BAB
I
Pendahuluan
Berbicara mengenai iman di dalam Kitab Perjanjian Lama
tidak begitu jelas dicatat, namun gambaran iman itu terlihat melalui kehidupan
para tokoh Alkitab dalam Perjanjian Lama.
Salah satu tokoh dalam Perjanjian Lama adalah Abraham yang dijuluki
‘Bapa Orang Percaya” yang mempunyai iman yang luar biasa. Bahkan tidak hanya orang Kristen saja
mengakui bahwa Abraham mempunyai iman
yang besar namun umat Muslim juga mengakuinya.
Iman Bapak Abraham pantas diteladani orang percaya,
sebab iman yang dimilikinya tidak hanya sekedar iman yang angan-angan kukuh
namun iman yang taat, patuh, tunduk kepada Allah. bahkan iman yang teruji.
Perjanjian Lama menulis beberapa tokoh yang mempunyai
iman yang teguh kepada Allah seperti Daniel, Sadrak, Mesak, Abednego. Nama-nama ini adalah orang yang
mempertahankan imannya sekalipun diancam untuk dimasukkan ke dalam perapian.
Dalam pengancaman ini, nama-nma ini tidak menyangkal imannya namun tetap
mempertahnkan imannya, dan akhirnya juga Allah menolong mereka juga.
BAB
II
B. Pengertian
Iman dalam Perjanjian Lama
1.
Pengertian Iman
Pengertian iman dalam
Kitab Perjanjian Lama tidak begitu jelas
dan detail ditulis seperti di dalam kitab Perjanjian Baru dalam kitab Ibrani, namun
gambaran iman dalam Perjanjian Lama terlihat dari kehidupan para tokoh
Alkitab. Seperti Abraham, Daniel,
Sadrak, Mesakh, Abednego, Ayub, dan para tokoh lainnya.
Kata iman ini sudah dipakai dalam
Septuaginta, kata iman
dalam bahasa Ibrani adalah אמן (aman)[1]
yang dalam Perjanjian Lama berarti “berpegang teguh” “dapat diandalkan” pada
keyakinan yang dimiliki atau berketetapan hati untuk meyakini sesuatu karena
sesuatu itu dapat dipercaya dan diandalkan.
Kata iman selalu dikaitkan dengan kepercayaan kepada Allah. Berarti percaya kepada apa yang sudah
difirmankan Allah. Karena itu ‘beriman
kepada’ tidak dapat disamakan dengan “percaya kepada” Dalam bahasa Yunani,
disebut dengan pistis.
Jadi iman dimaksudkan untuk menunjukkan adanya
hubungan manusia dengan Allah. Hubungan yang didasarkan pada sikap atau
tindakan manusia yang percaya dan mempercayakan hidupnya kepada Allah dengan
segenap hati. Manusia beriman adalah
manusia yang mengiyakan, mengamini, menaruh kepercayaan dan harapan,
mengandalkan, berpegang teguh, percaya dan mempercayakan diri pada Allah
sebagai sumber dan dasar hidup.
BAB
III
TEOLOGI IMAN DALAM PERJANJIAN LAMA
A.
Dasar
Biblika Iman dalam Perjanjian Lama
Memahami dasar biblika atau teologi iman dalam
Perjanjian Lama, pertama-tama tidak terlepas dari kehidupan para tokoh Alkitab
yang tercatat dalam kitab Perjanjian Lama yang mempunyai iman dan ketundukan
serta keintiman dengan Allah seperti Abraham, Henok, Daniel, Sadrak, Mesakh,
Abednego, dan Ayub, Daud.
Iman adalah adalah ketundukan atau kepekaan akan suara
Tuhan atau sikap mendengarkan suara Tuhan dalam artian “tidak sekedar mendengar,
namun adanya respon” seperti yang
tertulis dalam 1 Samuel 3:10 “ Lalu datanglah TUHAN, berdiri di sana dan memanggil
seperti yang sudah-sudah: “Samuel! Samuel!” Dan Samuel menjawab: ‘Berbicaralah,
sebab hamba-Mu ini mendengar.” Berbeda
dengan mendengar begitu saja. Jadi sikap
beriman adalah adalah adanya sikap pasrah, tunduk, taat, patuh secara
total dengan mengandalkan Tuhan Allah
sepeunuhnya secara aktif mendengarkan suara atau kehendak perintah Allah.[2] Menurut
Dr Nico dalam bukunya Pengantar teologi bahwa iman adalah:
Orang yang telah mendengarkan sabda Allah dan mentaati
perintah-Nya harus tetap setia dalam melaksanakan kehendak Allah. Kesetiaan itu
unsur ketiga dalam paham iman menurut Perjanjian Lama. Dengan setia, orang beriman harus hidup
sesuai dengan tuntunan Allah.[3]
Jadi pengertian iman dalam Perjanjian Lama adalah taat
dan patuh kepada suara perintah Allah sedemikian rupa sehingga kepatuhan budi
dijelmakan dalam kepatuhan tingkah laku.
B.
Tokoh
Alkitab yang Beriman dalam Perjanjian Lama
Dalam pembahasan
para tokoh Alkitab yang mempunyai iman teguh dalam Perjanjian Lama ini
adalah Henokh, Nuh, Abraham, Daniel, Sadrakh, Mesakh, Abednego, Ayub, dan Daud. Namun dalam pembahasan kali ini, penulis
hanya memaparkan beberapa nama dari tokoh ini, yaitu Abraham, Sadrak, Mesakh, Abednego
dan Ayub dan Daud. Pertama adalah:
1.
Iman
Abraham
Abraham adalah salah satu tokoh alkitabiaah.
Kisahnya diceritakan dalam pasal
11-25 dari Kitab Kejadian , dan ia memainkan peran penting dalam Yudaisme ,
Kristen dan umat Islam. Abraham, bapak
pendiri bangsa Yahudi Israel, adalah orang besar iman dan ketaatan kepada
kehendak Allah. Namanya dalam bahasa Ibrani berarti “bapa dari banyak bangsa. “Awalnya disebut
Abram,” Tuhan mengubah namanya menjadi Abraham sebagai simbol dari janji
perjanjian untuk memperbanyak keturunannya menjadi bangsa besar.
Dalam tradisi Yahudi dan Kristen, Abraham adalah ayah
dari Israel melalui anaknya Ishak. Dalam
tradisi Islam, Abraham dianggap sebagai nabi Islam , nenek moyang Muhammad ,
melalui Ismael. Muslim menganggapnya sebagai contoh Muslim yang sempurna dan
tunduk kepada Allah. Dalam Perjanjian
Baru juga Abraham digambarkan sebagai seorang beriman.
1.
Sikap
dan Ketaatan Iman Abraham
Sikap iman Abraham bisa terlihat ketika Allah
memerintahkan untuk meninggalkan negeri dimana sudah merasa nyaman di tempat
yang didiaminya, dan juga terlihat di saat ia mau menyembelih anaknya untuk menjadi
korban. Namun pada akhirnya Allah
sendiri menyediakan korban yaitu anak domba yang tersangkut di pohon belukar.
1.1. Abraham
Meninggalkan Negerinya
Ketaatan Iman Abraham terlihat ketika dia meninggalkan
tempat tinggalnya yang dimana dia sudah merasa nyaman. Alkitab mencatat bahwa
Allah memerintahkan untuk pergi meninggalkan negerinya sebagaimana di dalam
Kejadian 12;1-3 yang mengatakan: “ Berfirmanlah TUHAN kepada Abram: “Pergilah dari
negerimu dan dari sanak saudaramu dan dari rumah bapamu ini ke negeri yang akan
Kutunjukkan kepadamu; Aku akan membuat engkau menjadi bangsa yang besar, dan
memberkati engkau serta membuat namamu masyhur; dan engkau akan menjadi berkat. Aku akan memberkati orang-orang yang
memberkati engkau, dan mengutuk orang-orang yang mengutuk engkau, dan olehmu
semua kaum di muka bumi akan mendapat berkat. Lalu pergilah Abram seperti yang
difirmankan TUHAN kepadanya, dan Lotpun ikut bersama-sama dengan dia; Abram
berumur tujuh puluh lima tahun, ketika ia berangkat dari Haran.” (TB)
Jadi ketika Allah memerintahkan Abraham untuk
meninggalkan negerinya, ia tunduk kepada Allah, dia tidak berkata mengapa harus
pindah Tuhan, disini sudah enak dan nyaman namun ia taat kepada Allah.
1.2. Abraham tidak
segan-segan mempersembahkan Ishak
Ketika Allah memerintahkan Abraham agar dipersembahkan
anaknya yang tunggal, kesediaan Abraham begitu reshfek dan tidak membantah.[4] Dalam hal ini Abrahamk percaya bahwa Allah
sanggup menyediakan korban sebagai ganti anaknya. Dia tetap berkeyakinan untuk
melaksanakan perintah Allah. Keyakinan iman Abraham bisa terlihat dengan jelas
ketika dia sungguh-sungguh benar mempersiapkan kayu bakar, mengikat anaknya
Ishak, dan bahkan tidak segan-segan untuk menyembelihnya, namun Tuhan Allah
melihat hati Abraham (Kejadian 22:9-10) sehingga Allah yang menyediakan anak
domba.
Abraham percaya bahwa Allah akan mampu untuk bertindak
dengan menyediakan seekor anak domba sebagai ganti nyawa Ishak, dan ia juga
percaya bahwa perintah Allah harus dilaksanakan sekalipun ia harus kehilangan
Ishak. Agaknya Abraham tetap berkeyakinan untuk melaksanakan perintah Allah
tersebut sekalipun ia percaya bahwa Allah dapat melakukan segala hal untuk
menyelamatkan Ishak. Keteguhan iman Abraham terhadap perintah Allah sangat
terihat jelas ketika ia mendirikan mezbah, menyiapkan kayu bakar, mengikat
Ishak lalu meletakkannya diatas mezbah dan tumpukan kayu bakar itu, akhirnya
Abraham mengulurkan tangannya, mengambil pisau untuk menyembelih anaknya.(Kej.
22: 9-10).
Berdasarkan informasi-informasi diatas, dapat memahami bahwa sesungguhnya Abraham
menyatakan pernyataan iman yang sungguh sangat luar biasa ketika ia berkata:
“Allah yang akan menyediakan anak domba untuk korban bakaran bagi-Nya, anakku.”
(Kej. 22: 8). Allah memang memerintahkan Abraham untuk mengorbankan anaknya
tetapi Allah tidak pernah mengatakan apapun kepadanya mengenai korban tebusan
pengganti Ishak, yang adalah seekor anak domba. Pada akhirnya, Allah mengetahui
bahwa sekalipun Abraham percaya bahwa Dia dapat menggantikan Ishak dengan
korban tebusan yang lain, namun ia tetap akan berniat menyembelih anaknya yang
tunggal itu. Jadi disinilah terletak
iman yang kokoh itu kepada Allah.
2.
Sadrakh,
Mesakh, Abednego
Kitab Daniel pasal 3 mengisahkan tiga
orang Israel bernama Sadrakh, Mesakh dan Abednego yang hidup dalam pembuangan
di Babel dalam masa pemerintahan raja Nebukadnezar. Pada waktu itu raja
Nebukadnezar mendirikan patung emas setinggi 60 hasta selebar 6 hasta yang
didirikan di sebuah dataran bernama Dura. Alkisah raja mewajibkan semua orang
di seluruh negeri untuk menyembah patung besar itu pada saat-saat tertentu,
yaitu pada waktu dibunyikan berbagai alat bunyi-bunyian seperti: sangkakala,
seruling, rebana dan lain sebagainya yang menandai waktu untuk melakukan ritual
penyembahan berhala itu (ayat 5). Sedangkan bagi siapa saja yang melanggar
titah raja ini – yakni yang tidak mau menyembah patung berhala tersebut – maka
dia akan dicampakkan ke dalam perapian yang menyala-nyala (ayat 6).
Ketika Raja Nebukadnezar membangun patung
untuk disembah oleh semua orang yang ada di wilayah Babel; Sadrakh, Mesakh dan
Abednego menolak untuk menyembah patung tersebut. Walaupun diancam akan
dimasukkan ke dalam perapian yang menyala-nyala, mereka tetap berpegang teguh
pada iman mereka. Iman mereka tidak tergoyangkan, walaupun bahaya mengancam nyawa mereka. Mereka
percaya bahwa Tuhan sanggup melepaskan mereka dari bahaya yang ada. Bahkan merekapun
siap mati jika pertolongan tidak datang juga. Mereka tidak rela melepaskan iman
mereka demi menyembah patung tersebut.
Hampir semua orang taat kepada perintah
raja Nebukadnezar, kecuali tiga orang Israel yaitu Sadrakh, Mesakh dan
Abednego. Mereka inilah tiga orang pertama yang berani melawan perintah raja
untuk menyembah patung emas. Ketiga orang ini melakukan “pengakuan yang berani”
dengan berkata:Jika Allah
kami yang kami puja sanggup melepaskan kami, maka Ia akan melepaskan kami dari
perapian yang menyala-nyala itu, dan dari dalam tanganmu, ya raja; (ayat 17) tetapi seandainya tidak, hendaklah tuanku mengetahui, ya raja, bahwa kami
tidak akan memuja dewa tuanku, dan tidak akan menyembah patung emas yang tuanku
dirikan itu.” (ayat 18) Dan ketiga orang ini berani mengambil resiko dengan dicampakkan ke dalam
perapian yang menyala-nyala sebagai akibat dari “pengakuan yang berani” itu. Lalu diikatlah ketiga orang itu, dengan
jubah, celana, topi dan pakaian-pakaian mereka yang lain, dan dicampakkan ke dalam
perapian yang menyala-nyala. (ayat 21).(TB)
Bila melihat iman dan komitmen mereka kepada Allah dengan tidak mengasihi nyawa
mereka sampai menghadapi maut sekalipun, maka Tuhan menyelamatkan mereka dengan
membuat tubuh mereka tidak mempan oleh api, bahwa rambut di kepala mereka tidak
hangus, jubah mereka tidak berubah apa-apa, bahkan bau kebakaranpun tidak ada
pada mereka (ayat 27).
1. Sikap Ketaataan Iman Sadrakh, Mesakh, dan Abednego
Meskipun taruhannya adalah nyawa, bukanlah
sikap yang konyol. Sadrakh, Mesakh, Abednego tahu bahwa konsekuensi iman pada Allah akan membuat mereka dihukum raja
Nebukadnezar. Mereka berani
menghadapinya karena dasar iman mereka bukan pada jabatan, kekayaan, dan
tawaran-tawaran raja, melainkan pada Allah yang hidup. Iman sejati mereka
tampak jelas saat mereka berkata, “Tapi seandainya tidak, kami tidak akan
memuja dewa tuanku” (ay. 18). Ini menjelaskan, apabila Allah tidak melepaskan
mereka dari perapian tersebut, mereka tetap setia kepada Allah. Disini begitu
jelas terlihat iman yang kokoh dan teruji bahkan menjadi teladan bagi kaum muda
untuk memperjuangkan kegigihan imannya.[5]
1.1. Tidak Mau
menyembah Patung
Jika Allah kami yang kami puja sanggup
melepaskan kami, maka Ia akan melepaskan kami dari perapian yang menyala-nyala
itu, dan dari dalam tanganmu, ya raja; tetapi seandainya tidak, hendaklah
tuanku mengetahui, ya raja, bahwa kami tidak akan memuja dewa tuanku, dan tidak
akan menyembah patung emas yang tuanku dirikan itu.” (Daniel 3:17-18).
Dari kitab Daniel pasal 3 ini kita tahu
bahwa pada akhirnya Sadrakh, Mesakh dan Abednego dimasukkan ke dalam perapian
yang menyala-nyala. Bahkan karena begitu marahnya Raja Nebukadnezar, perapian
dipanaskan dengan begitu luar biasa. Tetapi apa yang terjadi kemudian adalah kita
melihat pertolongan Tuhan turun bagi Sadrakh, Mesakh dan Abednego. Tuhan tidak
mempermalukan mereka. Sehelai rambutpun tidak ada yang terbakar. Bahkan Raja
Nebukadnezarpun memerintahkan semua orang agar menghormati Allah mereka.
Sadrakh, Mesakh dan Abednego tidak mempan oleh api karena iman mereka pada
kesanggupan Allah untuk menyelamatkan mereka dari api, 3:16-18. Mereka tidak
mempan oleh api karena Allah menyertai mereka, 3:24-25. Tuhan penuh kasih dan
kuasa, Ia sanggup menyelamatkan dan selalu menyertai hidup anak-anakNya.
Ketiga
pemuda ini yang tetap setia kepada Allah bahkan ketika hidup mereka terancam
kematian menjadi teladan yang menghukum kompromi rohani dan moral dari
orang-orang yang mempergunakan berbagai pengaruh dan kebiasaan kontemporer sebagai
alasan perbuatan duniawinya. Allah tidak menerima dalih bahwa kita boleh
melakukan sesuatu hanya karena "semua orang melakukannya." Kita harus
dengan tekun memohon agar Allah menanamkan suatu tekad yang teguh di dalam hati
kita untuk tetap setia kepada Dia dan Firman-Nya, bagaimanapun juga akibatnya.
1.1.1.
Terjadi mujizat ataupun tidak ada
mujizat tetap Percaya
Mereka berkata,
“Kalau Allah melepaskan kami dari dapur api, ya puji Tuhan, tetapi kalau masuk
api lalu terbakar hangus, ya tetap puji Tuhan !” Ada mujizat atau tidak ada mujizat, imannya tetap kokoh. Mengapa? Karena hidupnya benar-benar percaya kepada Allah yang
hidup. Sadrakh, Mesakh dan Abednego begitu tegas sikapnya?
Sebab mereka mempunyai iman yang mampu melihat kepada masa yang kekal. Mereka tahu bahwa hidup di dunia ini sementara saja,
sedangkan hidup yang kekal itu adalah sangat riil. Jadi, apa yang diperbuat sekarang dalam hidup
didunia ini, haruslah merupakan persiapan untuk hidup yang kekal nanti.
3. Ayub
Ayub adalah seorang pengusaha yang takut akan Tuhan dan usahanya sangat
diberkati. Di Ayub 1:3 disebutkan bahwAyub adalah orang terkaya di sebelah
timur. Itu berarti, tidak ada yang sekaya Ayub di daerah tersebut. Pengaruhnya di daerah tersebut membuatnya disegani dan dihormati oleh
siapapun, dari lapisan masyarakat mana pun (Ayub pasal 29). Sekalipun
demikian, Ayub tidak gelap mata atau gila kuasa. Ia tetap tampil apa adanya,
seolah-olah tak memiliki apa-apa. Ia tetap rendah hati, saleh, jujur, takut
akan Allah dan menjauhi kejahatan. Perilakunya itulah yang menawan hati Tuhan
sehingga memujinya: “Tiada seorang pun di bumi seperti dia, yang demikian saleh
dan jujur, yang takut akan Allah dan menjauhi kejahatan” ( Ayub 1:8; 2:3 ).
1.
Sikap
Iman Ayub dalam Penderitaan
Alkitab dengan
jelas mencatat bahwa Ayub “saleh dan
jujur; ia takut akan Allah dan menjauhi
kejahatan.” (Ayub 1:1). Ini menunjukkan bahwa Ayub adalah orang yang
hidupnya benar dan tidak bercela di hadapan Tuhan. Itulah sebabnya ketika kesengsaraan dan
penderitaan menimpa hidupnya ia merasa berhak untuk bertanya kepada Tuhan bukankah
seharusnya orang fasik atau orang berdosa yang layak menerima segala
penderitaan dan malapetaka. Dalam hal
ini Ayub sendiri, Ayub merupakan wakil dari bentuk pendampingan pastoral terhadap
diri sendiri ketika Ayub menumpahkan segala kekesalan dan kekecewaan terhadap
hidup ini dengan ratapan-ratapan yang menyakitkan pada Ayub. Tetapi yang menjadi kemenangan ada dipihak
anak Tuhan yang tetap setia sekali pun hidupnya hancur, sekalipun secara
manusia sangat menderita, sekali pun semua yang dipunyainya hilang dengan cara
yang sangat menyakitkan. Allah kemudian mempermalukan iblis dengan menunjukkan
bahwa Ayub tetap tegar dan terus berdiri
teguh di dalam imannya.
1.1. Ayub Tidak
Mengutuk Tuhan Allah
Ayub tidak mengutuk Allah melainkan hari dan malam ia
dikandung dalam bahasa yang mengingatkan penciptaan. [6] Dalam buku Pengantar Perjanjian Lama 2
mengatakan bahwa prosa untuk membuktikan ketidakbersalahan Ayub, walaupun itu
hampir tidak diperlukan. Namun Allah
memulihkan nama baik, kekayaan dan keluarga Ayub. Iman Ayub yang teguh pada
permulaannya telah dimurnikan seperti emas melalui api kesengsaraan,
kesalahpahaman dan keraguan. Juga hardikan yang berulang kali terhadap ketiga
sahabatnya Ayub (Ayub 47;7-8). [7]
4. Daud
Latar belakang Daud adalah anak seorang dari Efrata,
dari betlehem-Yehuda, yang bernama Isai. Isai mempunyai delapan anak laki-laki. Ketiga anak Isai ini ada tiga yang suka
berperang mengikuti Saul; nama ketiga anaknya yang pergi berperang itu ailah
Eliab, anak sulung, anak yang kedua ialah Aminadab, dan yang ketiga adalah
Syama. Dan Daudlah yang paling bungsu
yang selalu menggembalakan domba ayahnya di Betlehem.
4.1. Iman Daud ketika Melawan Goliat
Kemenangan Daud atas Goliat diperoleh karena imannya
kepada Allah yang telah diuji dan dibuktikan dalam hidupnya. Dan rahasia iman
Daud adalah bahwa Daud mengasihi Tuhan, dia selalu mencari wajah Tuhan. Daud juga bersemangat dan sangat
memperhatikan kehormatan Tuhan Allah Israel.
Ia menyadari bahwa Tuhan Allah yang mahakuasa yang akan berperang. Kepercaan Daud akan kuasa Allah telah
diperkuat masa sebelumnya ketika ia berdoa dan mengalami kelepasan dari Allah.
Juga Roh Tuhan turun ke atasnya.
4.1.1. Daud Mengalah Goliat dengan Nama Tuhan
Ketika Daud melawan Goliat yang raksasa itu, Daud
benar-benar dengan segenap hati percaya kepada Allah. Bahwa Allah sanggup menyatakan kuasanya. Seperti yang tertulis dalam 1 Samuel 17:45-46
“Tetapi Daud berkata kepada orang Filistin itu: "Engkau mendatangi aku
dengan pedang dan tombak dan lembing, tetapi aku mendatangi engkau dengan nama
TUHAN semesta alam, Allah segala barisan Israel yang kautantang itu. Hari ini
juga TUHAN akan menyerahkan engkau ke dalam tanganku dan aku akan mengalahkan
engkau dan memenggal kepalamu dari tubuhmu; hari ini juga aku akan memberikan
mayatmu dan mayat tentara orang Filistin kepada burung-burung di udara dan
kepada binatang-binatang liar, supaya seluruh bumi tahu, bahwa Israel mempunyai
Allah,”.
Daud tidak
memakai metode yang canggih dan hebat
seperti senjata namun Goliat memakai perlatan yang canggih seperti yang
tertulis dalam 1 Samuel 17:5-7 “Ketopong tembaga ada di kepalanya, dan ia
memakai baju zirah yang bersisik; berat baju zirah ini lima ribu syikal
tembaga. Dia memakai penutup kaki dari
tembaga, dan di bahunya ia memanggul lembing tembaga. Gagang tombaknya seperti
pesa tukang tenun, dan mata tombaknya itu enam ratus syikal besi beratnya. Dan
seorang pembawa perisai berjalan di depannya.” (TB)
Daud tahu musuhnya adalah orang yang tak mengenal
Tuhan bahkan berani menghujat Goliat.
Daud yakin sekali bahwa Tuhan yang akan berperang. Dimata Daud bahwa Goliat tak lebih dari
binatang buas yang mencoba menganggu ternaknya (1 Samuel 17:34-36).
Dengan kepercayaan iman Daud kepada Allah, ia mampu
mengalah Goliat yang berbadan raksasa itu.
Dia membunuh Goliat dengan batu kecil dengan mengumbannya sehingga kena
dahi Goliat, akhirnya setalah Goliat jatuh ketanah, Daud mengambil pedang dari
barisan Filistin dihunusnyalah atau dipancungnyalah kepala Goliat.[8]
BAB
IV.
KESIMPULAN
Setelah penulis membahas teologi iman dalam Perjanjian
Lama dengan cara meneliti kehidupan para tokoh-tokoh Alkitab, maka penulis
menyimpulkan bahwa teologi iman muncul dari kehidupan yang taat, tunduk akan segala
perintah Tuhan Allah. Arti taat dan
tunduk akan perintah Tuhan adalah melakukan dengan segenap hati percis seperti
apa yang diperintahkan Tuhan Allah. Jadi tidak meleset, tetapi menuju sasaran.
Jadi teologi iman dalam Perjanjian Lama ini adalah
orang-orang yang tunduk, berpegang teguh akan kebenaran serta taat akan suara
Allah, akan perintah Allah. Atau para
nabi yang mempunyai visi dan misi akan keselamatan umatnya. Juga orang-orang yang mengasihi Tuhan,
mempunyai keintiman dengan Tuhan Allah dengan tindakan nyata dan orang yang
bisa membedakan mana suara hati dan suara Tuhan.
Jadi dapat disimpulkan bahwa teologi iman dalam
Perjanjian Lama adalah sesuatu yang belum dilihat, belum ada dibenak pikiran,
namun harus mempercayainya. Sehingga
itulah sebabnya Perjanjian Baru mengutip di dalam surat Ibrani bahwa Iman
adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala
sesuatu yang tidak kita lihat. Jadi iman yang ada di dalam Perjanjian Lama itu
berhubungan dengan Perjanjian Baru.
DAFTAR PUSTAKA
Alkitab Edisi Studi.
Jakarta: LAI, 2011
_____________. Inspirasi Batin, Yogyakarta:
Kanisius, 2007.
Bergant
Dianne, CSA dan Robert J. Karris, OFM. Tafsir Alkitab Perjanjian Lama.
Yogyakarta: Kanisius, 2004.
Syukur Dister Nico OFM. Teologi Sistematika 1.
Yogyakarta: Kanisius, 2004.
_____________________. Pengantar Teologi. Yogyakarta:
Kanisius, 2004.
H.h Rowley. Ibdat Israel Kuno.
Jakarta: Gunung Mulia, 2004.
D.a Hubard, F.W. Lasor W.S. Pengantar Perjanjian
Lama 2. Jakarta: Gunung Mulia, 2007.
Kaiser. Jr. Walter C.
Teologi Perjanjian Lama.
Malang: Gandum Mas, 2004.
[1] Walter C.
Kaiser. Jr. Teologi Perjanjian Lama, (Malang: Gandum Mas, 2004), hlm. 127.
[2] Nico
Syukur Dister OFM , Teologi Sistematika 1, (Yogyakarta: Kanisius, 2004),
halaman 69.
[3] Nico
Syukur Dister OFM, Pengantar Teologi, (Yogyakarta: Kanisius, 2004), halaman
129.
[4] Rowley H.h. Ibdat Israel Kuno,
(Jakarta: Gunung Mulia, 2004), halaman 18.
[5] _____________.
Inspirasi Batin, (Yogyakarta: Kanisius, 2007), halaman 179.
[6] Dianne
Bergant, CSA dan Robert J. Karris, OFM. Tafsir Alkitab Perjanjian Lama,
(Yogyakarta: Kanisius, 2004), halaman 407.
[7] W.S.
Lasor, D.a Hubard, F.W. Pengantar Perjanjian Lama 2, (Jakarta: Gunung Mulia,
2007), halaman, 119.
[8] Alkitab
Edisi Studi. (Jakarta: LAI, 2011), halaman 459.
3 komentar:
bisa posting tentang kepemimpinan Ezra
nice info.. sangat menarik
Posting Komentar