ddd

Jika Yesus Kristus adalah orang gila, stress berat, tidak mungkin ada pengikutnya. Jika Yesus Kristus seorang penipu tidak mungkin Dia mau disalib. Kesimpulannya adalah Yesus Kristus adalah Tuhan Allah yang datang ke dunia menjadi manusia

Kamis, 31 Juli 2014

DIVORCE AND REMARRIAGE IN DEUTERONOMY 24:1-


BAB 1
Pendahuluan
Berbicara mengenai perceraian memang bukan masalah baru dalam sejarah umat manusia. Apalagi dikalangan para selebiritis di Indonesia perceraian bukanlah sesuatu hal yang menyedihkan.  Dan buktinya “terjadi kawin cerai” dan ternyata bukannya para selebritis dan tetangga sepupu, ternyata ada juga orang Kristen yang melakukan perceraian dengan pasangannya. Padahal sebenarnya mereka sudah mengerti pemahaman kebenaran Alkitab lewat pemberkatan dan janji yang telah diucapkan berdua ketika dalam acara perberkatan di gereja namun masih ada saja yang melakukan cerai. Dan masalah ini perlu diselediki mengapa terjadi perceraian?
Pada umumnya memang terjadinya perceraian disebabkan perselingkuhan namun tidak dipungkiri bahwa perceraian bisa ditimbulkan karena banyak factor seperti perbedaan iman, perbedaaan pendapat, tidak saling mengerti, kurang komunikasi, kurang menikmati hubungan imtim, masalah uang, masalah mertua, anak dan lain sebagainya.
Sekarang yang menjadi pertanyaan bagi pasangan suami dan istri apakah ketika di dapatinya pasangan selingkuh, harus diceraikan? atau dibubarkan atau bagaimana?. Pertanyaan ini akan menyadarkan anda untuk kembali berfikir dan mempertimbangkan dengan matang. Dan pembahasan untuk lebih dalam tentang perceraian ini, akan dibahas dalam makalah ini sesuai dengan konteks Kitab Ulangan 24:1-4.

BAB II
LATAR BELAKANG KITAB ULANGAN
Kitab Ulangan ditulis oleh Musa. Isi kitab berisi pidato-pidato Musa. Masyarakat Yahudi mengenalnya kitab Taurat yang ke-5 dengan nama elleh haddebarim (inilah Firman-firman), yang diambil dari ulangan 1:1. Kemungkinan mengenai judul ini ialah misneh hattora (salinan hokum ini), yang berasal dari Ulangan 17:18.  Kitab Ulangan ini kebanyakan terdiri dari suatu ikhtisar perundang-undangan yang ada dalam Kitab Keluaran dan bagian-bagian Imamat serta Bilangan. Tapi Kitab ini bukan hanya suatu pengulangan dari bahan yang telah dahulu saja tetapi juga mengikuti pola khas perjanjian dan perluasan asas-asasnya serta pertanggung jawaban umat Allah sebagai yang mempunyai kedudukan dalam perjanjian dengan Dia.
Musa mengulangi Dasa Firman yang semula diberikan di tengah-tengah api dan menerangkan artinya. Dan hukum-hukum itu dirangkum dengan tepat di dalam “ Kasihilah TUHAN Allah-Mu, dengan segenap hatimu dan segenap jiwamu dan segenap kekuatanmu dan segenap  akal budimu, dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.
A.    Budaya
Di Israel Kuno, suami muda menceraikan istri meski harus ada alas an. Jika janda itu menikah dengan pria lain, suaminya yang telah menceraikannya tidak bisa menikahinya kembali, sekalipun suami keduanya sudah meninggal. Mungkin ini dimaksudkan agar laki-laki tidak tergesa-gesa menulis surat cerai. Melanggar hukum ini bisa mendatangkan dosa atas negeri. Ternayata bahwa perceraian terjadi memang karena sebuah kebiasaan atau budaya kaum Semit yang telah Baheula.[1]  Yang dimana kebiasaan ini ketika si istri kedapatan melakukan kemesuman atau ketidaksenonohan maka si istri dapat diceraikan. [2]
 Mazhab Hille; menafsirkan sebagai ketidaksenonohan dalam arti luas, termasuk bahwa si sitri dapat diceraikan karena sebab-sebab di luar kemesuman. Sekalipun persekutuan perkawinan adalah kudus dan tidak dapat diganggugugat, namun perkawinan itu dapat di akhiri dengan syarat-syarat tertentu.[3]  Dalam tradisi Yahudi, laki-laki dan perempuan dianggap sudah menikah walaupun mereka masih “bertunangan.” Percabulan dalam masa “pertunangan” ini dapat merupakan satu-satunya alasan untuk bercerai.
B.     Hukum Bangsa Israel Tentang Perzinahan
Kata perzinaaan berasal dari kata dasar zina yang berarti perbuatan bersenggama antara laki-laki dan perempuan yang tidak terikat oleh tali perkawinan (pernikahan).   Perbuatan bersenggama antara seorang laki-laki yang terikat perkawinan dengan seorang perempuan yang bukan istrinya, atau seorang perempuan yang terikat perkawinan dengan seorang laki-laki yang bukan suaminya.[4]
Berbicara mengenai kasus perzinahan dalam tradisi bangsa Israel adalah sesuatu hal yang menakutkan dan membayakan bahkan sampai kepada pembunuhan.   Larangan perzinahan adalah salah satu perintah Tuhan dari sepuluh hukum taurat.  Jelas orang yang melanggar perintah Allah akan mendapat hukuman.  Kitab Ulangan 17:7, dan Imamat 20:10 menjelaskan bagaimana orang yang kedapatan yang berzinah dihukum mati atau dirajam dengan batu sesuai dengan hukum Kitab Musa.  Bagi yang melakukan perzinahan tidak ada “tawar menawar” atau kata “ampun” tidak ada belas kasihan, tidak ada diberi kesempatan.  Berarti bisa ditarik benang merah bahwa orang-orang yang melakukan perzinahan dalam Kitab Perjanjian Lama begitu banyak yang mati tanpa ada diberi kesempatan untuk bertobat.

BAB III
PANDANGAN TEOLOGIS TENTANG PERCERAIAN DAN PERNIKAHAN KEMBALI
Alkitab tegas berbicara mengenai perceraian, namun masih ada dijumpai orang-orang Kristen melakukan cerai bahkan jumlahnya sama dengan orang yang tidak percaya kepada Yesus. Tentu masalah ini timbul dari kurangnya pemahaman Alkitab yang Alkitabiah. Tentu dengan masalah ini, perlu dikaji secara teologis tentang percerain dan pernikahan kembali.
A.    Perceraian Menurut Hukum Musa
Menurut hukum Taurat untuk menceraikan istri, seorang suami harus membuat surat cerai yang resmi. Ini dimaksudkan agar para suami tidak mudah menceraikan istri mereka. Sebelum aturan ini ada, para istri dapat diusir begitu saja dan tidak lagi dianggap sebagai istri. Dan hukum taurat tidak mengizinkan para istri menceraikan suami mereka. Ketetapan Musa tentang perceraian bukanlah suatu pembenaran terhadap perceraian, tapi suatu kelonggaran atau konsesi karena ketegaran hati Israel. Musa sendiri tidak menyetujui perceraian. Ia mengajarkan pernikahan yang permanen, seperti yang tertulis dalam Kitab Kejadian. Namun, umat belum siap untuk menerima dan memenuhi tuntutan tersebut. Kenajisan, dimana terjadi melalui pernikahan yang kedua, berdasarkan konsep pernikahan ibrani. Seperti yang dinyatakan sebelumnya, pernikahan menjadikan seorang laki-laki dan seoarang perempuan menjadi satu daging dan seorang perempuan menjadi satu dengan seorang laki-laki selain itu dia sudah menjadi satu daging dengan suaminya, bahwan setelah perceraian adalah kenajisan.[5]
1.      Alasan Bercerai
Terjemahan versi New American Standar Bible ac'm' .. Kata ini memakai kata benda, tunggal, orang ketiga maskulin, yang artinya didapati;kedapatan. Berarti dapat disimpulkan bahwa kata tidak senonoh disini adalah bisa diartikan ditemuinya si istri melakukan hubungan intim (sex) “sesuatu yang memalukan” [6] dengan pria lain. Jadi hubunganseksual adalah merupakan bagian integral dari ikatan penikahan, “keduanya menjadi satu daging” (Kejadian 2:24. Oleh sebab itu, memutuskan ikatan itu melalui hubungan seks di luar pernikahan dapat menjadi alasan untuk bercerai. Hukum hanya ditujukan untuk situasi tertentu dimana kondisinya dijelaskan dalam ayat 1-3. Untuk menerapkan hukum ini, seorang perempuan harus sudah menikah, bercerai, menikah kembali untuk kedua kalinya dengan laki-laki yang berbeda dari suami pertamanya, dan perceraian lain dari atau telah menjadi janda dari suami keduanya. Kedua, hal selanjutnya dalam hukum ini juga tidak memaafkan seorang laki-laki untuk menceraikan istrinya, tetapi mensyaratkan bangsa Israel untuk melakukannya juga.
Dan alasan yang kedua adalah kurangnya pemahaman Bangsa Israel tentang mendatangkan dosa atas negeri yang diberikan Tuhan, Allahmu, kepadamu menjadi milik pusakamu (Ayat 4). Sehingga dengan ayat ini, mereka dengan sengaja atau menjadi kesempatan melakukan perceraian ketika didapatinya si istri melakukan perzinahan.
2.      Tujuan Surat Perceraian
Tujuan Surat cerai dalam Perjanjian Lama tentulah merupakan suatu perlindungan untuk wanita dalam pernikahan. Membuat suatu surat atau sertifikat pada masa dulu merupakan pekerjaan yang memakan banyak waktu. Jadi kalau seorang suami harus membuat surat cerai, maka perceraian itu tidak mungkin diadakan dalam emosi sesaat. Apalagi kemudian surat cerai itu dapat dijadikan tanda identitas atau sebagai suatu status yang jelas kepada wanita itu.
2.1.Mencegah Perceraian yang Terburu-buru
Surat perceraian di izinkan oleh musa supaya tidak tergesa-gesa dan terburu-buru menceraikannya tentu di dalam pengambilan keputusan perlu ada saksi dan fakta yang perlu ditunjukkan. Dan di dalam waktu pembuktian fakta ini akan member kesempatan untuk memperbaiki hubungan yang retak dan juga kepedulian yang menyeluruh untuk mencegah sesuatu yang mencurigakan sebagaimana dikatakan oleh Driver:
Menurut Driver sekali lagi mengikuti Keil yang hampir tepat, meyakini bahwa tujuan dari hukum adalah pertama, untuk mencegah perceraian yang terburu-buru, kedua adalah supaya seorang suami mempertimbangkan untuk menceraikan istrinya dulu sebelum perempuan tersebut menikah dengan laki-laki lain, dan yang ketiga adalah untuk menjaga perempuan dari hasrat suami pertama berakhir untuk yang kedua jika perempuan tesebut ingin menikah dengan suami keduanya. Jadi dengan demikian, menurut Keil dan Driver, hukum ini berfungsi sesuai dengan nilai kemanusiaan mengenai perbaikan kondisi sosial israel.[7]

2.2. Melindungi Para Istri dari Hukuman Rajam Batu
Surat perceraian ini sebagai bentuk tindakan berprikemanusiaan untuk melindungi perempuan yang bercerai dalam perkara dengan suami pertamanya yang ingin memeras sebagai balas dendam dengan mendakwa dia berzinah dengan suami keduanya.
Jadi ternyata bahwa surat cerai ini dibuat untuk melindungi dan membuktikan bahwa dia tidak melakukan perzinahan dengan suami pertamanya.[8] Karena kalau ketahuan atau kedapatan si istri melakukan perzinahan tentu menurut hokum Musa bahwa orang yang melakukan perzinahan akan dirajam dengan batu sampai mati (Imamat.20:10). Hukuman mati ini menunjukkan bahwa perzinahan atau perselingkuhan merupakan pelanggaran prinsip moral karena merusak ikatan pernikahan yang telah dirancang Allah.
B.     Pernikahan Kembali
Pernikahan kembali diperbolehkan ketika si suami sudah benar-benar membuat surat cerai secara resmi. Tujuannya supaya tidak terjadi kebejatan bagi istri. Jadi surat cerai resmi dan benar-benar sudah dipertanggung jawabkan kebenarannya dihadapan saksi. Namun sebenarnya Musa tidak pernah menganjurkan pernikahan kembali ketika sudah bercerai.
C.     Hukum Taurat Melarang Perceraian
Hukum Musa tak pernah mendorong, melarang atau menyetujui perceraian dalam Ulangan 24:1-4. Sebaliknya, hukum itu hanya menggariskan tata cara tertentu jika dan tatkala perceraian terjadi secara tragis. Ada satu ayat dalam Perjanjian Lama yang menyatakan bahwa Allah membenci perceraian: Musa memang mengizinkan perceraian di dalam Perjanjian Lama karena  memang kekerasan hati bangsa Israel (Matius 19:8; 5:31). Dengan kata lain, Alkitab tidak pernah berkompromi atau mendukung perceraian karena sejak semula perceraian bukanlah rencana Allah. Salah satu referensi adalah di Maleakhi 2:14-16 Sebab Aku membenci perceraian, firman TUHAN, Allah Israel -- juga orang yang menutupi pakaiannya dengan kekerasan, firman TUHAN semesta alam. Maka jagalah dirimu dan janganlah berkhianat. Bahkan kitab Kejadian berbicara secara implicit bahwa istri yang disediakan Allah bagi Adam adalah penolong yang sepadan dengan dia, dan di ayat 23 Adam menempatkan Hawa sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari dirinya sendiri, bukan sebagai benda, obyek, atau alat untuk mencapai tujuan. Pernyataan Adam di ayat 23: Inilah dia, tulang dari tulangku, dan daging dari dagingku, mencerminkan bahwa Adam sudah menemukan penolong yang sepadan dan sekaligus menyatakan penerimaannya yang tulus atas pemberian Allah. Jadi, ketetapan tentang perceraian dalam Ulangan 24:1-4 tidak bersifat normatif, tapi sekunder dan temporer, sementara.            
D.    Perceraian Menurut Kitab Injil
Tuhan Yesus sebenarnya tidak mempermasalahkan Musa, namun Ia mempermasalahkan orang-orang Israel yang tegar hati. Oleh sebab ketegaran hati orang israel, maka Musa mengatur surat cerai, supaya nantinya jangan ada kekacauan secara penuh, misalnya janganlah seorang istri diusir dengan begitu saja oleh seorang suami. Ketentuan ini dimaksudkan untuk mempersulit para suami menceraikan istrinya. Karena sebelum hokum ini dibuat, para suami sesukanya mengusir istrinya begitu saja dan menganggapnya bukan istrinya lagi. Bagi Yesus. Perkawinan merupakan hal yang penting dan untuk menegaskan hal itu, Ia mengutip kisah penciptaan dari Kitab Kejadian.

1. Yesus Kristus Melarang Perceraian
Tuhan Yesus menegaskan bahwa ketetapan Musa tentang perceraian tersebut bukanlah bagian dari rancangan asali Allah tentang pernikahan. "Sejak semula tidaklah demikian”. Tuhan Yesus tetap mempertahankan bahwa maksud Allah sejak semula di dalam Kitab Kejadian supaya menjaga hubungan dalam nikah berjalan terus seperti yang diuraikan-Nya pada ayat ini: Matius 19:4-6 Jawab Yesus: "Tidakkah kamu baca, bahwa Ia yang menciptakan manusia sejak semula menjadikan mereka laki-laki dan perempuan? Dan firman-Nya: Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia."
Dengan demikian, Tuhan Yesus bermaksud menegaskan kehadiran Kerajaan Allah di dalam diri-Nya mencakup tantangan bagi umat Allah untuk kembali kepada tuntutan kesempurnaan Allah sebelum manusia jatuh ke dalam dosa. Warga Kerajaan Allah dipanggil untuk menaati kehendak yang sempurna dari Allah, termasuk dalam hal pernikahan.
Itu sebabnya kejahatan perceraian seharusnya diakui yang mana hukum ini tidak memberikan hukum yang benar kepada seorang laki-laki untuk bercerai ketika dia menemukan ketidaksenonohan pada istrinya. Malahan, hukum hanya diakui dari apa yang diperbolehkan praktek di israel akibat kekerasan hati mereka (Matius 19:8). Dari awalnya, Tuhan merencanakan bahwa seorang laki-laki dan seorang perempuan menikah dengan sebuah perjanjian yang tidak dapat dipisahkan, dimana mereka menjadi satu daging (Kejadian 2:24). Yesus dengan benar menyatakan bahwa Keinginan Tuhan mengenai pernikahan: “Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia” (Matius 19:6).
Yesus mengajarkan kesempurnaan harmoni dengan pengajaran dalam Ulangan.  Hal tersebut terlihat, sesuai dengan ajaran Musa dan Yesus, Hukum pengadilan dapat membubarkan kontrak pernikahan duniawi dengan sebuah “surat cerai”, tetapi tidak membubarkan badan metafisis bahwa suami dan istri adalah “satu daging” (Kej 2:24). Selain itu, bagaimana dapat pernikahan kedua dianggap sebagai “kenajisan” (Ulangan 24:4) atau “perzinahan” (matius 19:9)?33 Kemudian itu yang membuat persepsi mengapa Kej 2:24 digunakan ha'M'êJ;hu (menjadi najis, jijik”) berbicara mengenai pernikahan kedua, kata kerja yang sama digunakan di Imamat 18:20 dan Bilangan 5:13, 20, 28 yang berbicara mengenai perzinahan.
2.  Yesus Mengampuni orang Yang Berzinah
Orang-orang farisi mencoba meneguhkan Yesus dengan menjebaknya dalam dilema hukum Romawi atau adat  Israel yang harus ditetapkan kepada perempuan yang terdapat berzinah.  Tetapi Yesus sikap yang diambil Yesus adalah menghargai perempuan meskipun sudah berdosa.  Harapan Yesus perempuan itu tidak tersesat lagi, tidak salah tujuan lagi, inilah arti pokok yang diberikan Yesus.
Kristus tidak membenarkan dosa, namun demikian, Tuhan jauh lebih tertarik dalam menyelamatkan orang dari dosa-dosa mereka, daripada menghancurkan mereka karena dosa-dosa mereka. Dia datang supaya orang bertobat dari dosanya, bukan pembalasan. Dia menawarkan keselamatan, bukan penghukuman; Dia ingin menyembuhkan, supaya tidak terluka. Yesus datang kedunia untuk rekonsiliasi bagi umat manusia, yaitu dengan pengampunan.  "Demikianlah sekarang tidak ada penghukuman bagi mereka yang ada di dalam Kristus Yesus.  Jika Allah di pihak kita, siapakah yang akan melawan kita Siapa yang akan membawa tuduhan terhadap orang-orang yang Allah telah memilih? Siapakah yang akan menghukum mereka? Allah Dia yang telah dibenarkan kita "(Roma 8:1, 31-34).
Sebenarnya Yesus paling layak untuk melemparkan batu pertama sekali kepada perempuan.  Namun sikap Yesus ini menunjukkan tujuan dalam menebus umat manusia.  Dia tidak menghukum wanita  tersebut sebagai orang yang tidak layak diampuni, tetapi menghadapinya dengan lemah lembut dan kesabaran supaya menuntunnya kepada pertobatan. [9] Bagi Yesus keselamatan akan tersedia jikalau meninggalkan kehidupan berdosa yaitu tinggalkan perzinahan.  Dalam hal ini bukan berarti Yesus berkompromi dengan dosa perzinahan melainkan Yesus menawarkan keselamatan dan jalan keluar dari kehidupan berdosa.  Hukuman-Nya menantikan wanita itu kalau dia menolak untuk bertobat.
3. Yesus Kristus Memberi Kesempatan Untuk berubah
Jangan berbuat dosa lagi .  Yesus Kristus dalam hal ini adalah memperhatikan siapa saja yang menderita, menyembuhkan dan mengijinkan perempuan untuk menyentuhNya, juga mengijinkan mereka melayaniNya.  Hal ini tidak biasa dikalangan Rabbi di mana Rabbi menolak perempuan melayani meja untuk mereka. Jelas bahwa pendekatan yang radikal yang dilakukan Yesus terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Yesus juga membuat perempuan dalam perumpamaan misalnya: ragi dalam pembuatan roti, kelahiran anak, menghadiri pernikahan, ibu rumahtangga dan janda. Ia menggunakan gambaran perempuan untuk mengumpamakan kewaspadaan, ketekunan dalam berdoa, pengampunan dan sukacita atas kesalamatan umat yang hilang.
Yesus juga memperlakukan perempuan sebagai orang yang bertanggungjawab, hal ini terlihat dalam kasus perempuan yang berzinah. Yesus memang menentang mereka yang munafik, tetapi bukan berarti dosa perempuan itu dimaklumi.  Bahkan kepada perempuan itu tidak dikatakan secara eksplisit bahwa dosanya sudah diampuni, mungkin inplisit, tetapi dikatakan kepadanya untuk pergi dan tidak berbuat dosa lagi.
Kemudian kalau dilihat pada satu peristiwa di mana perempuan berdosa mengurapi Yesus. Yesus tidak mengabaikan bahwa ia adalah pendosa, tetapi mengakuinya dan menghadapi dosa perempuan itu.  Jadi masing-masing perempuan itu bertanggunghjawab atas dosanaya sendiri dan memerlukan dosanya diampuni.
Sikap Yesus yang paling nampak, ketika perempuan kedapatan berzinah adalah yaitu sikap yang dilandaskan dalam “kasih”.  Jadi dasar Yesus adalah kasih.  Yesus tidak menghakimi, Yesus tidak menghukum dengan melemparkan batu, Yesus tidak berkata kamu itu tidak pantas lagi, tetapi Yesus berkata “pergilah dan jangan berbuat dosa lagi.  Kalau direnungkan perkataan Yesus dalam hal ini, bukan berarti Yesus member toleransi akan dosa perzinahan melainkan memberikan kesempatan untuk bertobat.

BAB IV
KESIMPULAN

Setelah penulis menyusun dan menyelesaikan makalah ini, dapat disimpulkan bahwa sebenarnya Musa tidak mengizinkan perceraian, dengan alasan bahwaYesus sendiri berkata di dalam Matius 19:9  “tetapi karena ketegaran hati mereka maka Musa mengizinkan kamu untuk menceraikan istrimu. Juga tujuan Musa mengizinkan untuk membuat surat cerai secara resmi supaya disaat pembuatan atau pengurusan surat ini memakan waktu yang lama, agar benar-benar dipertimbangkan matang sebelum cerai dengan istrinya.
Jadi tidak ada alasan karena berzinah atau tidak senonoh sebab Yesus Kristus di dalam Perjanjian baru memberi kesempatan bertobat kepada perempuan atau istri yang melakukan perzinahan. Dan mengenai pernikahan kembali hanya diizinkan kepada suami yang telah meninggal.


































.






















[1] Tafsiran Alkitab Masa Kini. (Jakarta: Yayasan Komunikasi  Bina Kasih, 2008), halaman. 332.

[2]Alkitab Edisi Study,  (Jakarta; LAI, 2011), Halaman 317.
[3] Ibid, halamam.332.

[4] Herbert J. Miles.  Sebelum Menikah Pahami Dulu Seks. (Jakarta: Gunung Mulia, 2001). Halaman 205.
[5] Jesus Pronounces it adultery in his day (Luke 16:18)

[6] Frederick W. Danker, dkk. Walter Bauer, A Greek-English New Testament and Other Early  Christian Literature, ed. Chicago Press, 2000)
[7] Driver, Deuteronomy, 272.

[8] Tigay, Deuteronomy, 222; Cairns, Word and Presence, 210
[9] Marie Claire Barth Frommel. Hati Allah bagaikan Hati Seorang Ibu (Jakarta: Gunung Mulia, 2006), halaman. 86.

Tidak ada komentar:

Masih ada jalan keluar