ddd
Selamat
Kamis, 30 Oktober 2014
Minggu, 26 Oktober 2014
Bolehkah Bercerai....???
Berbicara mengenai perceraian memang bukan masalah baru dalam sejarah umat manusia.Apalagi dikalangan para selebiritis di Indonesia perceraian bukanlah sesuatu hal yang menyedihkan.Dan buktinya “terjadi kawin cerai” dan ternyata bukannya para selebritis dan tetangga sepupu, ternyata ada juga orang Kristen yang melakukan perceraian dengan pasangannya.Padahal sebenarnya mereka sudah mengerti pemahaman kebenaran Alkitab lewat pemberkatan dan janji yang telah diucapkan berdua ketika dalam acara perberkatan di gereja namun masih ada saja yang melakukan cerai.Dan masalah ini perlu diselediki mengapa terjadi perceraian?
Terjadinya Perceraian
Pada umumnya memang terjadinya perceraian disebabkan perselingkuhan namun tidak dipungkiri bahwa perceraian bisa ditimbulkan karena banyak factor seperti perbedaan iman, perbedaaan pendapat, tidak saling mengerti, kurang komunikasi, kurang menikmati hubungan imtim, masalah uang, masalah mertua, anak dan lain sebagainya.
Di Israel Kuno, suami muda menceraikan istri meski harus ada alas an. Jika janda itu menikah dengan pria lain, suaminya yang telah menceraikannya tidak bisa menikahinya kembali, sekalipun suami keduanya sudah meninggal. Mungkin ini dimaksudkan agar laki-laki tidak tergesa-gesa menulis surat cerai. Melanggar hukum ini bisa mendatangkan dosa atas negeri.Ternayata bahwa perceraian terjadi memang karena sebuah kebiasaan atau budaya kaum Semit yang telah Baheula.Yang dimana kebiasaan ini ketika si istri kedapatan melakukan kemesuman atau ketidaksenonohan maka si istri dapat diceraikan.
Mazhab Hille; menafsirkan sebagai ketidaksenonohan dalam arti luas, termasuk bahwa si sitri dapat diceraikan karena sebab-sebab di luar kemesuman. Sekalipun persekutuan perkawinan adalah kudus dan tidak dapat diganggugugat, namun perkawinan itu dapat di akhiri dengan syarat-syarat tertentu. Dalam tradisi Yahudi, laki-laki dan perempuan dianggap sudah menikah walaupun mereka masih “bertunangan.”Percabulan dalam masa “pertunangan” ini dapat merupakan satu-satunya alasan untuk bercerai.Ibid, halamam.332.
Terjemahan versi New American Standar Bible ac'm' .. Kata ini memakai kata benda, tunggal, orang ketiga maskulin, yang artinya didapati;kedapatan. Berarti dapat disimpulkan bahwa kata tidak senonoh disini adalah bisa diartikan ditemuinya si istri melakukan hubungan intim (sex) “sesuatu yang memalukan”
Alasan dibuat Surat Cerai
Kitab Ulangan 17:7, dan Imamat 20:10 menjelaskan bagaimana orang yang kedapatan yang berzinah dihukum mati atau dirajam dengan batu sesuai dengan hukum Kitab Musa. Bagi yang melakukan perzinahan tidak ada “tawar menawar” atau kata “ampun” tidak ada belas kasihan, tidak ada diberi kesempatan. Berarti bisa ditarik benang merah bahwa orang-orang yang melakukan perzinahan dalam Kitab Perjanjian Lama begitu banyak yang mati tanpa ada diberi kesempatan untuk bertobat.
Tujuan Surat Perceraian
Tujuan Surat cerai dalam Perjanjian Lama tentulah merupakan suatu perlindungan untuk wanita dalam pernikahan. Membuat suatu surat atau sertifikat pada masa dulu merupakan pekerjaan yang memakan banyak waktu. Jadi kalau seorang suami harus membuat surat cerai, maka perceraian itu tidak mungkin diadakan dalam emosi sesaat. Apalagi kemudian surat cerai itu dapat dijadikan tanda identitas atau sebagai suatu status yang jelas kepada wanita itu.
Perceraian Menurut Hukum Musa
Menurut hukum Taurat untuk menceraikan istri, seorang suami harus membuat surat cerai yang resmi. Ini dimaksudkan agar para suami tidak mudah menceraikan istri mereka.Sebelum aturan ini ada, para istri dapat diusir begitu saja dan tidak lagi dianggap sebagai istri.Dan hukum taurat tidak mengizinkan para istri menceraikan suami mereka.Ketetapan Musa tentang perceraian bukanlah suatu pembenaran terhadap perceraian, tapi suatu kelonggaran atau konsesi karena ketegaran hati Israel.Musa sendiri tidak menyetujui perceraian.Ia mengajarkan pernikahan yang permanen, seperti yang tertulis dalam Kitab Kejadian. Namun, umat belum siap untuk menerima dan memenuhi tuntutan tersebut.Kenajisan, dimana terjadi melalui pernikahan yang kedua, berdasarkan konsep pernikahan ibrani.Seperti yang dinyatakan sebelumnya, pernikahan menjadikan seorang laki-laki dan seoarang perempuan menjadi satu daging dan seorang perempuan menjadi satu dengan seorang laki-laki selain itu dia sudah menjadi satu daging dengan suaminya, bahwan setelah perceraian adalah kenajisan.
ž Jesus Pronounces it adultery in his day (Luke 16:18)
Mencegah Perceraian yang terburu-buru
Surat perceraian di izinkan oleh musa supaya tidak tergesa-gesa dan terburu-buru menceraikannya tentu di dalam pengambilan keputusan perlu ada saksi dan fakta yang perlu ditunjukkan. Dan di dalam waktu pembuktian fakta ini akan member kesempatan untuk memperbaiki hubungan yang retak dan juga kepedulian yang menyeluruh untuk mencegah sesuatu yang mencurigakan sebagaimana dikatakan oleh Driver:
Melindungi Para Istri dari Hukuman Rajam Batu
Surat perceraian ini sebagai bentuk tindakan berprikemanusiaan untuk melindungi perempuan yang bercerai dalam perkara dengan suami pertamanya yang ingin memeras sebagai balas dendam dengan mendakwa dia berzinah dengan suami keduanya.
Jadi ternyata bahwa surat cerai ini dibuat untuk melindungi dan membuktikan bahwa dia tidak melakukan perzinahan dengan suami pertamanya. Karena kalau ketahuan atau kedapatan si istri melakukan perzinahan tentu menurut hokum Musa bahwa orang yang melakukan perzinahan akan dirajam dengan batu sampai mati (Imamat.20:10). Hukuman mati ini menunjukkan bahwa perzinahan atau perselingkuhan merupakan pelanggaran prinsip moral karena merusak ikatan pernikahan yang telah dirancang Allah Tigay, Deuteronomy, 222; Cairns, Word and Presence, 210
Hukum Taurat Melarang Perceraian
Hukum Musa tak pernah mendorong, melarang atau menyetujui perceraian dalam Ulangan 24:1-4. Sebaliknya, hukum itu hanya menggariskan tata cara tertentu jika dan tatkala perceraian terjadi secara tragis. Ada satu ayat dalam Perjanjian Lama yang menyatakan bahwa Allah membenci perceraian: Musa memang mengizinkan perceraian di dalam Perjanjian Lama karena memang kekerasan hati bangsa Israel (Matius 19:8; 5:31). Dengan kata lain, Alkitab tidak pernah berkompromi atau mendukung perceraian karena sejak semula perceraian bukanlah rencana Allah. Salah satu referensi adalah di Maleakhi 2:14-16 Sebab Aku membenci perceraian, firman TUHAN, Allah Israel -- juga orang yang menutupi pakaiannya dengan kekerasan, firman TUHAN semesta alam. Maka jagalah dirimu dan janganlah berkhianat.Bahkan kitab Kejadian berbicara secara implicit bahwa istri yang disediakan Allah bagi Adam adalah penolong yang sepadan dengan dia,
Perceraian Menurut Kitab Injil
Tuhan Yesus sebenarnya tidak mempermasalahkan Musa, namun Ia mempermasalahkan orang-orang Israel yang tegar hati. Oleh sebab ketegaran hati orang israel, maka Musa mengatur surat cerai, supaya nantinya jangan ada kekacauan secara penuh, misalnya janganlah seorang istri diusir dengan begitu saja oleh seorang suami. Ketentuan ini dimaksudkan untuk mempersulit para suami menceraikan istrinya.Karena sebelum hokum ini dibuat, para suami sesukanya mengusir istrinya begitu saja dan menganggapnya bukan istrinya lagi. Bagi Yesus. Perkawinan merupakan hal yang penting dan untuk menegaskan hal itu, Ia mengutip kisah penciptaan dari Kitab Kejadian.
Yesus Kristus Melarang Perceraian
Tuhan Yesus menegaskan bahwa ketetapan Musa tentang perceraian tersebut bukanlah bagian dari rancangan asali Allah tentang pernikahan."Sejak semula tidaklah demikian”. Tuhan Yesus tetap mempertahankan bahwa maksud Allah sejak semula di dalam Kitab Kejadian supaya menjaga hubungan dalam nikah berjalan terus seperti yang diuraikan-Nya pada ayat ini: Matius 19:4-6 Jawab Yesus: "Tidakkah kamu baca, bahwa Ia yang menciptakan manusia sejak semula menjadikan mereka laki-laki dan perempuan? Dan firman-Nya: Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia."
Ø Yesus Mengampuni orang Yang Berzinah
Ø Yesus Kristus Memberi Kesempatan Untuk berubah
KESIMPULAN
Dapat disimpulkan bahwa sebenarnya Musa tidak mengizinkan perceraian, dengan alasan bahwaYesus sendiri berkata di dalam Matius 19:9 “tetapi karena ketegaran hati mereka maka Musa mengizinkan kamu untuk menceraikan istrimu. Juga tujuan Musa mengizinkan untuk membuat surat cerai secara resmi supaya disaat pembuatan atau pengurusan surat ini memakan waktu yang lama, agar benar-benar dipertimbangkan matang sebelum cerai dengan istrinya.
Jadi tidak ada alasan karena berzinah atau tidak senonoh sebab Yesus Kristus di dalam Perjanjian baru memberi kesempatan bertobat kepada perempuan atau istri yang melakukan perzinahan.Dan mengenai pernikahan kembali hanya diizinkan kepada suami yang telah meninggal.
Manajemen Konflik
Manajemen Konflik
Organisasi terdiri
dari berbagai macam komponen yang berbeda dan saling memiliki ketergantungan
dalam proses kerjasama untuk mencapai tujuan tertentu. Perbedaan yang terdapat
dalam organisasi seringkali menyebabkan terjadinya ketidakcocokan yang akhirnya
menimbulkan konflik. Hal ini disebabkan karena pada dasarnya ketika terjadi
suatu organisasi, maka sesungguhnya terdapat banyak kemungkinan timbulnya
konflik.
Timbulnya konflik
karena perbedaan pandangan terhadap peran konflik dalam kelompok atau
organisasi. Ada yang berpendapat bahwa konflik harus dihindari atau
dihilangkan, karena jika dibiarkan maka akan merugikan organisasi. Berlawanan
dengan ini, pendapat lain menyatakan bahwa jika konflik dikelola sedemikian
rupa maka konflik tersebut akan membawa keuntungan bagi kelompok dan
organisasi. Stoner dan Freeman menyebut konflik tersebut sebagai konflik
organisasional (organizational conflict).
Konflik bisa terjadi
bagi pribadi atau organisasi, konflik tidak dapat dihindari. Konflik dapat menjadi masalah
yang serius dalam setiap organisasi, tanpa peduli apapun bentuk dan tingkat
kompleksitas organisasi tersebut, jika konflik tersebut dibiarkan
berlarut-larut tanpa penyelesaian. Karena itu keahlian untuk mengelola konflik
sangat diperlukan bagi setiap pimpinan atau manajer organisasi
Jadi, seorang seorang
pemimpin perlu memiliki kreativitas dalam mencari pemecahaan dari suatu
masalah. Contoh kasus yaitu dalam rapat mingguan sebuah perusahaan pastilah
masing-masing individu memiliki argumen dan pendapat yang berbeda-beda.
Perbedaan pendapat tersebut terkadang dapat memicu adanya suatu perdebatan yang
apabila dibiarkan dapat berujung pada konflik. Dan tentunya hal ini dapat
menghambat lahirnya suatu keputusan bersama. Untuk itu pimpinan perusahaan atau
pimpinan rapat harus bersikap bijak.
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Defenisi Manejemen
Kata Manajemen berasal
dari bahasa Perancis kuno ménagement, yang memiliki arti "seni
melaksanakan dan mengatur.Manajemen belum memiliki definisi yang mapan dan
diterima secara universal. Mary Parker
Follet, misalnya, mendefinisikan manajemen sebagai seni menyelesaikan pekerjaan
melalui orang lain. Definisi ini berarti bahwa seorang manajer bertugas
mengatur dan mengarahkan orang lain untuk mencapai tujuan organisasi.[1]
Konflik dalam
pengertian yang sangat luas dapat dikatakan sebagai segala macam bentuk antar
hubungan antar manusia yang bersifat berlawanan (antagonistik). Ia dapat
terlihat secara jelas dan dapat pula tersembunyi.
Menurut kamus besar
bahasa Indonesia, konflik adalah percekcokan, perselisihan atau pertentangan
baik dari segi pemikiran atau kebijakan.
Menurut sosiologis,
konflik merupakan proses antara dua orang atau lebih yang berusaha
menyingkirkan dengan cara menghancurkan atau membuat tidak berdaya.
Dahulu konflik dianggap
sebagai gejala atau fenomena yang tidak wajar dan berakibat negatif, tetapi
sekarang konflik dianggap sebagai gejala yang wajar yang dapat berakibat
negatif maupun positif tergantung bagaimana cara mengelolanya.
B. Defenisi Konflik
Konflik
berasal dari kata kerja Latin “configure” yang berarti saling memukul. Secara
sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau
lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak
lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya.
Para
pakar ilmu perilaku organisasi, memang banyak yang memberikan definisi tentang
konflik. Robbins mengatakan: “sebuah proses dimana sebuah upaya sengaja
dilakukan oleh seseorang untuk menghalangi usaha yang dilakukan oleh orang lain
dalam berbagai bentuk hambatan (blocking) yang menjadikan orang lain tersebut
merasa frustasi dalam usahanya mancapai tujuan yang diinginkan atau merealisasi
minatnya”. Dengan demikian yang dimaksud dengan Konflik adalah proses
pertikaian yang terjadi sedangkan peristiwa yang berupa gejolak dan sejenisnya
adalah salah satu manifestasinya. Stephen P. Robbins dalam bukunya perilaku
Organisasi (Organizational Behavior) menjelaskan bahwa terdapat banyak definisi
konflik. Meskipun makna yang diperoleh definisi itu berbeda-beda, beberapa tema
umum mendasari sebagian besar dari definisi tersebut. Konflik harus dirasakan
oleh pihak-pihak yang terlibat; apakah konflik itu ada atau tidak ada merupakan
persoalan persepsi. Jika tidak ada yang menyedari akan adanya konflik, secara
umum lalu disepakati konflik tidak ada. kesamaan lain dari definisi-definisi
tersebut adalah pertentangan atau ketidakselarasan dan bentuk-bentuk interaksi.
Beberapa faktor ini menjadi kondisi yang merupakan titik awal proses konflik.[2]
Jadi,
konflik sebagai sebuah proses yang dimulai ketika suatu pihak memiliki persepsi
bahwa pihak lain telah memengaruhi secara negatif, sesuatu yang menjadi
kepedulian atau kepentingan pihak pertama. Definisi ini mencakup beragam
konflik yang orang alami dalam organisasi-ketidakselarasan tujuan, perbedaan
interpretasi fakta, ketidaksepahaman yang disebabkan oleh ekspektasi perilaku,
dan sebagainya. Selain itu, definisi lain cukup fleksibel untuk mencakup
beragam tingkatan konflik-dari tindakan terang-terangan dank eras sampai ke
bentuk-bentuk ketidaksepakatan yang tidak terlihat
C.
Dampak Konflik
Konflik
dapat berdampak positif dan negatif yang rinciannya adalah sebagai berikut :
1. Dampak Positif
Konflik
Menurut
Wijono bila upaya penanganan dan pengelolaan konflik karyawan dilakukan secara
efisien dan efektif maka dampak positif akan muncul melalui perilaku yang
dinampakkan oleh karyawan sebagai sumber daya manusia potensial dengan berbagai
akibat seperti: Meningkatnya ketertiban dan kedisiplinan dalam menggunakan
waktu bekerja, seperti hampir tidak pernah ada karyawan yang absen tanpa alasan
yang jelas, masuk dan pulang kerja tepat pada waktunya, pada waktu jam kerja
setiap karyawan menggunakan waktu secara efektif, hasil kerja meningkat baik
kuantitas maupun kualitasnya.
Pertama, Meningkatnya
hubungan kerjasama yang produktif. Hal ini terlihat dari cara pembagian tugas
dan tanggung jawab sesuai dengan analisis pekerjaan masing-masing.
Kedua, Meningkatnya
motivasi kerja untuk melakukan kompetisi secara sehat antar pribadi maupun
antar kelompok dalam organisasi, seperti terlihat dalam upaya peningkatan
prestasi kerja, tanggung jawab, dedikasi, loyalitas, kejujuran, inisiatif dan
kreativitas.
Ketiga, Semakin
berkurangnya tekanan-tekanan, intrik-intrik yang dapat membuat stress bahkan
produktivitas kerja semakin meningkat. Hal ini karena karyawan memperoleh
perasaan-perasaan aman, kepercayaan diri, penghargaan dalam keberhasilan
kerjanya atau bahkan bisa mengembangkan karier dan potensi dirinya secara
optimal.
Kelima, Banyaknya
karyawan yang dapat mengembangkan kariernya sesuai dengan potensinya melalui
pelayanan pendidikan (education), pelatihan (training) dan konseling
(counseling) dalam aspek kognitif, afektif dan psikomotorik. Semua ini bisa
menjadikan tujuan organisasi tercapai dan produktivitas kerja meningkat
akhirnya kesejahteraan karyawan terjamin.
2. Dampak Negatif
Konflik
Dampak
negatif konflik (Wijono, 1993, p.2), sesungguhnya disebabkan oleh kurang
efektif dalam pengelolaannya yaitu ada kecenderungan untuk membiarkan konflik
tumbuh subur dan menghindari terjadinya konflik. Akibatnya muncul
keadaan-keadaan sebagai berikut:
Pertama, Meningkatkan
jumlah absensi karyawan dan seringnya karyawan mangkir pada waktu jam-jam kerja
berlangsung seperti misalnya ngobrol berjam-jam sambil mendengarkan sandiwara
radio, berjalan mondar-mandir menyibukkan diri, tidur selama pimpinan tidak ada
di tempat, pulang lebih awal atau datang terlambat dengan berbagai alasan yang
tak jelas.
Kedua, Banyak karyawan
yang mengeluh karena sikap atau perilaku teman kerjanya yang dirasakan kurang
adil dalam membagi tugas dan tanggung jawab.
Ketiga, Seringnya
terjadi perselisihan antar karyawan yang bisa memancing kemarahan,
ketersinggungan yang akhirnya dapat mempengaruhi pekerjaan, kondisi psikis dan
keluarganya.
Keempat, Banyak
karyawan yang sakit-sakitan, sulit untuk konsentrasi dalam pekerjaannya, muncul
perasaan-perasaan kurang aman, merasa tertolak oleh teman ataupun atasan,
merasa tidak dihargai hasil pekerjaannya, timbul stres yang berkepanjangan yang
bisa berakibat sakit tekanan darah tinggi, maag ataupun yang lainnya.
Kelima, Seringnya
karyawan melakukan mekanisme pertahanan diri bila memperoleh teguran dari
atasan, misalnya mengadakan sabotase terhadap jalannya produksi, dengan cara
merusak mesin-mesin atau peralatan kerja, mengadakan provokasi terhadap rekan
kerja, membuat intrik-intrik yang merugikan orang lain.
Keenam, Meningkatnya
kecenderungan karyawan yang keluar masuk dan ini disebut labor turn-over.
Kondisi semacam ini bisa menghambat kelancaran dan kestabilan organisasi secara
menyeluruh karena produksi bisa macet, kehilangan karyawan potensial, waktu tersita
hanya untuk kegiatan seleksi dan memberikan latihan dan dapat muncul pemborosan
dalam cost benefit.
BAB III
CARA MENGATASI MANEJEMEN KONFLIK
Para
manajer/pemimpin memandang konflik secara negatif, karena itu berusaha untuk
menghapuskan semua jenis konflik. Konflik dianggap mengganggu organisasi dan
menghalangi pencapaian tujuan organisasi yang optimal.
Jadi
untuk mengatasi konflik perlu dimengerti dan fahami untuk tidak menjadi masalah besar bagi organisasi.Metode yang sering digunakan untuk
menangani konflik adalah:
A.Mengenal Penyebab Konflik
Seorang pemimpin dapat
melakukan setiap saat ketika ada indikasi konflik dan memperhatikan konflik
yang nyata dan tersembunyi. Konflik yang nyata akan mudah dikenali dan
dianalisis, tetapi konflik tersembunyi tidak demikian adanya. Konflik yang
tersembunyi perlu dibuka melalui pemberian stimulus yang terencana supaya
menjadi terbuka dan jelas. Soetopo dan Supriyanto berpendapat apabila kedua konflik tersebut di
organisasi tidak ada dan organisasi menunjukkan adanya kestatisan, pimpinan
dapat merangsang timbulnya konflik dengan suatu maksud, sekolah menjadi dinamis
dan ini diperlukan bagi terciptanya suasana yang kondusif bagi pencapaian
tujuan penyelenggaraan.[3]
Sumber konflik lainnya
yang potensial adalah faktor pribadi, yang meliputi: sistem nilai yang dimiliki
tiap-tiap individu, karakteristik kepribadian yang menyebabkan individu
memiliki keunikan (idiosyncrasies) dan berbeda dengan individu yang lain.
Kenyataan menunjukkan bahwa tipe kepribadian tertentu, misalnya, individu yang
sangat otoriter, dogmatik, dan menghargai rendah orang lain, merupakan sumber
konflik yang potensial. Jika salah satu dari kondisi tersebut terjadi dalam
kelompok, dan para karyawan menyadari akan hal tersebut, maka muncullah
persepsi bahwa di dalam kelompok terjadi konflik. Keadaan ini disebut dengan
konflik yang dipersepsikan (perceived conflict). Kemudian jika individu
terlibat secara emosional, dan mereka merasa cemas, tegang, frustrasi, atau
muncul sikap bermusuhan, maka konflik berubah menjadi konflik yang dirasakan
(felt conflict). Selanjutnya, konflik yang telah disadari dan dirasakan
keberadaannya itu akan berubah menjadi konflik yang nyata, jika pihak-pihak
yang terlibat mewujudkannya dalam bentuk perilaku. Misalnya, serangan secara
verbal, ancaman terhadap pihak lain, serangan fisik, huru-hara, pemogokan, dan
sebagainya.
Jadi, inilah adalah langkah
yang terpenting. Metode yang benar dan telah diuji mengenai siapa, apa,mengapa,
dimana, dan bagaimana berhasil dengan sempurna. Pusatkan perhatian pada
masalahutama dan bukan pada hal-hal sepele.
B.
Mendiagnosa Konflik
Metodenya
mendiagnosa sebuah organisasi atau perusahaan yang mengalami gangguan. Adapun
sorotan analisanya adalah pada peranan manajemen puncak, proses pembuatan suatu
keputusan dan dampaknya, serta makna dari konflik dalam organisasi. Inilah
langkah yang terpenting. Metode yang benar dan telah diuji mengenai siapa, apa,
mengapa, dimana, dan bagaimana berhasil dengan sempurna. Memusatkan perhatian
pada masalah utama dan bukan pada hal-hal sepele. Mendiagnosa konflik merupakan
upaya untuk menentukan kualitas suatu konflik. Soetopo dan Supriyanto
(2003:176) menyatakan kualitas suatu konflik dapat ditinjau dari dua segi yaitu
intensitas dan keluasannya. Keduanya terkait satu sama lain, atas dasar ini
kualitas konflik dapat diklasifikasikan menjadi a) konflik ringan/kecil (jika
intensitas rendah dan keluasan kecil), konflik sedang (jika intensitas dan
keluasannya sedang), dan c) konflik besar/berat (jika intensitas tinggi dan
keluasannya besar).
Semua
konflik dimaksud pada dasarnya perlu mendapat perhatian dan dicarikan solusi
penyelesaian secara baik sesuai dengan situasi dan kondisi masing-masing.
Diagnosa konflik bertujuan untuk menentukan taktik penyelesaian, apakah
menggunakan taktik competitive (kompetisi), avoidant (penghindaran),
accomodation (akomodasi), dan sharing orientation (kompromi), atau
collaborative (kolaborasi). Organisasi harus memperhatikan konflik berdasarkan
skala prioritas. Sehingga pengkajian terhadap suatu konflik perlu diperhatikan
dengan baik agar pencapaian tujuan organisasi dapat terlaksana secara efektif
dan efisien.
C.
Menyepakati Suatu Solusi
Mengumpulkanlah
masukan mengenai jalan keluar yang memungkinkan dari orang-orang yang terlibat
di dalamnya. Saringlah penyelesaian yang tidak dapat diterapkan atau tidak
praktis. Jangan sekali-kali menyelesaikan dengan cara yang tidak terlalu baik.
Carilah yang terbaik.
D.
Mengontrol Komunikasi
Suatu
Komunikasi yang baik akan menciptakan lingkungan yang terapetik dan kondusif.
Suatu upaya yang dapat dilakukan manajer untuk menghindari konflik adalah
dengan menerapkan komunikasi yang efektif dalam kegitan sehari-hari yang
akhirnya dapat dijadikan sebagai satu cara hidup.
Jadi
dalam penyelesaian konflik sebagai pemimpin harus tetap menjaga komunikasi yang
baik dang sopan dalam artian jangan sampai keluar kata-kata menghakimi,
kata-kata kotor sehingga suasana tetap aman.
E.
Sikap Menghindar
Menghindari
konflik dapat dilakukan jika isu atau masalah yang memicu konflik tidak terlalu
penting atau jika potensi konfrontasinya tidak seimbang dengan akibat yang akan
ditimbulkannya. Penghindaran merupakan strategi yang memungkinkan pihak-pihak
yang berkonfrontasi untuk menenangkan diri. Manajer perawat yang terlibat
didalam konflik dapat menepiskan isu dengan mengatakan “Biarlah kedua pihak
mengambil waktu untuk memikirkan hal ini dan menentukan tanggal untuk melakukan
diskusi” Russel Swanburg
mengatakan:
Menghindaradalah
suatu strategi yang memungkinkan kelompok konflik menjadi dingin. Manejer
perawar dan mengelakkan isu dengan mengatakan “marilah kedua belah pihak
mengambil waktu untuk memikirkan tentang hal ini dan tenttukan waktu untuk
memikirkan tentang hal ini dan tentukan waktu untuk pertemuan waktu berikutnya.[4]
Jadi dalam sikap menghindar memerlukan
waktu perenungan atau kesempatan untuk berfikir bagaimana cara penyelesaian
yang lebih baik lagi.
F.
Mengakomodasi
Menghindari
konflik dapat dilakukan jika isu atau masalah yang memicu konflik tidak terlalu
penting atau jika potensi konfrontasinya tidak seimbang dengan akibat yang akan
ditimbulkannya. Penghindaran merupakan strategi yang memungkinkan pihak-pihak
yang berkonfrontasi untuk menenangkan diri. Manajer perawat yang terlibat
didalam konflik dapat menepiskan isu dengan mengatakan “Biarlah kedua pihak
mengambil waktu untuk memikirkan hal ini dan menentukan tanggal untuk melakukan
diskusi”[5] sebagaimana dikatakan Ann Jackman mengatakan:
Pendekatan ini
nonkonfrontatif dan kooperatif, kebalikan dari bersaing. Ketika mengakomodasi,
individu mengaibaikan kepentingannya sendiri untuk memuaskan kepentingan orang
lain. Jadi, ada unsure pengorbanan diri dalam gaya ini. Akomodasi bisa
berbentuk amal atau memberkati, mematui perintah orang lain padahal anda tidak
ingin, atau menyerah pada cara pandang orang lain.[6]
G.
Sikap Kompromi
Dalam
gaya ini perhatian pada diri sendiri maupun pada orang lain dlam posisi tengah.
Dalam kompromi setiap orang memiliki sesuatu untuk diberikan dan menerima
sesuatu. Kompromi paling efektif sebagai alat bila isu itu komplek dan menjadi
pilihan bila metode lain gagal. Kompromi hampir selalu dijadika sarana oleh
semua kelompok yang berselisih untuk memberikan sesuatu guna mendapatkan jalan
keluar atau pemecahan.
H.
Bersaing
Pendekatan ini konfrontatif dan tidak kooperatif.
Individu mengejar kepentingannya sendiri dengan mengorbankan kepentingan orang
lain. Ini adalah gaya yang berorientasi pada kekuatan. Seseorang menggunakan
kekuatan apapun yang bisa digunakan, misalnya kemampuan berdebat, sanksi
ekonomi, untuk memegang kendali. Bersaing bisa berarti membela hak anda,
mempertahankan posisi yang anda dapat benar, atau hanya berupaya untuk menang.
I.
SOLUSI
Pemecahan
sama-sama menang dimana individu yang terlibat mempunyai tujuan kerja yang
sama.Perlu adanya satu komitmen dari semua pihak yang terlibat untuk saling
mendukung dan saling memperhatikan satu sama lainnya. Mengendalikan konflik
berarti menjaga tingkat konflik yang kondusif bagi perkembangan organisasi
sehingga dapat berfungsi untuk menjamin efektivitas dan dinamika organisasi
yang optimal.
J.
EVALUASI
Meskipun
keputusan telah disiapkan oleh masing-masing kelompok dan tim mediasi,
keputusan tersebut harus dievaluasi oleh semua pihak yang terkait di dalam
perusahaan atau kantor.[7]
BAB IV
KESIMPULAN
Manajemen
konflik adalah serangkaian proses untuk mempertemukan kemepentingan dua belah
pihak, menetralisir konflik, dan memulihkan pasca konflik. Manajemen konflik
harus diawali dengan memetakan konflik, mendengar ketarangan dua belah pihak,
mempertemukan kedua belah pihak, dan pengambilan keputusan untuk mengatasi
konflik.
Konflik
adalah saran untuk menghasilkan perubahan radikal. Konflik merupakan alat yang
dengannya manajemen berubah secara drastic struktur kekuasaaan yang ada,
pola-pola interaksi yang sedang berjalan, dan sikap yang sudah mengakar.
Kelompok
atau organisasi yang tidak mengalami konflik kiranya akan menderita apati,
kemandekan, sikap ikut-ikutan arus, dan penyakit-penyakit lainnya yang
membuatnya lemah.
Jadi,
konflik bukanlah dihindari apalagi untuk
di abaikan, akan tetapi konflik hendaklah harus dihadapi atau di kompromikan
kepada pihak yang bertingkai. Konflik
dapat diatas jika komunikasi diantara para pihak yng terjadi konflik dapat
dipahami dan dicari solusinya.
TEOLOGI PEMBEBASAN
Teologi Pembebasan
Berbicara mengenai teologi pembebasan berarti
berbicara mengenai konteks teologi Kristen. Pembahasan ini tidak terlepas dari Amerika
Latin dimana teologi ini lahir. Amerika Latin, bukanlah termasuk
kategori “Barat”, tetapi kategori dunia ketiga. Ia merupakan salah satu obyek
eksploitasi negara Barat. Penduduk Amerika Latin terdiri dari ras campuran,
Indian, Afrika, Mongoloid, Jawa, Portugas, Spanyol dan suku-suku pribumi. Dalam
periode abad 16-20 M, bangsa Portugis dan Spanyol menjadi “Raja” diantara
suku-suku dan bangsa-bangsa di Amerika Latin melalui kolonialisme-nya sehingga
dalam keanekaragamanan ras tersebut menimbulkan pengkotak-kotakan antara kulit
putih dan kulit hitam.[1] Teologi
pembebasan adalah sebuah paham akan peranan agama dalam lingkup sosial, yakni
pengontekstualisasian ajaran-ajaran dan nilai agama pada masalah konkret yang
terjadi disekitarnya. Menurut Eta Linnemann di dalam buku yang dimaksud dengan
teologi pembebasan adalah: “teologi yang memperhatikan situasi dan penderitaan
orang miskin. Keinginannya tidak lain daripada membela dan memihak kepada hak
orang miskin”.[2]
A. Latar
Belakang
Pada awalnya munculnya di Eropa dandiperkenalkan oleh para
teolog Katolik di Amerika Latin pada abad pertengahan sebagaimana
dikatakan Fr. Wahono Nitiprawiro:
Teologi
pembebasan pada awalnya muncul di Eropa abad kedua puluh dan menjadi studi
penting bagi agama-agama untuk melihat peran agama dalam ancaman globalisasi
dan menghindar manusia dari berbagai macam dosa, serta menawarkan paradigm
untuk memperbaiki sistim social bagi manusia yang telah dirusak oleh berbagai
system ideology dari perbuatan manusia sendiri.[3]
Jadi, teologi
Pembebasan muncul pada abad ke-20 seiring banyaknya permasalahan dunia yang
sedang tidak merdeka dinilai dari sudut pandang keadilan sebagai manusia yang
sama di hadapan Tuhan. Teologi
pembebasan adalah
sebuah paham tentang peranan agama atau gereja dalam ruang lingkup
lingkungan sosial. Dengan kata lain teologi
pembebasan adalah suatu usaha kontekstualisasi ajaran-ajaran dan nilai
keagamaan atau nilai-nilai teologis pada masalah kongkret di sekitarnya. Teologi
pembebasan muncul dari proses panjang transformasi pasca-Pencerahan refleksi
teologis Kristen. Jadi, gerakan
ini muncul karena perpaduan dari perubahan-perubahan internal dan eksternal.
Secara internal gerakan ini muncul berbarengan dengan perkembangan
aliran-aliran teologis dan keterbukaan terhadap perkembangan sains sosial
modern.
B. Pendiri
Teologi Pembebasan
Gustavo
Gutierrez Merino Lahir pada tanggal 8 Juni 1928 di Monserat, sebuah kawasan
miskin di Lima, Ibu kota Peru. Ia berasal dari keluarga sederhana yang berdarah
Mestizo, keturunan campuran Hispanic (Spanyol) dan Indian. Gutierrez adalah
satu-satunya anak laki-laki dari tiga bersaudara. Meskipun ada
kesulitan-kesulitan ekonomi, ia tidak mengalami kekurangan cinta dari
keluarganya. Ketika berada di bangku sekolah menengah, Gutierrez diserang
penyakit Osteomiletis. Penyakit ini menyebabkan kepincangan permanen pada
kakinya. Penyakit ini pulalah yang menuntun dia memilih jurusan farmasi pada
Universitas San Marcos, Lima. Tetapi, kemudian ia memutuskan untuk masuk
seminari dan belajar filsafat-teologi di Seminari Santiago de Chile.[4]
Kehidupan Gustavo yang lahir dari keluarga sederhana dan
perjumpaannya kepada Tuhan membuatnya mengambil keputusan untuk memperhatikan orang-orang kecil yang tertindas dan mendorongnya
untuk melakukan kontekstualisasi dalam berteologi. Menurut Gutierrez pendekatan
teologi Barat yang dia pelajari tidak dapat diaplikasikan dalam situasi
masyarakat di Amerika Latin. Menurut dia, butuh pendekatan khas untuk
berteologi dalam situasi yang sangat memprihatinkan di Amerika Latin waktu itu.
Ia menjadi anggota Akademi
Bahasa Peru, dan pada 1993 dan dianugerahi Legiun Kehormatan oleh pemerintah
Perancis untuk karyanya yang tak mengenal lelah. Gutierrez pernah belajar
kedokteran dan sastra, psikologi dan filsafat, dan mendapat gelar doktor dari
Institut Pastoral d'Etudes Religieuses (IPER), Université Catholique di Lyon.
Karya terobosan Gutiérrez, A Theology
of Liberation: History, Politics,
Salvation tahun1971(Suatu Teologi Pembebasan: Sejarah, Politik, Keselamatan”)
menjelaskan pemahamannya tentang kemiskinan Kristen sebagai suatu tindakan
solidaritas penuh cinta kasih dengan kaum miskin maupun sebagai protes
pembebasan melawan kemiskinan.
a.
Berkembangnya
Teologi Pembebasan
Berkembangnya teologi
pembebasan sangat dipengaruhi oleh ajaran Marx. Ada dua
ajaran Karl Marx yang masuk dalam konsep teologi pembebasan Amerika Latin. Konsep
perjuangan kelas, kaitannya dengan kemandirian individu. Setiap orang, begitu
kata Gutierrez, haruslah memperjuangkan nasibnya dengan cara dan metode apapun.
Jika perjuangan kelas Karl Marx lebih menekankan pada aspek ekonomi, maka
perjuangan ala Gutierrez menekankan pada semangat “kemerdekaan dalam tatanan
sosial”. Status sebagai orang merdeka, bebas dari penindasan, berdikari dan
merumuskan/menjalani kehidupan sesuai dengan kehendaknya sendiri. Individu
menjadi salah satu “juru selamat” bagi dirinya sendiri. Pengutukan
terhadap kepemilikan pribadi. Dalam masyarakat Amerika Latin saat itu, harta
kekayaan menjadi milik pribadi individu, dalam hal ini milik Spanyol dan
Portugal. Pribumi hanyalah menjadi alat untuk meng-kaya-kan bangsa asing.
Konsep “menebar kasih” telah dihilangkan oleh pemerintah colonial. Dan jelas,
konsep menebar kasih ini telah ada di ajaran Kristen, agama yang juga dipeluk
oleh bangsa Spanyol dan Portugal.[5]
Jadi, kelahiran teologi pembebasan dilatarbelakangi oleh pengalaman Gustavo yang lahir dari keluarga sederhana
serta pengetahuan akan fungsi gereja sebagai garam dan terang dan juga
pengalamannya yang tinggal bersama dengan orang-orang yang tertindas.
b.
Metodologi
Teologi Pembebasan
Dalam memahami teologi pembebasan ini, ada beberapa pemikiran praktis untuk memahami
teologi pembebasan ini. Point pemikiran antara
lain :
- Teologi
pembebasan berawal dari reaksi terhadap sistem masyarakat yang tidak adil;
Situasi, kondisi masyarakat pada waktu itu dalam keadaan miskin,
tertindas, dipojokkan, diasingkan karena perbedaan warna kulit (sosial).
- Teologi
Kristen “Allah mengasihi semua orang dan tidak membedakan status.
- Situasi
kedua, berkembangnya teologi di Barat,
- Teologi harus
bersentuhan dengan kondisi sosial, karena ia lahir dari kondisi sosial.
- Teologi tidak bisa hanya dipahami sebagai yang
“transenden” tetapi dia juga dipahami”.
- Teologi haruslah bersifat kontekstual,
- Menempatkan “aksi sosial” sebagai peran utama dalam
pembebasan masyarakat tertindas.
Dari ketujuh
point di atas bahwa yang terpenting di dalam teologi pembebasan ini adalah
“bagaimana pernanan Alkitab secara nyata bagi orang yang tertindas baik secara
kehidupan di dunia nyata maunpun di dunia akhirat yaitu pembebasan dari dosa dan masuk dalam persekutuan dengan Tuhan
Allah dan semua manusia. Gutierrez mengatakan bahwa Alkitab harus
direfleksikan bukan saja kepentingan dunia semata,
melainkan pembebasan dalam arti sebagai peziarahan seluruh manusia dalam segala
keutuhan dan kedalaman hidupnya serta sekaligus pembebasan dalam arti
penyelamatan manusia dari dosa. Lebih tegasnya Gutierrez ingin mnunjukkan lebih jelas tugas teologi dalam hubungan
antara iman dan perjuangan pembebasan. Refleksi teologi diharapkan menjawab
soal hubungan antara iman dan eksistensi manusia, soal-soal sosial, aksi
politik atau hubungan antara Kerajaan Allah dan bangunan dunia. Ringkasnya,
bagaimana hubungan antara iman dan penciptaan manusia baru yang merupakan
tujuan perjuangan pembebasan.
C.
Pengajaran Teologi Pembebasan.
Konteks
sosial yang terjadi adalah penindasan, kemiskinan, keterbelakangan, dan harkat
manusia. Paham ini tumbuh bersama suburnya sosialisme di Amerika Latin, akhir
1960-an dan awal 1970-an. Teologi Pembebasan merupakan refleksi bersama suatu
komunitas terhadap suatu persoalan sosial.
Teologinya berpusat pada pengentasan rakyat miskin
yang diperlakukan tidak adil oleh sistem masyarakat kelas yang memisahkan
manusia dalam kategori borjuis (para bangsawan yang biasanya kaya) dan proletar
(rakyat jelata yang hanya punya anak namun tanpa harta) sebagaimana dikatakan Y. W. Wartaya Winangun
Teologi
pembebasan adalah usaha untuk melakukan teologi local. Teologi ini mendasarkan
diri pada pengalaman konkret dalam situasi umat beriman local. Keprihatinana
teologi-teologi pembebasan itu sejalan dengan gerakan pemerdekaan maupun
cita-cita kemanusian, gerkan untuk menumbuhkan solidaritas rakyat lemah, dan
keadilan social. Dan dapat disebut beriorentasi pada kerakyatan yang tidak
adil.[6]
Pertama, mencakup pembebasan
politik dan sosial, penghapusan hal-hal yang langsung menyebabkan kemiskinan
dan ketidakadilan.
Kedua, Pembebasan mencakup emansipasi kaum miskin, kaum marjinal, mereka yang
terinjak-injak dan tertindas dari segala sesuatu yang membatasi kemampuan
mereka untuk mengembangkan diri dengan bebas dan dengan bermartabat.
Ketiga, Teologi pembebasan mencakup pembebasan dari egoisme dan dosa, pembentukan
kembali hubungan dengan Allah dan dengan orang-orang lain.
Dari refleksi kritis Gutierrez, jelas bahwa yang
diperjuangkan oleh para teolog pembebasan Amerika Latin bukan saja kepentingan
dunia semata, melainkan pembebasan dalam arti sebagai peziarahan seluruh
manusia dalam segala keutuhan dan kedalaman hidupnya serta sekaligus pembebasan
dalam arti penyelamatan manusia dari dosa.
Teologi pembebasan adalah
bagian dari kerjaan Allah.[8]
Teologi Pembebasan sendiri sebenarnya juga memiliki pengajaran yang
didasarkan dengan Alkitab sebagaimana Allah membebaskan umat-Nya dari
perbudakan bangsa Mesir:
Teologi pembebasan berpijak pada kenyataan bahwa Allah memihak pada
orang-orang yang tertindas dan yang dikesampingkan. Ia membebaskan sekelompok
pekerja-pekerja dari “rumah perbudakan Mesir” menjadikan mereka umat-Nya serta
mengikuti perjanjian dengan mereka dan memberikan hokum kemerdekaan untuk
mengatur hidup bermasyarakat mereka.[9]
Jadi, bagi
pengajaran teologi pembebasan mempunyai pemahaman bahwa Allah dipahami sebagai
pembebas (liberator) di dalam Perjanjian Lam dan Perjanjian Baru.[10]
sebagaimana dikatakan dalam kitab PL maupun PB:
- Bani Israel berada di tanah Mesir, Tuhan
telah mendengarkan jeritan mereka, dan membebaskan mereka dari perbudakan
dan penderitaan. (Keluaran 6:13).
- Nyanyian pujian Maria yang
terdapat dalam Injil Lukas 1:46-55"... Ia memperlihatkan kuasa-Nya
dengan perbuatan tangan-Nya dan menceraiberaikan orang-orang yang congkak
hatinya; Ia menurunkan orang-orang yang berkuasa dari takhtanya dan
meninggikan orang-orang yang rendah; Ia melimpahkan segala yang baik
kepada orang yang lapar dan menyuruh orang yang kaya pergi dengan tangan
hampa ...."
- Nubuat nabi Yesaya tentang
pekerjaan Messias: "... untuk menyampaikan kabar baik kepada
orang-orang yang miskin; dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan
kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk
membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat
Tuhan telah datang." (Luk 4:18-19).
Dalam
pengajaran teologi pembebasan ini, para teolog ini
membedakan antara metode teologi pembebasan dengan teologi tradisional. Teologi
tradisional adalah teologi yang membahas tentang Tuhan semata-mata, sementara
teologi pembebasan adalah cara berteologi yang berasal dari refleksi iman di
tengah realitas konkrit yang menyejarah. Yakni teologi yang memprihatini nasib
dan solider kepada mereka yang menderita ketidakadilan, kalah, miskin, ditindas
dan menjadi korban sejarah; teologi yang mau mentransformasikan dunia
sebagaimana dikatakan dikatakan Y. W. Wartaya Winangun bahwa Teologi pembebasan memahami dirinya bukan sebagai cabang
dari teologi, tetapi merupakan orientasi
keseluruhan reflesi teologis, yaitu orientasi pembebasan kaum miskin,
tertindas, lemah dan yang diperlakukan secara tidak adil.[11]
Arah dasar teologi pembebasan
adalah pembebasan kaum miskin, kaum lemah, dan kaum yang tertindas.
Pembebabasan dimengerti secara menyeluruh meliputi pembebasan dari social
ekonomi.[12]
Edmund Woga menjelaskan bahawa teologi pembebasan ini menjelaskan:
Refleksi yang
ditempuh oleh teologi pembebasan yang mengutamakan fenomena-fenomena historis
dan kegiatan-kegiatan manusia merupakan cara yang memadai dalam menanggapi
paham tentang keselamatan yang idealistis-utopis. Teologi ini mencoba
menjembatani kesenjangan antara kata-kata, kesaksian, karena reflesksinya
berdasarkan pengalaman social masyarakat di lapangan ditujukan kepada praksis
pembebasan manusia dalam segala macam segi kehidupan.[13]
Refleksi
kritis Gutierrez, jelas bahwa yang diperjuangkan oleh para teolog pembebasan
Amerika Latin bukan saja kepentingan dunia semata, melainkan pembebasan dalam
arti sebagai peziarahan seluruh manusia dalam segala keutuhan dan kedalaman
hidupnya serta sekaligus pembebasan dalam arti penyelamatan manusia dari dosa.
Jadi, argument paling mendasar dari
teologi pembebasan adalah bahwa gereja harus peduli pada refleksi, aksi dan
usaha membangkitkan kesadaran orang-orang miskin mengenai perlunya bertindak
untuk menjamun keadilan social. Dosa bukan hanya akibat kesalahan pribadi
tetapi juga karena ketidakadilan, dan ini perlu diberantas oleh umat-umat Tuhan
atau gereja.[
BAB IV
Kesimpulan
Berdasarkan penguraian tentang Teologi Pembebasan di atas,
dapat disimpulkan bahwa untuk memahami teologi pembebas secara efektif harus
memperhatikan beberapa hal, pertama, situasi
budaya atau konteks latar belakang kehidupan Amerika Latin pada waktu itu atau
berpusat pada konsep dalam social masyarakat.Kedua, mengkonfrontasikan
perjuangan kelas, ekonomi dan ideologi yang berbeda dengan iman Kristen.
Keempat, Teologi Pembebasan lebih merupakan ideologi (yaitu perpindahan dari
masyarakat ke teologi) yang ada di bawah pengaruh Marxisme.Teologi pembebasan
mencoba mengajarkan satu pandangan yang mencoba mengangkat status orang-orang
yang tertindas oleh berbagai problem hidup. Masalah hidup seperti ekonomi dan
yang lainnya menyebabkan rakyat jelata menderita, yang mana penderitaan
tersebut dimanfaatkan oleh segelitir orang untuk semakin mengukuhkan
kedudukannya di dalam sebuah badan organisasi termasuk di dalam gereja.
Teologi Pembebasan merupakan upaya berteologi secara
kontekstual. Teologi Pembebasan yang diterjemahkan dari Bahasa Inggris
Liberation Theology menjadi keharusan bagi kegiatan gereja-gereja dalam
komitmen kristianinya pada kehidupan sosial. Teologi pembebasan lahir sebagai
respons terhadap situasi ekonomi dan politik yang dinilai menyengsarakan
rakyat. Masalah-masalah itu dijabarkan dalam penindasan, rasisme, kemiskinan,
penjajahan, bias ideologi dsb. Pada kalangan Jesuit, baik di Asia termasuk
Indonesia, Brazil , Amerika Latin, dan Afrika Selatan Teologi ini berkembang
pesat sebagai dampak dari hermeneutika Alkitab secara kontekstual untuk
menjawab persoalan yang dihadapi umat manusia. Teologi Pembebasan merupakan
refleksi bersama suatu komunitas terhadap suatu persoalan sosial. Karena itu
masyarakat terlibat dalam perenungan-perenungan keagamaan.Mereka mempertanyakan
seperti apa tanggung jawab agama dan apa yang harus dilakukan agama dalam
konteks pemiskinan struktural.pada intinya teologi pembesan ingin menjadikan
atau membebaskan masyarakat dari keterbelakangan menuju masyarakat yang beradab
dengan cara menjadikan semanngat atauh agama dijadikan ruh untuk melawan
pemerintah.
Jika dipahami dan dipelajari lebih dalam
lagi memang masih banyak yang belum setuju tentang teologi pembebasan namun
penulis mencoba menggali dari latar belakang pendiri teologi pembebasan, maka
dapat ditemukan bahwa tujuan semata-mata teologi ini adalah untuk keselamatan
jiwa terutama bagi mereka yang masih tidak mendapat keadilan.
Jadi, pembebasan haruslah dipandang sebagai
antisipasi dan datangnya Kerajaan Allah, kerajaan yang didirikan keadilan,
persamaan, persaudaraan, dan persekutuan solidaritas.
Praksis pembebasan adalah aktivitas
transformasi masyarakat yang menguntungkan mereka yang tertindas, dan itu
praktik penting dari Kasih Kristinai. Cinta Kristusharus dijelmakan dan dibuat
kreatif dalam sejarah.teologi Gutierrez merupakan reaksi menentang metode
tradisional dalam berteologi. Pada akhirnya, Gutierrez mengatakan bahwa gereja
tidak akan memiliki suatu teologi pembebasan yang otentik sampai mereka yang
tertindas mampu mengekspresikan diri mereka sendiri secara bebas dan kreatif di
dalam masyarakat sebagai manusia Allah.
Jadi, teologi pembebasan adalah refleksi
dari teologi dalam kontekstual untuk kemerdekaan dari dari perbudakan secara
materiil maupun spiritual demi keselamtan jiwa.
Langganan:
Postingan (Atom)
-
BAB I PENDAHULUAN Saat ini program bayi tabung menjadi salah satu masalah yang cukup serius. Hal ini terjadi karena keinginan pasan...
-
Kasus Perzinahan dalam Yohanes 8:1-1 1 BAB I PENDAHULUAN Berbicara mengenai kasus perzinahan dalam tradisi bangsa Israel adalah ...
-
BAB I Pendahuluan Berbicara mengenai iman di dalam Kitab Perjanjian Lama tidak begitu jelas dicatat, namun gambaran iman itu terlihat ...