah, Dia yang mengatasi segala-galanya. Menyamakan Tuhan dengan agama adalah penyembahan berhala. Mungkin sudah menjadi kehendak Allah bahwa di dalam zaman ini harus ada kepelbagaian bentuk ibadah dan komitmen kepada-Nya. Di dalam zaman kepelbagaian agama inilah kita menemukan kehendak Allah. Manusia di seluruh dunia, meskipun mereka mengakui konsepsi yang berbeda-beda tentang Allah, sesungguhnya benar-benar menyembah Allah yang sama atau Esa, Bapa seluruh umat manusia, meskipun mereka mungkin tidak menyadarinya.
Tujuan kerja sama antar agama adalah bukan untuk saling memuji atau membantah, melainkan untuk saling menolong; untuk berbagi mata hati dan pengetahuan, untuk bekerja sama dalam upaya-upaya akademik pada tingkat keilmuan yang tertinggi dan yang lebih penting adalah untuk mencari sumber-sumber air devosi di padang gurun, mencari harta keteduhan, mencari kuasa kasih dan kepedulian terhadap manusia.[3] 

1.3           Stuart E. Rosenberg

Dalam esainya ini, Rosenberg mengambil akar-akar Holocaust dalam sejrah dan doktrin-doktrin kekristenan serta menyajikan kembali peristiwa-peristiwa tahun 1930-an dan 1940-an di Eropa sebagai akibat langsung dan wajar dari doktrin Kristen. Ia menyangkal bahwa Nazisme adalah sebuah penyimpangan anti-Kristen, tetapi lebih suka menggambarkannya sebagai sebuah perkembangan yang alamiah dari anti-Semitisme Kristen yang tradisional. Untuk membuktikannya, ia menarik paralel antara parktik-praktik anti-Yahudi pada Abad Pertengahan oleh gereja dan langkah-langkah yang diambil oleh Jerman di bawah Hitler. Rosenberg juga menunjuk, dengan retorika yang sangat penuh dengan bumbu, kepada “tiga kebisuan” orang Kristen, yaitu kebisuan kolusi dengan sikap anti-Semitisme Hitler; kebisuan tentang akar-akar Kristen bagi sikap anti-semitisme Nazi dalam tahun-tahun segera setelah berakhirnya Perang Dunia II; kebisuan dalam menghadapi berbagai ancaman negara-negara Arab untuk menghancurkan negara Israel pada tahun 1967 dan sesudahnya. Bagi orang Yahudi, Holocaust bukan hanya peristiwa terpenting yang pernah membentuk pandangan orang Yahudi tentang diri mereka sendiri, tetapi juga seharusnya memainkan peranan yang sama bagi orang Kristen. Hal ini terutama sekali karena ia memperlihatkan – atau seharusnya memperlihatkan – kepada orang Kristen batapa dekatnya mereka kepada kekafiran, penyembahan berhala, dan penghujatan yang berjalan berdampingan dengannya.
Menurut Rosenberg, kita tidak dapat melupakan bahwa ada martir Kristen yang dengan rela menempatkan nyawa mereka dengan sengaja, atau bahkan mengorbankan diri sendiri, dengan harapan agar mereka dapat menyelamatkan tetangga mereka yang Yahudi. Orang Yahudi khususnya mengenang mereka. Di Yerusalem ada tugu peringatan nasional untuk mengenang 6 juta orang Yahudi yang menjadi korban pada masa Holocaust – terdapat sebuah tempat kehormatan bagi “orang bukan Yahudi yang baik hati”, demikian sebutan dalam tradisi Yahudi bagi mereka yang mendukung upaya keadilan dan belas kasih dengan cara-cara agama mereka sendiri.
Kardinal John O’Connor memperingatkan bahwa orang Kristen membutuhkan orang Yahudi untuk menolong menyalakan di dalam ingatan mereka apa saja yang mungkin mereka lupakan. Dialog keagamaan dapat memainkan peranan penting di dalam menolong orang Kristen untuk mendengarkan kesaksian dari seorang “saksi” penting – si Yahudi sebagai pemberi peringatan. Bila kita mengharapkan dialog sejati dan rekonsiliasi, “kenangan-kenangan” ini harus dihadapi secara terbuka dan dijelajahi sepenuhnya. Holocaust harus terus memperingatkan kedua belah pihak mengenai suatu kebenaran yang hakiki dan kekal: Kedua belah pihak saling membutuhkan; kedua belah pihak harus mampu mengandalkan yang lainnya. Bersama-sama orang Kristen dan Yahudi harus mampu berdiri. Dengan berdiri bersama, keduanya akan menyadari bahwa mereka dapat mempersatukan suara mereka.[4]
1.4           Michael Wyschogrod

Dalam esainya, Wyschogrod berbicara sebagai seorang Yahudi kepada orang-orang Kristen evangelikal. Orang Kristen evangelikal di Amerika Serikat kurang aktif dalam dialog antar agama dibandingkan dengan kelompok Kristen lainnya. Hal ini umumnya disebabkan oleh kecenderungan-kecenderungan mereka terhadap literalisme alkitabiah (fundamentalisme) dan eksklusivisme radikal mereka dalam soal keselamatan. Pandangan-pandangan seperti itu membuat dialog kurang bernilai, kecuali bila ia dilihat sebagai pengantar kepada pertobatan mitra kita di dalam dialog.  Wyschogrod, tanpa masuk ke dalam diskusi tentang masalah-masalah sistematik yang terkandung di dalam posisi evangelikal, mencoba memperlihatkan bahwa ada masalah-masalah khusus bagi kaum evangelikal dalam menjelaskan orang Yahudi dan Yudaisme, bahkan apabila semua praduga evangelikal diterima.
Ia mulai dengan penilaian tertinggi pada Pentateukh, dengan menganggap serius Pentateukh berarti menuntut penanganan yang sungguh-sungguh terhadap janji-janji Allah kepada orang Israel. Orang-orang yahudi adalah bangsa pilihan Allah. Pilihan Allah terhadap orang yahudi, tetap merupakan kenyataan dan harus diakui demikian oleh orang-orang Kristen evangelikal dalam praduga-praduga mereka sendiri. Orang Yahudi telah mempunyai apa telah diperoleh orang Kristen melalui kesetiaan mereka kepada Kristus dan oleh karenanya orang Kristen sebaiknya menyadari bahwa janji keselamatan yang mereka miliki melalui kematian Kristus yang menebus semata-mata menjanjikan kepada orang Kristen apa yang sudah dijanjikan kepada orang Yahudi.
Nilai utama dari tulisan ini adalah untuk menghancurkan streotip Kristen tentang Yudaisme sebagai agama hukum dan keadilan yang tidak mengenal belas kasih, dan bahwa ia melakukannya dengan memperhitungkan secara sungguh-sungguh praduga-praduga tentang tindakan Allah yang dipegang baik oleh orang Yahudi maupun Kristen. Kesungguhan alkitabiah ini menuntut kesungguhan pada pihak orang Kristen tentang keyahudian mereka.

Kesimpulan & Tanggapan
  1. Persepsi-persepsi yahudi terhadap kekristenan pada abad ke-20 terpusat pada sikap-sikap Kristen terhadap Holocaust dan pendirian serta keberadaan negara Israel yang berlanjut. Mereka cenderung memandang orang Kristen pada dasarnya sebagai anti-Semitis, sebagai orang-orang yang sangat keliru dalam pemahaman teologisnya tentang hakikat dan signifikansi Yesus dari Nazaret, dan arena pemahaman super-sesionis mereka yang keliru terhadap hubungan-hubungan antara Yudaisme dan kekristenan.
  2. Kelompok setuju dengan apa yang dikatakan oleh Heschel bahwa “Agama-agama dunia tidak lagi mampu hidup mandiri, tidak lagi independen, tidak lebih terpisah dari individu-individu atau bangsa-bangsa. Energi, pengalaman, dan gagasanyang hidup di luar batas-batas suatu agama tertentu atau semua agama terus-menerus menantang dan mempengaruhi setiap agama. Tidak ada agama yang dapat hidup sendirian. Kita semua terlibat satu sama lain. Pengkhinatan rohani dari salah satu pihak di antara kita mempengaruhi iman kita semua. Pandangan-pandangan yang diterima di sebuah komunitas mempunyai pengaruh terhadap komunitas-komunitas lainnya. Isolasionisme agama pada masa kini adalah mitos. Dengan segala perbedaan yang mendalam di dalam perspektif dan substansinya, cepat atau lambat Yudaisme akan dipengaruhi oleh peristiwa-peristiwa intelektual, moral, dan rohani di dalam masyarakat Kristen, dan juga sebaliknya.”
  3. Pada masa sekarang, bukan lagi masanya untuk masing-masing agama saling menunjukkan kebenarannya sendiri, tetapi bagaimana setiap agama yang ada sekarang saling terbuka satu sama lain. Dengan bersikap terbuka, maka setiap agama yang ada dapat saling belajar untuk menambah pengetahuan dan pemahaman tentang agama yang lain. Karena, tentunya dalam setiap agama ada hal-hal yang baik yang dapat dipelajari. Setiap agama mempunyai kebenaran masing-masing; kebenaran bukan merupakan hak paten dari suatu agama tertentu.
  4. Artikel-artikel dari para penulis, sebenarnya ingin mengatakan kepada kita sebuah teguran yang halus bahwa sudah saatnya untuk orang Kristen mau dan dapat membuka diri untuk belajar dari agama-agama yang lain; karena, di dalam agama Kristen pun, mungkin saja terdapat kekeliruan-kekeliruan kecil yang dapat diperbaiki oleh agama yang non-Kristen.
  5. Dialog antar agama adalah hal yang paling penting pada zaman sekarang, dengan berdialog maka setiap agama dapat belajar untuk saling menghormati dan menghargai; untuk dapat saling belajar dan melengkapi satu sama lain. Dengan dialog, dapat mengurangi kecurigaan-kecurigaan tertentu yang selama ini ada, yang dapat menjadi pemicu timbulnya konflik karena sebuah kesalahpahaman.
 2. Pandangan Buddhis Terhadap Kristen
Pendahuluan:[5]
Dalam sebuah artikel terdapat kutipan yang isinya memandang Sang Budha secara positif. Saya tidak tahu ada latar belakang apa dari pernyataan-pernyataan tersebut, namun barangkali karena yang mengutip itu adalah seorang Buddhis maka dia hanya mengutip hal-hal yang positif tentang Agamanya. Berikut ini adalah beberapa kutipan itu:[6]
Saya sendiri tidak dapat merasakan bahwasanya, baik dalam hal kebijaksanaan maupun dalam hal kebajikan, Kristus berdiri sama tinggi dengan sejumlah orang lainnya yang dikenal sejarah .saya pikir saya semestinya menempatkan Sang Buddha di atas Kristus dalam kedua hal tersebut.
(Bertrand Russell, .Why I am not a Christian.)
Salah seorang dari para sarjana pertama yang memulai pekerjaan menerjemahkan Literatur Pali ke dalam bahasa Inggris, adalah putra dari seorang pastur terkenal. Tujuannya menerima pekerjaan tersebut adalah untuk membuktikan superioritas Kristen terhadap agama Buddha. Ia gagal dalam tugas tersebut, tetapi ia memperoleh suatu kemenan gan yang lebih besar daripada yang ia harapkan. Ia menjadi seorang penganut Buddha. Kita tidak boleh pernah melupakan kesempatanyang membahagiakan itu yang telah mendorong ia untuk menerima pekerjaan tersebut, dan dengan demikian membuat Dhamma yang berharga ini dapat dinikmati oleh ribuan orang di Barat. Nama dari sarjana besar ini adalah Dr. Rhys Davids.
(Ven. A. Mahinda, .Blue Print of Happines.)
Inilah sang bunga yang tumbuh pada pohon kemanusiaan kita, Yang bermekaran beribu . ribu tahun, dan merekahnya, memenuhi dunia dengan harumnya kebijaksanaan dan tetesan madu cinta kasih.
(Sir Edwin Arnold, .Light Of Asia.)
Apa yang disampaikan diatas adalah sebagian dari bagaimana kesan umat Buddhis kepada agama Kristen pada masa kini. Sebenarnya perjumpaan antara Buddhis dengan Kristen sudah dimulai sejak hampir permulaan era Kristen dimana nama Budha disebut Klemens dari Alexandria pada sekitar abad kedua, serta dengan perkembangan perdagangan yang relatif bebas dan terbuka antara apa yang kini disebut Timur Tengah dan daerah – daerah lainnya jauh di Timur, dimana saat itu Buddhisme cukup berkembang – hubungan antara orang Kristen dan Buddhis cukup sering terjadi.
Dengan intensitas pertemuan tersebut tidak banyak tersisa literatur yang dihasilkan oleh para intelektual dari kedua tradisi. Meski pada kenyataannya orang Kristen di Alexandria cukup mengenal Buddhisme, namun pengetahuan ini tetap bersifat fragmentaris dan tidak akurat selama lima belas abad berikutnya, dan Buddhisme mempunyai pengaruh yang tidak langsung terhadap kekristenan sampai permulaan ekspansi kolonial Eropa pada abad ke 16. Gagasan- Gagasan Buddhis atau tema-tema sastera Buddhis dikenal atau diterima melalui perantara : zoroastrianisme yang merupakan perantara sejumlah gagasan Buddhis ke Dunia Barat yang Kristen, seperti halnya juga sebagian dari gerakan gnostik. Sejumlah fabel Buddhis terasimilasi ke dalam pemikiran Kristen melalui rantai transmisi yang panjang dan rumit walaupun kini orang tidak lagi mengetahui bahwa itu dahulunya adalah bagian dari Buddhisme.[7]
Sejarah Singkat Agama Budha
Agama Buddha lahir di India `tepatnya di wilayah Nepal sekarang. Agama ini lahir sebagai reaksi terhadap agama Brahmanisme[8]. Sejarah agama Buddha mulai dari abad ke-6 SM sampai sekarang dari lahirnya Buddha Siddharta Gautama. Agama ini adalah salah satu agama tertua yang masih dianut di dunia. Agama Buddha berkembang dengan unsur kebudayaan India, ditambah dengan unsur-unsur kebudayaan Helenistik (Yunani), Asia Tengah, Asia Timur dan Asia Tenggara. Dalam proses perkembangannya, agama ini praktis telah menyentuh hampir seluruh benua Asia dan telah menjadi agama mayoritas di beberapa negara Asia seperti Thailand, Singapura, Kamboja, Myanmar, Taiwan, dsb.
Pencetusnya ialah Siddhartha Gautama yang dikenal sebagai Gautama Buddha oleh pengikut-pengikutnya. Ajaran Buddha sampai ke negara Tiongkok pada tahun 399 Masehi, dibawa oleh seorang bhiksu bernama Fa Hsien. Masyarakat Tiongkok mendapat pengaruhnya dari Tibet disesuaikan dengan tuntutan dan nilai lokal. Setiap aliran Buddha berpegang kepada Tripitaka sebagai rujukan utama karena dalamnya tercatat sabda dan ajaran sang hyang Buddha Gautama. Pengikut-pengikutnya kemudian mencatat dan mengklasifikasikan ajarannya dalam 3 buku yaitu Sutta Piaka (kotbah-kotbah Sang Buddha), Vinaya Piaka (peraturan atau tata tertib para bhikkhu) dan Abhidhamma Piaka (ajaran hukum metafisika dan psikologi).[9]
Sekelumit tentang Buddhisme:
Buddhis tidak menganut paham Teistik, Buddhisme tidak memiliki theologi dan bukan juga sebagai iman percaya karena Buddhis tidak menekankan pada kepercayaan namun pada napak tilas jalan kerohanian (following a spiritual path)[10]. Perlu ditekankan juga bahwa Buddha bukan Tuhan. Konsep ketuhanan dalam agama Buddha berbeda dengan konsep dalam agama Samawi dimana alam semesta diciptakan oleh Tuhan dan tujuan akhir dari hidup manusia adalah kembali ke surga ciptaan Tuhan yang kekal.
Ketahuilah para bhikkhu bahwa ada sesuatu Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak.  Duhai para Bhikkhu, apabila tidak ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Diciptakan, Yang Mutlak, maka tidak akan mungkin kita dapat bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu. Tetapi para bhikkhu, karena ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak, maka ada kemungkinan untuk bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu.
Ungkapan di atas adalah pernyataan dari Buddha yang terdapat dalam Sutta Pitaka, Udana VIII : 3, yang merupakan konsep Ketuhanan Yang Mahaesa dalam agama Buddha. Ketuhanan Yang Mahaesa dalam bahasa Pali adalah Atthi Ajatang Abhutang Akatang Asamkhatang yang artinya "Suatu Yang Tidak Dilahirkan, Tidak Dijelmakan, Tidak Diciptakan dan Yang Mutlak". Dalam hal ini, Ketuhanan Yang Maha Esa adalah suatu yang tanpa aku (anatta), yang tidak dapat dipersonifikasikan dan yang tidak dapat digambarkan dalam bentuk apa pun. Tetapi dengan adanya Yang Mutlak, yang tidak berkondisi (asamkhata) maka manusia yang berkondisi (samkhata) dapat mencapai kebebasan dari lingkaran kehidupan (samsara) dengan cara bermeditasi.
Dengan membaca konsep Ketuhanan Yang Maha Esa ini, kita dapat melihat bahwa konsep Ketuhanan dalam agama Buddha adalah berlainan dengan konsep Ketuhanan yang diyakini oleh agama-agama lain. Perbedaan konsep tentang Ketuhanan ini perlu ditekankan di sini, sebab masih banyak umat Buddha yang mencampur-adukkan konsep Ketuhanan menurut agama Buddha dengan konsep Ketuhanan menurut agama-agama lain sehingga banyak umat Buddha yang menganggap bahwa konsep Ketuhanan dalam agama Buddha adalah sama dengan konsep Ketuhanan dalam agama-agama lain.
Bila kita mempelajari ajaran agama Buddha seperti yang terdapat dalam kitab suci Tripitaka, maka bukan hanya konsep Ketuhanan yang berbeda dengan konsep Ketuhanan dalam agama lain, tetapi banyak konsep lain yang tidak sama pula. Konsep-konsep agama Buddha yang berlainan dengan konsep-konsep dari agama lain antara lain adalah konsep-konsep tentang alam semesta, terbentuknya Bumi dan manusia, kehidupan manusia di alam semesta, kiamat dan Keselamatan atau Kebebasan.
Di dalam agama Buddha tujuan akhir hidup manusia adalah mencapai kebuddhaan (anuttara samyak sambodhi) atau pencerahan sejati dimana roh manusia tidak perlu lagi mengalami proses tumimbal lahir[11]. Untuk mencapai itu pertolongan dan bantuan pihak lain tidak ada pengaruhnya. Tidak ada dewa - dewi yang dapat membantu, hanya dengan usaha sendirilah kebuddhaan dapat dicapai. Buddha hanya merupakan contoh, juru pandu, dan guru bagi makhluk yang perlu melalui jalan mereka sendiri, mencapai pencerahan rohani, dan melihat kebenaran & realitas sebenar-benarnya.[12]
Bagi Buddhisme, Sang Budha adalah seorang model yang mana setiap kita perlu mencapainya. Budha memberi penekanan bahwa pengajaran – pengajarannya tidaklah “diwahyukan” dan hanya bernilai sebagai petunjuk untuk menolong kita sampai kepada suatu tempat.[13] Poin penting adalah bahwa doktrin-doktrin Buddhis dan praktik-praktiknya tidaklah sakral pada dirinya sendiri tetapi berfungsi untuk membantu transformasi diri (self transformation).
Bagi Buddhisme yang merupakan isu utama bukanlah bagaimana kebaikan bertarung melawan kejahatan tetapi kebangunan dari ketidak pedulian kepada kesadaran keterhubungan yang penting kita kepada semua orang [14] Usaha – usaha kita untuk mengatasi penderitaan orang-orang yang dieksplotasi haruslah didasarkan pada perhatian bukan hanya bagi orang miskin tetapi juga kepada mereka yang kaya yang mengisolir dan tersilap yang tidak peduli kepada orang yang kelaparan.
Buddhisme disimpulkan sebagai agama yang mengakui kehidupan yang berikutnya, nilai-nilai moral, kebebasan dan tanggung jawab, keselamatan yang tidak otomatis, dan juga dapat dibuktikan benar[15]
Definisi Buddhis tentang “pandangan yang benar mengenai kehidupan” (samma ditthi) mencakup keyakinan yang mendasar dan nilai dari agama – agama yang lebih tinggi. Definisi itu berbunyi sebagai berikut: “ada nilai korban dalam amal, kurban dan persembahan; ada kehidupan yang berikutnya dan pembalasan untuk perbuatan-perbuatan yang baik dan yang jahat; ada kewajiban-kewajiban moral dan ada guru-guru agama, yang menjalani kehidupan yang baik dan yang telah memberitakan dengan mata hati dan pemahaman pribadi mereka yang lebih baik tentang hakikat dunia ini dan dunia di seberang sana.[16]
Buddhis dan Hubungannya dengan Agama Lain

Pandangan Buddhis tentang doktrin keagamaan sebagai sarana untuk transformasi dan bukan sebagai gambaran tentang realitas, diilustrasikan oleh sebuah perumpamaan standar, yakni sebuah rakit yang mana setelah rakit tersebut dipakai untuk melintasi dari tepian sebuah bentangan air yang luas yang berbahaya dan menakutkan (samsara) ke tepian diseberang lain dengan yang aman dan tidak menakutkan (nirvana), apakah rakit itu akan terus dibawa atau ditinggalkan karena jasanya. Dari gambaran ini Buddhis mengambil kesimpulan bahwa doktrin-doktrin keagamaan: apabila kegunaannya, fungsinya, telah habis seandainya tetap melekat padanya maka hal itu akan menghalangi kemajuan. Pada titik itu menurut Buddhis, doktrin itu harus disingkirkan. Pandangan mengenai hal ini juga mempengaruhi cara umat Buddhis di dalam memandang doktrin dari praktik umat non Buddhis sehingga pada akhirnya mereka membedakan agama menjadi “agama yang memuaskan” dan “yang tidak memuaskan”[17]. Sallie King membahas hal yang sama dengan menyatakan bahwa dengan demikian agama adalah hanya merupakan sarana saja yang membawa seseorang dari keadaan saat ini kepada keadaan pencerahan. Agama bukanlah akhir tetapi agama adalah sarana.[18] Dengan demikian maka dapat disimpulkan bahwa Buddhisme adalah sarana terbaik dimana orang dapat mencapai pencerahan.[19]
Dalam menyatakan sikapnya terhadap berbagai jenis agama, Buddhisme menganggap sebagian dari agama-agama pengganti itu berada dalam pijakan yang sama dengan agama-agama praktis (brahmacariyavasa). Dalam Sandaka Sutta, Ananda, yang melaporkan gagasan – gagasan Sang Buddha, mengatakan bahwa di dunia ini ada empat agama palsu (abrahmacariyavasa) atau agama yang salah, dan empat agama yang tidak memuaskan (harfiah anassasikam, tidak menghibur) tetapi tidak dengan sendirinya salah.
Berikut ini adalah kriteria – kriteria yang dipakai untuk mengkategorikan yang termasuk agama palsu/agama yang salah:
-           Materialisme : yang menerima realitas dunia material namun menyangkal adanya kehidupan yang berikutnya
-          Filsafat keagamaan yang menganjurkan etika tidak bermoral
-          Agama yang menyangkal kehendak bebas dan hukum sebab akibat moral serta menyatakan bahwa segala mahluk secara ajaib diselamatkan atau dikutuk
-          Evolusionisme deterministik yang mengajarkan bahwa pada akhirnya semuanya otomatis akan diselamatkan
Dan yang termasuk agama yang tidak memuaskan:  tetapi tidak dengan sendirinya salah adalah agama-agama yang dalam pengertian tertentu mengakui kebutuhan akan konsep tentang kehidupan yang berikutnya, nilai – nilai moral, kebebasan dan tanggung jawab serta keselamatan yang tidak otomatis yang digambarkan sebagai berikut:
-          Agama yang mengklaim bahwa pendirinya maha tahu baik secara sadar maupun tidak sadar dalam setiap periode keberadaannya
-          Agama yang didasarkan pada wahyu dan tradisi
-          Agama yang didirikan di atas spekulasi logis dan metafisik
-          Agama yang melulu pragmatis serta didasarkan pada dasar-dasar skeptik atau agnostik
Dengan kenyataan ini mungkin dapat dipahami bagaimana sebenarnya pengkategorian (cara pandang) Buddhis berkenaan dengan agama-agama lain.  Di dalam pandangan Buddha agama manapun dianggap benar sejauh bahwa agama itu mencakup Delapan Jalan yang Agung.[20] Agama-agama yang tidak memuat Delapan Jalan yang Agung ini, agama tersebut tidak memiliki orang suci pertama, kedua, ketiga, dan keempat demikian pula sebaliknya.[21] Dalam pengajaran Natur Buddha menyatakan bahwa semua orang pada akhirnya akan mendapatkan pencerahan. Natur Buddha hadir di dalam diri setiap orang.[22]
Jika mau dihubungkan dengan tulisan R. Loy [23]Cara pandang Buddha yang seperti ini dan juga intensitas pertemuan dengan agama-agama lain yang semakin banyak, memberi pemahaman akan perlunya memberi perhatian kepada agama-agama lain dimana satu agama dapat belajar dari agama yang lain supaya tidak berakhir dengan ketegangan dan pertarungan dengan agama lain (alasan pentingnya interfaith theology)
Hubungan Buddhis dan Kekristenan:
Diskusi antara Kristen dan Buddhis lebih cenderung berpusat pada teisme atau etika.[24]
-          Minat terhadap teisme: Minat ini didasari bahwa Buddhisme bukanlah agama yang teistik sehingga agama ini selalu mencoba untuk ber’apologetika’ ketika bertemua dengan agama lain. (Agama Kristen adalah agama yang teistik)[25]
-          Minat terhadap etika: muncul dari kenyataan bahwa penanaman dan penerapan belas kasih menduduki tempat utama dalam Buddhisme.

Pengaruh Historis Hubungan Buddhis dan Kristen

Pertimbangan – petimbagan Buddhis terhadap orang Kristen dan kekristenan hampir semata-mata sebagai tanggapan terhadap tantangan-tantangan yang berkaitan dari kolonialisme dan kegiatan misioner Kristen. Dengan pengalaman umat  Buddhis yang mengalami penjajahan di bawah kekuasaan Eropa dimana kekristenan merupakan bagian dari kekuasaan yang mendominasi mereka maka wajar jika kekristenan secara serentak dibenci, ditolak dan juga ditiru. Dibenci dan ditolak karena mereka dilihat sebagai deminasi politik, militer, dan sosial; ditiru karena kebutuhan mereka untuk menantang kekristenan di medan pertempurannya sendiri dengan senjata-senjatanya sendiri. Penolakan ini semakin kuat ketika umat Buddhis menjadi sadar bahwa penemuan dan penegasan kembali identitas Buddhis membutuhkan kritik terhadap kekristenan. 

Anagarika Dharmapala (1864-1933) seorang pembaru Buddhis Sri Langka memberi penilaian kepada kekristenan sebagai akitbat dari hal ini sebagai berikut:
Agama-agama Semit tidak mempunyai latar belakang psikologi ataupun ilmiah. Yudaisme adalah sebuah agama yang eklusif, dimaksudkan hanya untuk orang-orang Ibrani. Ia adalah monoteisme yang materialistik dengan Yahweh sebagai arsitek sebuah dunia yang terbatas. Kekristenan adalah sebuah kamuflase politik. Tiga aspeknya adalah ekspansi politik, perdagangan, dan imperial. Senjatanya adalah Alkitab, tong-tong wiski, dan peluru.[26]
Menjelang akhir abad ke 19 ketika para misionaris Kristen Protestan menjadi semakin terang-terangan melakukan kristenisasi maka retorika anti Kristen di banyak negara Buddhis di Asia Selatan dan Tenggara menjadi semakin umum.
Disamping hubungan yang kelihatannya anti Kristen tersebut pada saat yang sama umat Buddhis dibanyak negara mulai menerima, semakin lama semakin terang-terangan, bentuk-bentuk kelembagaan Kristen Protestan dan metode-metode penginjilannya. Hal ini terlihat bagaimana orang Buddhis semakin diprotestankan ditengah mereka anti Kristen dengan didirikannya Young Men’s Buddhist Association (Ikatan Pemuda Buddhis) pada tahun 1898 di Srilanka. Ikatan ini melakukan penulisan dan penerbitan pamflet-pamflet  anti Kristen dan pro Buddhis. Hal ini sepertinya menggunakan metode yang sama dengan metode penginjilan Kristen Protestan pada waktu itu.
Kritik Buddhis terhadap konsep Kristen tentang Allah
Dharmasiri demikian juga hampir semua umat Buddhis, menolak kemungkinan tentang keberadaan jiwa, iapun menolak kemungkinan jiwa sebagai gambar dan rupa Allah.[27] Dia menilai bahwa mempercayai suatu pencipta segala sesuatu yang kekal, tidak berubah, dan keberadaannya tidak tergantung kepada apa pun (self subsistent) adalah suatu kepercayaan yang salah; bahwa kepercayaan seperti itu adalah hasil dari berbagai kemelekatan emosional yang tidak menyenangkan, dan pada dirinya juga membangkitkan kemelekatan tersebut, serta bahwa kekeliruan tersebut dapat dibuktikan. [28]
Kesimpulan & Tanggapan:
1.       Perjumpaan Buddhis dengan Kristen diwarnai dengan masalah yang berkaitan dengan historis yang merupakan perjumpaan positif dan negatif.
2.       Buddhis pada keberadaannya merupakan agama yang non teistik. Keberadaan ini menurut penulis menuntun pada perdebatan yang dapat muncul ketika bersinggungan dengan agama yang teistik.
3.       Kelompok memahami bahwa melihat agama di dalam Buddhis sebagai sarana yang dapat saja ditinggalkan pada satu sisi memberi pemahaman bahwa agama dapat saja ditinggalkan jika telah menemukan yang ingin dicapai. Pada pihak lain jika itu dipakai maka identitas dari agama tersebut dapat hilang tidak berbekas.
4.       Sangat mengapresiasi apa yang dinyatakan Buddha dalam hal bagaimana merespon mereka yang berbicara buruk dan mereka yang menyanjung seperti dalam ungkapan:
Bila ada seseorang yang berbicara buruk tentang diriku, doktrinku, atau Sanghaku, janganlah membenci dia, kecewa, atau gelisah hatimu; karena bila demikian maka hal itu akan menyakiti dirimu sendiri. Bila sebaliknya, ada seseorang yang memuji-muji aku, doktrinku, Sanghaku, janganlah bergembira, tergetar, atau bersukacita hatimu; karena bila demikian maka hal itu akan menghalangimu dalam memberikan penilaian yang realistis tentang sejauh mana kebaikan-kebaikan yang dipuji di dalam diri kami itu memang sungguh-sungguh dan sebenarnya dijumpai di dalam diri kami.[29]

3, Pandangan Hindu Terhadap Kristen
Pendahuluan
                Sebelum abad ke-19, kaum cendikiawan Hindu tidak memprioritaskan dan kurang memberi perhatian terhadap hubungan dengan agama Islam maupun Kristen. Hal ini  dapat dilihat dari teks-teks Sansekerta klasik dari Hinduisme Brahmanis yang hampir tidak menunjukkan minat terhadap agama non-Hindia. Agama Islam dan Kristen dianggap tidak penting bagi kesadaran dari orang Hindu dan praktik keagaamannya.  Pemahaman orang Hindu tersebut tentu tidak terjadi begitu saja. Ini lahir dari pemikiran Brahmanis klasik mengenai mleccha. Mleccha dipahami sebagai orang yang disisihkan,orang yang tidak terhormat, orang asing, non-India, yang berada di luar masyarakat kasta India tradisional dan orang yang secara ritual tidak suci. Dengan pengertian ini maka agama Kristen dan Islam masuk dalam kategori orang Mleccha. Orang asing (dalam hal ini agama Kristen) tentu tidak mendapatkan kehormatan dengan memasuki diskusi tentang keyakinan dan kebiasaan keagamaan mereka.
                Namun, keadaan ini berubah setelah abad ke-19. Kaum cendikiawan (baik yang dididik sebagai pandita dalam tradisi Sanskerta klasik maupun yang dididik dalam sekolah yang didirikan oleh Inggris) harus berhubungan dengan orang Kristen dan kekristenan. Mereka memahami bahwa agama Kristena adalah sebuah ideologi yang dominan dari kekuasaan pendudukan dimana keunggulan teknologi dan militernya sudah diakui. Orang India juga harus belajar bahasa yaitu bahasa Inggris agar mendapatkan pekerjaan secara khusus di bidang hukum dan pegawai negeri.  Sehubungan dengan keadaan pada waktu itu yang sangat dikendalikan Inggris, maka para missionaris Kristen semakin gigih menekankan tentang keunggulan dari segala sesuatu yang berkaitan dengan kekristenan dibandingkan dengan penyembahan berhala dan segala sesuatu yang berkaitan dengan agama Hindu.
                 Atas keadaan tersebut ada 2 bentuk tanggapan orang hindu terhadap agama Kristen, antara lain:
1.       Tanggapan para pandita yang terdidik secara tradisional Sansekerta, kaum cendikiawan dan skolastik dari tradisi Hindu.
Golongan ini pada umumnya anti kekristenan dan tidak mau terpengaruh terhadap pemikiran dan praktik-praktik keagamaan Barat. Tanggapan tradisional ini muncul setelah para missionaris Kristen memulai perdebatan dalam bahasa Sansekerta melalui penyusunan karya-karya polemik dalam bahasa tersebut yang diarahkan kepada para pandita.
2.       Tanggapan dari yang disebut dengan "neo-Hindu".
Para tokoh yang termasuk dalam golongan ini adalah Vivekananda, Sarasvati, Gandhi. Ada beberapa tema yang dibahas oleh golongan neo-Hindu ini mengenai kekristenan antara lain:
-          Tema Westernisasi. Golongan ini memiliki kepedulian untuk memperbaharui Hinduisme berdasarkan interaksinya dengan budaya dan agama Barat. Mereka menyadari hubungan mereka secara konseptual, linguistik, kelembangaan dengan budaya dan agama Barat.
-           Tema kesadaran nasionalistik (kerinduan untuk mengukuhkan kedudukan penting India). Golongan ini memahami bahwa India memiliki sesuatu yang penting untuk disumbangkan kepada dunia.
-          Tema Inklusif terhadap hubungan antara Hinduisme dan agama-agam non-Hindu. Sikap ini biasanya tidak menolak doktrin-doktrin Kristen sebagai hal yang salah atau praktik orang Kristen tidak layak. Sebaliknya, mereka menilai doktrin dengan praktik Kristen yang benar, keilahian Yesus Kristus tidak dapat disangkal; malah dikukuhkan namun dinilai semata-mata sebagai salah satu dari contoh yang tidak sempurna dari sebuah fenomena yang sudah ada secara lebih lengkap dan sempurna dalam Hinduisme.

Adapun  tokoh Hindu yang membicarakan tentang pandangan hindu terhadap agama Kristen, antara lain:
1.5      Dayananda Sarasvati: Cuplikan dari “Terang Kebenaran”.[30]
Dalam artikelnya, Dayananda menunjukkan beberapa peristiwa yang ada dalam Alkitab khususnya Perjanjian Baru, untuk menunjukkan bahwa agama Kristen adalah agama yang tidak rasional karena ajaran penuh dengan takhayul dan penyembahan berhala.
Ø  Kisah Kelahiran Yesus (Mat. 1:18,20). Dayananda mengatakan bahwa tidak seorang pun yang berpendidikan dapat mempercayai hal-hal yang berlawanan dengan segala jenis fakta dan hukum-hukum alam. Hanya orang yang berada dalam barbarisme yang dapat mempercayainya. Bagi Dayananda, hanya mereka yang mempunyai “lebih banyak uang daripada otak” yang dapat percaya akan hal-hal seperti itu dan dengan mudah menjadi korban takhayul. Yang terjadi sesungguhnya adalah Maria telah hidup bersama dengan seseorang sehingga ia menjadi hamil. Tetapi, Maria atau seorang yang lainnya telah mengabarkan (hal yang tidak masuk akal) bahwa ia telah mengandung dari Roh Kudus.[31]
Ø  Kisah Pencobaan (Mat. 4:1-3). Melalui kisah ini, Dayananda mengatakan bahwa sesungguhnya Allah orang Kristen bukanlah Allah yang Mahatahu, kalau Ia adalah Allah yang Mahatahu, mengapa Allah membiarkan Yesus dicobai oleh iblis? Ia tentunya sudah mengetahui segala sesuatunya mengenai Yesus melalui Kemahatahuan-Nya. Apakah seorang Kristen dapat hidup tanpa makan selama 40 hari 40 malam? Hal ini membuktikan bahwa Yesus bukanlah Anak Allah atau memiliki kekuatan ajaib apa pun. Kalau Yesus adalah Anak Allah, mengapa Ia tidak mengubah batu menjadi roti? Mengapa Ia harus mengalami penderitaan kelaparan? Menurut dayananda, kebenarannya adalah apa yang telah diciptakan oleh Allah sebagai batu, tidak seorang pun dapat mengubahnya menjadi roti. Allah pun tidak dapat menjungkirbalikkan hukum-hukum-Nya yang telah diperintahkan-Nya sendiri karena Ia Mahatahu dan semua karya-Nya bebas dari kesalahan.[32]
Ø  Kisah Orang Lumpuh (Mat. 9:2,13). Sehubungan dengan pengampunan dosa, hal itu hanyalah umpan yang dilemparkan kepada orang-orang bodoh untuk menjebak mereka. Menurut Dayananda, dosa yang dilakukan oleh seseorang tidak dapat mempengaruhi orang lain. Seseorang menderita hanya karena dosanya sendiri dan inilah yang disebut sebagai Keadilan Ilahi. Allah sesungguhnya tidak adil, jika perbuatan baik atau jahat yang dilakukan oleh seseorang mempengaruhi orang lain juga. Hanya kehidupan yang benar sajalah yang mengakibatkan sukacita, bukan Kristus ataupun orang suci atau nabi manapun. Orang benar tidak membutuhkan Kristus, dsb., demikian juga orang berdosa tidak membutuhkan Dia, karena dosa-dosa mereka tidak akan pernah diampuni.[33]
Ø  Kisah Upah dan Pekerjaan (Mat. 16:27). Bila semua orang akan mendapatkan upah sesuai dengan pekerjaan yang mereka lakukan, maka tidak ada gunanya bagi orang Kristen untuk mengajarkan doktrin tentang pengampunan dosa. Bila pengampunan dosa itu benar, maka doktrin tentang upah itu tidak benar. Bila orang Kristen mengatakan bahwa mereka yang layak mendapat pengampunan akan diampuni, sementara mereka yang tidak layak, tidak akan diampuni, hal itu tidak benar. Karena keadilan dan belas kasih hanya terdapat dalam pemberian hukuman dan upah bagi semua pekerjaan.[34]
Ø  Iman (Mat. 17:17,20). Orang Kristen mengajarkan: “Marilah, terimalah agama kami, biarlah dosa-dosamu diampuni dan kamu mendapatkan keselamatan.” Itu semua adalah kebohongan, karena apabila Kristus memiliki kuasa untuk menghapuskan dosa, menanamkan iman kepada orang lain dan memurnikan mereka, mengapa Ia tidak membebaskan murid-murid-Nya dari dosa, membuat mereka setia dan murni? Dengan demikian, maka Yesus yang tidak seorang pun mengetahui dimana keberadaan-Nya sekarang, juga tidak dapat memurnikan seseorang yang lain. Bagaimana mungkin, kita dapat percaya kepada Alkitab yang ditulis oleh murid-murid Kristus yang tidak memiliki iman, bahkan sebesar biji sesawi sekalipun, sebagai kitab yang berwibawa? Mereka yang mencari kebahagiaan tidak boleh mempercayai karya orang-orang yang tidak beriman, mereka yang tidak suci (di hatinya) dan mereka yang tidak benar. Hal ini berarti, Kristus menunjukkan kebodohan-Nya karena mengatakan hal-hal yang tidak mungkin terjadi. Kristus dianggap sebagai orang yang biadab karena mengucapkan kebohongan. Menurut Dayananda, Kristus dianggap sebagai tokoh yang besar hanya di temapat yang dihuni oleh orang-orang biadab yang bodoh, tetapi dikalangan orang yang terpelajar dan bijaksana, Kristus tidak meiliki arti apa-apa.[35]
Ø  Titah Perjamuan (Mat. 26:26-28). Menurut Dayananda, seseorang yang berbudaya tidak mungkin melakukan hal ini. Hanya seorang yang biadab, yang bodoh, yang akan melakukannya. Tak seorang pun yang telah mengalami pencerahan akan menyebut makanan para murid itu tubuh-Nya ataupun minuman mereka sebagai darah-Nya. Inilah yang disebut Perjamuan Tuhan oleh orang-orang Kristen pada masa kini. Mereka makan dan minum sambil membayangkan bahwa roti mereka itu adalah tubuh Kristus dan minuman mereka darah Kristus. Ini adalah sesuatu yang mengerikan. Dayananda menganggap bahwa orang yang tidak dapat menjauhkan diri dari gagasan tentang makanan dan minuman mereka adalah tubuh dan darah Juruselamat, memiliki kemungkinan untuk memakan tubuh dan darah orang lain.[36]
Ø  Kristus Sebagai Jalan Menuju Keselamatan (Yoh. 14:1-4,6-7). Menurut Dayananda, nas ini merupakan sebuah kebohongan yang diciptakan untuk menjerat orang agar menjadi pengikut dari Yesus. Mengatakan bahwa tidak ada seorang pun datang kepada Bapa-Nya kecuali melalui Aku tidak akan menjadi kebenaran karena Allah tidak membutuhkan perantara apapun. Bagi dayananda, perkataan Yesus tentang rumah Bapa-Nya dan kepergian-Nya untuk menyediakan tempat bagi para pengikut-Nya dan semua ucapan dari mulut bibir-Nya sendiri tentang diri-Nya sebagai jalan, kebenaran, dan hidup, semuanya merupakan sebuah kebohongan, yang tidak akan pernah benar.[37]
Tentang keyakinannya sendiri, Dayananda hanya percaya pada agama yang didasarkan pada prinsip-prinsip yang mencakup segala-galanya, yang selalu diterima sebagai kebenaran oleh umat manusia, dan yang akan tetap ditaati oleh manusia pada masa-masa yang akan datang. Agama itu akan disebut sebagai agama murba yang kekal, itu berarti agama tersebut jauh dari keadaan dimusuhi oleh semua ungkapan kepercayaan manusia mana pun. Konsepnya tentang Allah dan semua objek lain yang ada di jagat raya ini didasarkan pada ajaran Weda dan Shastra-shastra lainnya yang benar, dan sesuai dengan kepercayaan semua orang bijaksana dari Brahma sampai Jaimini.
Menurut Dayananda, orang yang berhak disebut sebagai manusia adalah orang yang memiliki sifat penuh pertimbangan dan perasaan terhadap orang lain dengan cara yang sama seperti yang dilakukan untuk dirinya sendiri, tidak takut pada ketidakadilan, betapapun kuatnya, namun takut kepada mereka yang sungguh-sungguh benar, betapapun lemahnya. Ia harus selalu mengusahakan dirinya untuk melindungi mereka yang benar dan membela kebaikan mereka, serta berperilaku yang sesuai dengannya meskipun mereka amat miskin dan lemah serta sangat kekurangan materi. Ia harus terus berjuang untuk menaklukkan dan melawan para penguasa yang keji diseluruh dunia meskipun mereka adalah orang-orang yang berpengaruh luas dan berkuasa. Dalam melaksanakan tugasnya ini, ia mungkin harus menanggung penderitaan yang mengerikan. Ia mungkin akan meminum cawan kematian yang pahit, dalam melaksanakan tugas, yang dibebankan kepadanya karena ia adalah seorang manusia, tetapi ia tidak boleh menghindarinya.
·        Ia hanya percaya kepada Brahma atau Yang Mahatinggi, sebagai Allah yang Agung.
·        Ia hanya percaya kepada keempat Weda (Rigweda, Yajurweda, Samaweda, dan Atharwaweda) – wahana Pengetahuan dan Kebenaran Agama – Firman Allah. Mereka tidak membutuhkan kitab lain untuk mendukung kewibawaannya.[38]

1.6          Vivekananda: Kristus Sang Utusan[39]
Dalam perjalanan segala sesuatu, kita akan menemukan kenaikan dan kejatuhan, dan umumnya kita selalu melihat pada kenaikan dan melupakan kejatuhan. Akan tetapi, sebenarnya kedua hal itu sama-sama hebat dan perlu untuk mendapatkan perhatian kita. Ini merupakan sifat jagat raya; hal ini merupakan sebuah proses yang terjadi secara terus menerus dalam kehidupan setiap orang. Oleh karena itu, berbagai hal yang menonjol dalam rangkaian peristiwa penting, gagasan-gagasan liberal, didorong ke depan, untuk kemudian tenggelam, seolah-olah mengunyah, merenungkan masa lampau – menyesuaikan diri, menyimpan tenaga, mengumpulkannya sekali lagi untuk bangkit dan bangkit dengan kekuatan besar.
Apa yang kita lihat dalam kehidupan Yesus adalah kehidupan dari semua orang pada masa lampau. Kehidupan itu datang melalui warisan, lingkungan, pendidikan, reinkarnasinya sendiri – masa lalu rasnya. Kita yang hidup pada masa kini, merupakan hasil, akibat, dari orang-orang yang hidup pada masa lampau. Kita hanyalah benda-benda kecil, buih-buih belaka; tetapi selalu ada gelombang besar di setiap samudera peristiwa; namun, ada raksasa-raksasa yang seolah-olah mewujudkan hampir seluruh masa lalu itu dan yang mengulurkan tangannya ke masa depan. Allah yang Maha-hadir dari seluruh alam ini, tidak dapat dilihat sebelum Ia dipantulkan oleh pelita-pelita raksasa bumi ini – para nabi, manusia-Allah, Inkarnasi dan perwujudan Allah. Kita semua tahu bahwa Allah itu ada, namun kita tidak melihat dan memahami Dia. Oleh karena itu, inkarnasi-inkarnasi Allah ini telah disembah di segala zaman dan di semua negeri.
Setiap nabi adalah ciptaan dari zamannya sendiri, ciptaan dari masa lalu rasnya; ia sendiri adalah pencipta masa depan. Dalam posisi inilah, Sang Utusan berdiri. Di dalam dia terhimpun semua yang terbaik dan terbesar dalam rasnya sendiri, makna, kehidupan, yang baginya ras itu telah berjuang selama berabad-abad; dan dia sendiri adalah dorongan bagi masa depan, bukan hanya untuk rasnya sendiri tetapi juga untuk ras-ras lain yang ada dalam dunia ini.
Menurut Vivekananda, Yesus yang dipandang sebagai nabi yang besar dari Nazaret adalah seorang yang berasal dari dunia Timur. Betapa pun kerasnya usaha kita, dengan segala macam daya upaya untuk menggambarkan Yesus dengan mata biru, berambut pirang atau kuning, Yesus tetaplah orang Nazaret, dari dunia Timur. Semua gambaran, semua citra, yang di dalamnya Alkitab di tulis – suasana, lokasi, sikap, kelompok, puisi dan lambing – sebenarnya berbicara kepada kita tentang dunia Timur – semuanya masih dapat kita lihat di Asia.
Sang Utusan datang untuk menunjukkan jalannya, bahwa Roh itu tidak berbentuk, bukan melalui segala macam problem filsafat yang mengganggu dan berbelit, kita mengenal Roh itu. Kekayaan, posisi, kuasa bahkan pendidikan, tidak dapat memberikan kita keselamatan. Yang diperlukan adalah kemurnia, kesucian, karena Roh pada hakekatnya adalah suci. Kehidupan ideal yang diajarkan oleh semua Nabi agung di seluruh dunia adalah penyangkalan diri. Bahwa hanya ada satu kehidupan ideal dalam moralitas yaitu ketidakegoisan. Kita tidak boleh egois. Kehidupan ideal adalah ketidakegoisan yang sempurna.
Menurut Vivekananda, kebenaran itu bukan milik siap-siapa. Kebenaran adalah Allah itu sendiri. karena itu tidak ada seorang pun yang dapat mematenkan kebenaran. Itu berarti, di dalam setiap agama terdapat sebuah kebenaran (pasti ada). Allah dapat menampakkan diri kepada kita dalam berbagai wujud, dalam diri manusia maupun seluruh alam. Termasuk penjelmaan Allah dalam diri Krisna yang Agung. Karena itu, Allah tidak hanya ditemukan dalam diri Yesus dari Nazaret, melainkan dalam semua Yang Agung, yang telah mendahuluinya, di dalam semua yang datang setelah Dia, dan semua yang masih akan datang. Semuanya adalah perwujudan dari Allah yang sama, yang Tidak Terbatas. Dalam pengertian tertentu, kita semua adalah Nabi, yang memikul beban dunia di bahu kita masing-masing. Tidak ada seorang pun yang begitu jahat, tidak ada seorang pun yang tidak berharga, tetapi masing-masing harus memikul salibnya. Betapapun rendah dan hinanya kita, masih ada sebuah lingkaran cahaya kecil yang terus menerus bersentuhan dengan yang ilahi.
1.7                Mohandas Karamchand Gandhi: Cuplikan dari “Kisah tentang Eksperimen Saya Berpihak pada Kebenaran”[40]

Menurut K.L. Seshagiri Rao, Gandhi hidup dan meninggal dalam mempertahankan nilai-nilai moral dan spiritual melawan kekuatan materialisme, kepicikan, dan kekerasan. Dia percaya bahwa jika manusia bertumbuh dalam pemahaman tentang kedamaian, mereka harus berhubungan dengan manusia lain dengan keberanian dan keramahan, terlepas dari afiliasi nasional atau keagamaan. Dia menekankan bahwa  dialog sangat penting untuk kemajuan.
Mahatma mengikuti dialog agama pada dua tingkatan: teoritis dan praktis. Pada tingkat teoritis tujuannya adalah pengertian simpatik dari agama-agama dunia kehidupan. Dia menyadari, ketidaktahuan tentang agama lain menimbulkan prasangka dan kekeliruan yang mengakibatkan keengganan untuk menerima integritas dari para pengikut tradisi lain. Orang-orang bertengkar tentang agama hanya ketika mereka melupakan dimensi manusia dari seluruh agama. Ini adalah karena kurangnya pemahaman sensitif terhadap iman orang lain yang sering memimpin praktisi agama untuk saling tuduh-menuduh dan pertumpahan darah. Umat Beragama pada umumnya memiliki peluang dan kepentingan untuk mengetahui tentang nilai-nilai dan wawasan dari umat beragama lainnya, memang, ada suatu ketidaktahuan dapat meresap prinsip kreatif dari semua agama, termasuk dirinya sendiri.  Apapun alasan seperti keadaan di masa lalu, Gandhi merasa bahwa itu tidak bisa dibiarkan untuk berlanjut. Laki-laki dan perempuan modern perlu memperluas kesadaran keagamaan mereka dengan memahami secara mendalam kebenaran rohani yang terungkap dalam agama lain daripada agama mereka sendiri. Jika sesuatu seperti model pluralis untuk interaksi agama-agama adalah mungkin, menurut Gandhi, itu harus berdasarkan, pada pengetahuan yang akurat tentang masing-masing agama lain.
Karena itu Gandhi percaya bahwa tanpa pendidikan studi tentang agama tidak lengkap. Belajar agama bukan hanya sebuah pengejaran intelektual yang sah tetapi aspek penting dari budaya manusia dan peradaban. Hal ini terkait dengan sumber-sumber kehidupan individu dan sosial dan berhubungan dengan pertanyaan-pertanyaan sentral kehidupan manusia dan takdir. Satu yang diabaikan dalam studi agama-agama adalah berhadapan dengan resiko gagal untuk memahami kemanusiaan dan sejarah. Mengenang masa awal kehidupannya, Gandhi banyak menyatakan penyesalan pada kurangnya fasilitas untuk belajar agama di sekolahnya. Dia membahas keadaan ini dalam otobiografinya: "Saya seorang yang beragama Hindu, namun saya tidak tahu banyak tentang Hindu, dan saya tahu jauh lebih sedikit dari agama-agama lain. Bahkan, saya tidak tahu apa ini dan apa yang seharusnya menjadi keyakinan saya. Saya berniat untuk membuat studi yang cermat terhadap agama saya sendiri, dan sejauh yang saya bisa, dari agama-agama lain juga ". Ini dia lakukan kemudian, mencurahkan suatu tindakan yang baik dari waktunya untuk mempelajari perbandingan agama, yang mencoba mempengaruhi hidupnya secara mendalam . Ia menjadi yakin bahwa studi agama-agama yang berbeda akan memberikan kontribusi kepada pluralisme agama yang sehat.
Pendekatan Gandhi adalah untuk mendorong pemurnian agama bukan untuk mencari pengganti mereka. Dia percaya bahwa pengetahuan tentang agama lain membuat Hindu menjadi Hindu yang lebih baik, Muslim menjadi Muslim yang lebih baik, Kristen menjadi Kristen lebih baik, dan semua manusia menjadi anggota yang lebih baik dari masyarakat dunia.[41]  Dia melihat dialog antaragama menawarkan bantuan dalam memperbaiki dan mengembangkan dimensi pengabaian setiap tradisi keagamaan. Wawasan agama yang berbeda milik semua orang. Kebenaran diturunkan kepada orang-orang Kristen harus menjadi berharga bagi para pengikut agama-agama lain, dan sebaliknya. Dialog agama juga membuat orang-orang dari latar belakang yang berbeda menjadi sensitif terhadap satu sama lain. Karena itu, agama tidak harus menghalangi pengikutnya mempelajari agama lain atau menambah pengetahuan dan disiplin spiritual mereka sendiri. Dalam semua ini ia menciptakan  batu fondasi untuk apa hari ini kita sebut dengan model pluralis keragaman agama.
Tetapi Gandhi juga melihat batas-batas yang memeluk/merangkul agama lain.  Dia menegaskan bahwa sementara kita harus membuka jendela kita untuk angin segar dari arah yang berbeda, kita harus menolak untuk harus bertekuk di kaki kami. Dia mengembangkan kapasitas untuk menyerap wawasan tentang tradisi lain dan dengan demikian memperkaya dirinya. Gandhi juga memiliki pengalaman dengan Tuan Coates yang berusaha untuk meyakinkan Gandhi bahwa betapa pun ada sejumlah kebenaran dalam agama-agama lain, Gandhi tidak mungkin mendapatkan keselamatan kecuali jika Gandhi menerima kekristenan yang mewakili kebenaran satu-satunya, dan bahwa dosa-dosa Gandhi tidak akan dicuci bersih kecuali melalui perantaraan Yesus, dan bahwa semua perbuatan yang baik adalah sia-sia. Perjumpaan dan pergaulan Gandhi dengan orang Kristen, membuat Gandhi dapat belajar bahwa ternyata perbedaan-perbedaan itu bermanfaat, apabila ada toleransi, kasih dan kebenaran. Gandhi semakin terpacu atau bersemangat untuk mempelajari kehidupan dari para guru agama lain.
Dalam suatu percakapan Gandhi mengatakan Mrs Henry Polak di Afrika Selatan: "Saya tidak pernah serius memikirkan memeluk agama Kristen. Sosok lembut Kristus, begitu sabar, begitu baik, begitu penuh kasih, begitu penuh pengampunan yang ia mengajar pengikutnya untuk tidak membalas ketika disalahgunakan atau menyerang, tetapi untuk memberikan pipi yang lain – saya pikir itu adalah contoh indah dari seorang laki-laki yang sempurna ". "Tapi kamu tidak memeluk Kristen, kan? "tanyanya. Jawab Gandhi merenung."Saya belajar tulisan suci Anda untuk beberapa waktu dan berpikir sungguh-sungguh tentang mereka .... . tapi akhirnya aku sampai pada kesimpulan bahwa tidak perlu bagi saya untuk bergabung dengan keyakinan Anda untuk menjadi orang percaya dalam keindahan ajaran Yesus atau mencoba untuk mengikuti teladannya".  Dan kemudian dari kedalaman sensitivitas Hindunya, ia menambahkan : "Jika seorang pria mencapai jantung dari agama sendiri, ia telah mencapai hati orang lain juga. Hanya ada hanya satu Allah, tetapi ada banyak jalan menuju kepadaNya."
Aspek yang paling luar biasa dari kehidupan dan karya Gandhi adalah dedikasinya untuk mencari kebenaran. "Kebenaran menjadi satu-satunya tujuan saya," katanya. "  Dalam mencari kebenaran dalam kemanusiaan Gandhi tidak berhenti pada perjanjian intelektual atau verbal; akan juga berusaha untuk mendirikan kebenaran dalam hal peradilan dan keadilan untuk semua. Dia menekankan, karena itu, bahwa satu-satunya cara mencapai kebenaran dalam hidup adalah ahimsa, tanpa kekerasan, yaitu "kemampuan untuk mencintai ciptaan seperti dirinya sendiri." Ini dengan cara yang unik yang dibawa Gandhi memberi semangat kepada semua orang  dan kadar praktis agama dan dialog antaragama, bukan dalam bahasa teologis yang berat, tetapi dalam bahasa kehidupan sehari-hari dan hidup benar. Di sini ia meramalkan tujuan akhir dari model pluralis: keragaman agama dapat menjadi pembicaraan antaragama dan kerjasama. Adapun maksud dan tujuan dari hasil dialog interreligius menurut Gandhi, adalah sebagai berikut: 1. saling belajar, (2) kesadaran sensitif agama lain. (3) pendalaman kesadaran menjadi menghormati, (4) reinterpretasi progresif dari tradisi hidup sendiri dan (5) kerjasama yang saling menguntungkan untuk tujuan objektif terhadap kebenaran dan keadilan. 
1.8          Bithika Mukerji: Agama Kristen dalam Refleksi Hinduisme[42]
Dalam artikelnya, Bithika mengutip kata-kata dari Joachim Wach bahwa “Sejarah tentang studi mengenai pengalaman keagamaan yang asing dalam Yudaisme, Islam, Hinduisme, Buddhisme, dan Konfusianisme masih harus ditulis.” Sebaliknya, kekristenan sangat menonjol dalam perhatiannya terhadap iman-iman lain. Dari dalam ranah eksklusivitas yang akhirnya ia cintai dan jaga, orang Kristen terus-menerus terpanggil untuk berbicara tentang “yang lain”, untuk membawanya kepada kesadaran menganai kebutuhan akan anugerah Kristus yang menyelamatkan. Oleh karena itu, paranan ‘yang lain” adalah penting sebagai mitra dalam proses dialog yang terus berlangsung ini, di mana dialog dipergunakan sebagai baying-bayang dari pesan Krsiten.
Orang Hindu pada umumnya tidak terpanggil untuk mengajarkan agamanya kepada “yang lain.” “Yang lain”, bagi orang Hindu adalah sesama peziarah, seolah-olah sebuah cermin yang memantulkan pemahaman dirinya sendiri. Karena penginjilan bukanlah bagian dari imannya sendiri, ia dapat dengan mudah menerima rancangan ibadah lainnya sebagai cara kehidupan keagamaan yang mungkin. Apresiasinya terhadap sikap devosional “yang lain” akan mencegah dia untuk melontarkan kritik yang meremehkan apa pun, meskipun tujuannya adalah membela diri. Hal ini dianggap “anatema” bagi orang Hindu.
Orang Hindu tidak mengakui dan tidak perlu mengakui situasi “tantangan” atau ‘konfrontasi” dalam bidang komitmen kepada Allah. Ia lebih suka merasa terpanggil untuk memandangnya, dengan kepekaan yang terdalam, sebagai dimensi dari yang kudus yang dihadirkan kepadanya. Namun, harus diakui bahwa biasanya orang Kriaten tidak menuntut hal ini dari orang Hindu. Sejauh menyangkut agama Kristen, Hinduisme merupakan suatu rentangan yang penuh dengan ajaran sesat dari kekafiran hingga panteisme. Orang Hindu, mungkin merupakan mitra dialog yang ideal namun bukan juru bicara bagi jalan menuju kesadaran tentang Allah. Dengan demikian, maka agama Kristen dalam refleksi Hinduisme dapat dilihat hanya sebagaimana ia menampilakn dirinya kepada suatu kebudayaan asing.
Sejarah agama Kristen yang panjang, diperkaya oleh karya penuh dedikasi dari orang-orang yang membaktikan dirinya demi tugas melaksanakan perintah yang terdapat dalam Injil Matius 28:18-20. Kedatanga Kristus adalah suatu peristiwa yang sangat unik dalam sejarah, yang memberikan sebuah arah baru kepada jalan hidup manusia. Salib melambangkan perjumpaan antara yang transenden dan imanen, turunnya Ilahi secara vertical ke dataran kehidupan sehari-hari yang horizontal. Berdasarkan belas kasih, Allah memilih untuk ikut serta di dalam kondisi manusia sebagai manusia sehingga manusia, dengan berlindung di dalam tindakan anugerah ini, dapat mengalahkan maut dan mencapai keselamatan.
Kelompok kecil para murid yang memberitakan Injil ini kepada segala bangsa menjadi Gereja Kristus. Semua agama yang asing mengalami hubungan dengan kekristenan melalui pelayanan Gereja. Gereja adalah pintu gerbang yang penting untuk masuk ke dalam kekristenan. Kekristenan dalam konfrontasinya dengan tradisi, budaya, dan cara ibadah yang lain, tetap tidak tergoyahkan dalam rasa percaya dirinya sebagai pesan yang unik dari allah untuk umat manusia. Kombinasi antara iman dan dogma yang terbentuk dalam cetakan eskatologis yang bersifat providensial adalah kekuatan dasyat yang menjadi puncak semanagat misionaris selama berabad-abad. Sesungguhnya orang Hindu sangat asing dengan konsep tentang agama yang dilembagakan sehingga tidak siap untuk menghargai peranan Gereja yang sempit. Gereja hanya mempunyai satu cara dan itu adalah cara yang aneh dalam memandang peta rohani dunia. Dunia bagi orang Kristen adalah sebuah benteng yang kacau balau yang harus “dipandang keliru” melalui sudut pandang Perjanjian Baru. Ia tidak mampu melihat makna atau kebenaran di dalam cara ibadah “yang lain.”
Hinduisme menekankan bahwa Allah “tidak dikenal” tetapi bukan berarti bahwa ia tidak dapat dikenal. Manusia mempunyai hak istimewa untuk menjawab panggilan yang tertinggi untuk terlibat di dalam petualangan hidup yang paling bernilai. Kepastian akan keberhasilan semata dinyatakan oleh kitab-kitab suci Hindu, membiarkannya bebas untuk memilih caranya sendiri untuk terlibat di dalam upaya ini. semua agama mempunyai struktur ibadah yang ritualistik. Karena itu, kemungkinan adanya rentangan kemungkinan-kemungkina yang luas hampir tidak dapat dihindari karena manusia tidak bereaksi dengan cara yang sama terhadap pencarian akan realisasi-Allah. Oleh karena itu, kitab-kitab suci Hindu merayakan cara-cara partisipasi Allah yang tidak terbatas dalam segala bidang kehidupan manusia, tanpa berusaha menyangkal bahwa setiap kesempatan untuk mewujudkan anugerah-Nya itu adalah suatu keunikan tersendiri.
Kekristenan dalam refleksi Hinduisme adalah sebuah dimensi lain yang di dalamnya Allah telah menyatakan diri-Nya kepada umat-Nya. Komitmen kepada Kristus dengan mudah dipahami oleh seorang Hindu yang mempunyai komitmen kepada suatu cara bakti tertentu di dalam tradisinya sendir. Hakikat komitmen ini menuntut ekslusivitas, dan pada saat yang sama melibatkan seluruh keberadaan si peziarah dalam pencarian kepenuhan rohani. Dapat dikatakan bahwa orang Hindu akan mempercayai suatu komunitas yang terdiri atas orang-orang yang memiliki komitmen, yang merupakan suatu asosiasi bebas dari para sahabat yang berkumpul bersama untuk merayakan pencarian sesamanya akan kesadaran tentang Allah.

1.9                Bibhuti S. Yadav: Wisnuisme tentang Hans Küng “Sebuah Teologi Hindu tentang Pluralisme Agama”
Teologi Kristen tentang sejarah penebusan mengalami pembelokan yang luar biasa. Akhirnya teologi ini mengakui bahwa agama-agama non-Kristen memang ada, dan bahwa mereka pun dalam cara tertentu mempunyai komitmen kepada Yang Tertinggi. Seorang teolog Kristen terkemuka mengatakan ‘Akan semakin jelas, dan pada hakikatnya memang benar, bahwa menjadi seorang Kristen di dunia modern atau menjadi seorang Yahudi atau agnostik, berarti hidup di sebuah masyarakat di mana orang-orang lain, yang cerdas, saleh dan religius adalah orang-orang Buddhis, Muslim dan Hindu.
Dunia kini telah menjadi suatu tempat yang kecil, saling ketergantungan ekonomi antar-negara, komunikasi dan penyebaran ide-ide. Karena alasan-alasan yang tidak selalu bersifat rohani, orang Kristen dahulu bisa saja mengatakan apa pun yang ingin dikatakan tentang agama non-Kristen, tetapi sekarang tidak lagi. Bentuk kehidupan yang humanis seperti ini menuntut suatu bentuk pemikiran, suatu bangunan filosofis tentang dunai yang di dalamnya semua agama itu setara, dan yang di dalamnya seseorang menyebabkan cedera kepada agamanya sendiri apabila ia merendahkan agama-agama orang lain. Gagasannya adalah membangun universalitas umat manusia dan dengan demikian memahami Yang Tertinggi yang menopang sejarah, khususnya sejarah keagamaan, dalam pengertian logika “baik ini maupun itu”, kesatuan maupun perbedaan. 

Kesimpulan & Tanggapan
1.       Perkembangan pemahaman orang Hindu terhadap non-Hindu (termasuk Kristen) mengalami perubahan setelah abad ke-19 karena kedatangan Inggris. Perkenalangan dan hubungan mereka dengan agama Kristen memang pada waktu itu bersifat memaksakan, mengindoktrinasi dan menekankan bahwa agama Kristen dan hal-hal yang berhubungan dengan kekristenan (termasuk  budaya barat) dianggap lebih bermakna dan memiliki nilai yang tinggi dibandingkan hal-hal yang berhubungan dengan Hindu.

2.        Keadaan itu menimbulkan pro kontra, ada sebagian yang menolak namun ada yang mencoba untuk mendalami dan mengkaji ulang lagi pemahaman tentang Hindu berdasarkan pengenalan yang diterima dari ajaran kekristenan.  Banyak tokoh-tokoh yang mengikuti pemahaman ini dan berusaha terbuka melakukan dialog dengan agama non hindu, dimana sebelumnya ajaran yang dianut oleh agama hindu bahwa di luar agama/komunitas mereka digolongkan sebagai mleccha.

3.       Kelompok sangat mengapresiasi pemahaman yang dikembangkan oleh Gandhi mengenai agama dan dialog interreligius, dimana Gandhi tidak menolak terciptanya suatu komunikasi antara agama Hindu dan non Hindu. Dialog itu bertujuan agar masing-masing agama dapat lebih mengenal agama lain dan kemudian memperkaya seseorang tersebut dengan agama yang dianutnya. Dari hasil karya dilakukan Gandhi semasa hidupnya maka Gandhi dapat digolongkan sebagai tokoh yang menganut paham atau model  passing over coming back.









[1] Paul J. Griffiths, Kekristenan Di Mata Orang Bukan Kristen, (Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 2008), 21-28
  [2] Franz Rosenzweig (1886-19290 adalah murid Hermann Cohen, seorang filsuf Yahudineo-Kantian. Ia dibesarkan dalam hubungan yang sangat minim dengan Yudaisme, namun tidak lama sebelum pecahnya Perang Dunia I, ia menjadi yakin bahwa komitmen yang lebih besar dibutuhkan darinya. Ia kemudian mengabdikan sebagian besar dari energy intelektualnya dalam menafsirkan kembali tradisi Yahudi, dalam pekerjaannya bersama Martin Buber untuk menyusun terjemahan baru Alkitab Ibrani ke dalam bahasa Jerman, dan berbagai proyek intelektual lainnya. (Ibid, 31-43).
[3]  Abraham Heschel dilahirkan pada tahun 1907, di Warsawa. Pada tahun 1940, ia datang ke Amerika Serikat setelah tinggal beberapa lama di Inggris, dan mengajar studi rabinik dan filsafat Yahudi. (Ibid, 44-71)
[4]  Stuart Rosenberg dilahirkan pada tahun 1922 di kota New York, dan telah melayani sebagai rabi baik di sana maupun di Toronto. Ia telah banyak menulis, dan sering kali secara polemis, tentang hubungan Yahudi-Kristen dan tentang persepsi mengenai orang Yahudi oleh orang non-Yahudi di Amerika Serikat dan Kanada. (Ibid, 72-93).
[5] Dalam penguraian ini penulis berusaha menggabungkan semua tugas bacaan menurut silabus
[6] http://www.what-buddha taught.net/Articles/Dhammananda_Agama_Buddha_dan _Para_Intelek.pdf
[7] Contoh yang paling terkenal tentang transmisi sastera ini adalah kisah tentang Baelaam dan Yosafat (nama-nama mereka ditulis dalam versi Latin) sebuah cerita raktyat tentang orang kudus di Dunia Barat ang Kristen pada periode pertengahan. Kisah ini mulanya adalah fabel Buddhis:”Yosafat” sesungguhnya adalah nama plesetan dari bahwa India, bodhisattva. Tentang hal ini lihat Smith, Toward a World Theology, hal 7-11
[8] Brahmanisme adalah pelopor agama Hindu dan agama Buddha. Agama ini berkembang di India bagian utara di antara kalangan bangsa Arya yang datang ke India kira-kira 8000 tahun silam.Ciri khas utama agama ini adalah siklus antara (kematian) dan kelahiran kembali (reinkarnasi) serta pembagian manusia dalam empat kasta yang berbeda. Kasta ini dalam bahasa Sansekerta disebut warna.
[9] http://id.wikipedia.org/wiki/Agama_Buddha
[10] David R. Loy, hal 82 (Dalam buku “Toward a Planetary Theology), Edited by Jose Maria Vigil, Dunamis Publisher, 2010
[11] Tumimbal Lahir adalah istilah yang dikenal dalam agama Buddha sehubungan dengan kelahiran kembali suatu mahluk hidup dalam alam kehidupan yang sama atau berbeda serta tidak membawa kesadaran akan kehidupan dari alam sebelumnya. Konsep ini berbeda dengan konsep reinkarnasi di mana reinkarnasi masih membawa kesadaran akan alam kehidupan dari alam sebelumnya. Yang dimaksud dengan Tumimbal lahir adalah suatu proses kelahiran kembali jasmani dan batin yang lama mengalami pelapukan, kehancuran, dan kemudian muncul jasmani dan batin baru yang timbul akibat adanya kekuatan kamma (perbuatan). Jadi disini jasmani dan batin/”jiwa” tidak kekal. Konsep ini dianut oleh penganut Buddhisme sesuai dengan 3 prinsip dasar hidup dan kehidupan yaitu : Anatta, segala sesuatu adalah tanpa adanya “roh”/”jiwa”/batin yang kekal. Anicca, segala sesuatu yang terbentuk dari gabungan beberapa unsur adalah tidak kekal. Dukkha, segala sesuatu yang tidak kekal membawa penderitaan. Sedangkan pada Reinkarnasi yaitu Jasmani mengalami kehancuran, tetapi “jiwa”/batin tidak mengalami kehancuran/perubahan. Kemudian “jiwa” “mencari” dan menempatkan jasmani yang baru.Reinkarnasi adalah suatu proses kelahiran kembali dimana batin/”jiwa” yang lama meninggalkan jasmani yang sudah lapuk dan mencari jasmani baru. Jika diumpamakan seperti kita mengganti baju, dimana tubuh kita adalah “jiwa/batin kita, dan baju sebagai jasmani kita. Setelah baju (jasmani) usang, maka diganti dengan yang baru. Jadi disini hanya batin/”jiwa” yang dikatakan kekal. Konsep Reinkarnasi ini di anut oleh agama Hindu seperti yang dijelaskan dalam salah satu kitab suci agama Hindu yaitu Bhagavad Gita. Dan Buddhisme menolak adanya batin/”jiwa” yang kekal(http://id.wikipedia.org/wiki/Tumimbal_lahir)
[12] http://id.wikipedia.org/wiki/Agama_Buddha
[13] R. Loy , hal 83
[14] R. Loy, hal 84
[15] Griffith, hal 261
[16] Griffith, hal  261
[17] K.N Jayatilleke – Bab 10 (Dalam Griffith)
[18] Sallie King, hal 89
[19] Idem: Sallie menyamakan Buddhisme dengan Quakerisme. Dimana dinyatakan bahwa Quakerisme adalah juga sebuah metode  (Brinton). Quakerisme adalah suatu bentuk praktik yang dipercayai Quaker membuka kesempatan seseorang mengalami yang ilahi. Sallie menyatakan ini sebagai sarana untuk melihat bagaimana tiap tradisi terbuka untuk pluralisme agama.Sallie mengutip Dalai Lama juga menyatakan bahwa karena agama-agama sekedar sarana, menyatakan bahwa orang berbeda satu dengan yang lain, mudahlah untuk melihat bahwa sementara beberapa agama cocok bagi sejumlah orang, agama-agama lain juga cocok bagi orang lainnya.
[20] Delapan Jalan adalah kebenaran keempat dari Empat Kebenaran dalam Buddhisme. Jalan ini menunjukkan langkah-langkah dan niat tertentu yang akan membawa si pelaku keluar dari penderitaan samsara ke dalam nirwana. Kedelapan jalan itu adalah: 1. Pandangan yang benar,2. Niat yang benar. 3. Ucapan yang benar, 4. Tindakan yang benar,5. Cara hidup yang benar,6. Upaya yang benar,7. Cara berpikir yang benar,8. Konsentrasi yang benar
[21]Penjelasan orang suci pertama, kedua, ketiga dan keempat bisa dilihat di Griffith hal 263-264
[22] Sallie,hal 91
[23] L. Roy, hal 82
[24] Griffith, hal247
[25] Pembahasan mengenai “Kritik Buddhis terhadap Konsep Kristen tentang Allah ada di dalam Buku Griffith (tulisan Gunapala Dharmasiri) hal 275-291
[26] Dharmapala, Return to Righteousness, hlm. 439

[27] Gagasan tentang pribadi atau jiwa sangat erat terkait dengan gagasan tentang Allah. Menurut para teolog Kristen masa kini, hubungan ini terjadi dalam berbagai bentuk. Salah satu bentuknya adalah gagasan yang memperlakukan jiwa sebagai suatu analogi dari Allah. Mis: Reinhold Niebuhr menekankan pentingnya konsep imago dei (Griffith,hal 277)
[28] Griffith, hal 276
[29] Rhys David dan Carpenter,peny., Digha Nikaya 1:3 (Griffith,hal 255)
[30] Dayananda Sarasvati (1824-1883), dilahirkan sebagai seorang Brahmana di Kathiawari. Pada tahun 1845, ia meninggalkan rumah dan keluarganya dengan tekad untuk menolak penyembahan berhala, memurnikan Hinduisme, dan mencapai pembebasan. Hal ini dilakukannya antara lain dengan menolak kekristenan yang dianggapnya sebagai pengaruh buruk terhadap India. Ia memandang kekristenan sebagai agama sebuah kitab – Alkitab – dan dalam kritiknya terhadap Alkitab, ia berusaha untuk membuktikan bahwa Alkitab itu tidak rasional dan bersifat barbar, dan bahwa agama apapun yang didasarkan padanya tentulah juga memiliki ciri-ciri ini. Ia adalah seorang rasionalis, karena itu ia sangat menetang penyembahan berhala dan segala sesuatu yang dapat dianggap sebagai takhayul. Agamanya dan agama yang dikembangkan oleh Arya Samaj (di Mumbai-1875) adalah agama yang di dalamnya moralitas dan rasionalitas menempati kedudukan yang sentral. Bagi dirinya, Kitab Weda adalah dasar dan sumber yang ineran (tidak bisa keliru) dari semua keyakinan sejati. Banyak dari kritiknya terhadap kekristenan dibayang-bayangi dan sejajar dengan argumen-argumen yang dibangun oleh kaum rasionalis anti-Kristen di Eropa. Ia adalah seorang nasionalis, banyak dari kritiknya terhadap kekristenan dimaksudkan untuk mendukung kesadaran diri nasionalistis India. Kekristenan dipandang sebagai barang impor asing, sebuah bagian integral dari penindasan kolonialis, sehingga penolakannya terhadap kekristenan adalah bagian yang hakiki dari suatu penemuan diri dan penegasan diri India (Hindu). Ia mengklaim Hinduisme Wedais bukan hanya dalam alam/ranah rohani, tetapi juga dalam alam/ranah ilmiah dan rasional. Bagi Dayananda, India tidak perlu belajar apa pun dari Barat. (Paul J. Griffiths, Kekristenan Di Mata Orang Bukan Kristen, (Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 2008), 350-352)
[31] Ibid, 353-354
[32] Ibid, 354
[33] Ibid, 354-355
[34] Ibid, 355
[35] Ibid, 355-157
[36] Ibid, 357-358
[37] Ibid, 358
[38] Vivekananda (1863-1902) dilahirkan dalam keluarga kasta tinggi di Calcutta. Pada tahun 1881, ia dipengaruhi oleh Ramakrishna, seorang mistikus dan visioner. Ia mengabdikan hidupnya untuk mempelajari dan mengajarkan sebuah versi dari pemikiran Ramakrishna dan menyebarkan “injil” itu di Barat (khususnya di Amerika Serikat). Vivekananda sangat kuat membela keunggulan Timur atas Barat dalam masalah keagamaan, sambil mengakui keunggulan Barat dalam masalah politik dan militer. Dalam rangka memajukan Hinduisme sebagai agama yang berharga (khususnya) bagi dunia Barat, maka Vivekananda memisahkan masalah yang bersifat keagamaan dari masalah sosial-ekonomi dan militer, dan mengkalim keunggulan India dalam ranah keagamaan. Vivekananda mengklaim Yesus sebagai seorang Timur dan menolak gambaran Barat tentang Dia sebagai seorang Kaukasian. Ia juga menolak doktrin inkarnasi, dan penerimaannya dikaitkan dengan kolonialisme Barat. Itu bukan berarti bahwa ia mempunyai pandangan negatif terhadap pribadi dan signifikansi Kristus. Sebaliknya, dengan menggunakan retorika Victorian, ia mengklaim Kristus sebagai seorang “Utusan” dan seorang “Nabi” yang mewakili Allah bagi manusia dan yang ajarannya mempunyai makna suci. Di balik pandangan Vivekananda tentang Kristus dan kekristenan terdapat unsur-unsur dari metafisika non-dualis Vedanta yang tradisional. Menurut metafisika ini, semua pembedaan – antara subyek dan obyek, kata dan acuan, agama dan agama – pada akhirnya hanya ilusi. Yang benar hanyalah tunggal, tidak dapat dibedakan, tidak dapat ditembus oleh bahasa. Fungsi para nabi, inkarnasi, dan utusan adalah mengkomunikasikan sebanyak mungkin kebenaran yang transenden ini kepada umat manusia sejauh mereka mampu memahaminya pada suatu waktu tertentu. Perbedaan-perbedaan yang kelihatan di antara pesan-pesan dari berbagai nabi dan guru agama, disebabkan oleh konteks sosial dan budaya mereka yang berbeda, bukan karena ketidaksepakatan keagamaan yang fundamental di antara mereka. Semua guru agama yang baik, tentunya mengajarkan hal yang persis sama. Yesus Kristus, termasuk ke dalam pola ini. (Ibid, 359-361)
[39] Ibid, 362-364
[40] Mohandas Karamchand (Mahatma) Gandhi (1869-1984) adalah seorang pemimpin politik dan agama India. Sebagian pendidikannya di tempuh di London, tempat ia belajar hukum dan lulus sebagai pengacara pada tahun 1891. Ia pernah tinggal di Afrika Selatan, di sana ia mendirikan Kongres India Natal, sebuah organisasi yang bergerak dalam penerbitan dan membantu dalam berbagai kasus pelanggaran yang di derita oleh masyarakat India di sana. Pemikiran politik dan keagamaan Gandhi, dipengaruhi oleh pemikiran Leo Tolstoy, dan ia menjadi seorang reformator keagamaan yang radikal, khususnya dalam masalah kasta. Ia selalu bersikap mendua terhadap agama Kristen: ia selalu positif dalam penilaiannya terhadap penafsiran tertentu (terutama etis) terhadap Perjanjian Baru, tetapi sangat negatif dalam persepsinya terhadap kekristenan yang ditampilkan oleh gereja. Ia banyak mengaitkan kekristenan dengan kolonialisme dan secara terang-terangan menolak apa yang dipandangnya sebagai intoleransi dan imperialism Kristen khususnya dalam kaitannya dengan upaya orang Kristen dalam kristenisasi terhadap orang-orang non-Kristen. Pengetahuan Gandhi tentang teks-teks suci tradisi keagamaannya sendiri diperolehnya pertama-tama dan terutama melalui terjemahan-terjemahan Inggris. Pendidikan Baratnya, telah membuatnya terasing dari akar-akar keagamaannya sendiri, demikian pula komentar-komentarnya tentang agama umumnya – dan kekristenan khususnya. (Ibid, 382-383)
[41] Dalam pengalamannya yang di tuangkan dalam tulisannya, Gandhi mengartikan agama dalam pengertian yang paling luas yakni kesadaran diri atau pengetahuan tentang diri sendiri. Gandhi mengatakan bahwa ia tidak menyukai agama Kristen. Hal ini didasarkan pada pengalamannya di masa kecil. Pada waktu itu, ia melihat misionaris Kristen biasa berdiri di sudut jalan sambil melontarkan kata-kata penuh penghinaan kepada orang-orang Hindu dan dewa-dewa mereka. Pada saat yang hampir bersamaan, ia mendengar tentang seorang Hindu yang terkenal beralih menjadi Kristen. Seluruh kota menggunjingkannya, bahwa ketika ia dibaptiskan, ia harus makan daging sapi dan minum minuman keras, bahwa ia pun harus mengganti pakaiannya, dan sejak saat itu ia mulai mengenakan pakaian Eropa termasuk topi. Kemudian, ia mendengar bahwa orang tersebut mulai menghina agama nenek moyangnya, kebiasaan-kebiasaan mereka, dan negara mereka. Gandhi, kemudian bertemu dengan seorang Kristen dari Manchester di sebuah asrama vegetarian. Ia kemudian menceritakan pengalamannya, sehingga ia membenci orang Kristen. Setelah perjumpaan itu, Gandhi mulai bersemangat untuk mengenal lebih dalam lagi tentang agama lain (Kristen), ia kemudian membeli sebuah Alkitab yang lengakap dengan konkordansi, peta dan beberapa informasi lainnya. Ketika ia membaca Perjanjian Baru, ia merasa sangat terkesan dengan bagian Khotbah di Bukit, yang langsung dapat dimengerti dan masuk ke dalam hatinya. Kemudian, Gandhi membandingkan bagian itu dengan Gita; dengan pikirannya yang masih “hijau”, ia berusaha untuk mempersatukan ajaran Gita, cahaya Asia dan Khotbah di Bukit. Bahwa penyangkalan diri adalah bentuk tertinggi agama sangatlah memikat hati Gandhi.

[42] Professor Mukherji dilahirkan dan belajar di India. Ia telah mengabdikan banyak sekali dari tulisannya untuk menguraikan neo-Vedanta. Ia pernah belajar dan mengajar di sejumlah Universitas di AmerikaUtara dan Eropa, dan pernah mengajar di Departemen Filsafat, Universitas Hindu Banaras. Dalam esainya ini, ia memperlihatkan agama Kristen sebagaimana yang tampak ketika ditafsirkan melalui kategori-kategori konseptual dari Advaita Vedanta, sebuah perspektif filsafat yang secara radikal bersifat non-dualistik.
Apa yang secara khusus penting dalam esai ini adalah penggunaan ide oleh Profesor Mukerji tentang “pengalaman yang mengesahkan diri sendiri” sebagai dasar bagi Hinduisme untuk menciptakan ruang bagi beraneka ragam komunitas agama. Apa yang disingkapkan dalam pengalaman seperti itu adalah “relitas dimensi tentang hal-hal yang tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata.” Di sini tidak ada rumusan tentang kebenaran keagamaan dalam kata-kata yang dapat diharapkan menangkap realitas. Rumusan-rumusan verbal yang telah sering diterima orang Kristen sebagai rumusan yang definitive (pasti) tentang iman mereka tidak dinilai salah; rumusan-rumusan itu semata-mata dinilai sebagai satu potongan teka-teki. (Ibid, 408-409) 

Tidak ada komentar:

Masih ada jalan keluar