ddd

Jika Yesus Kristus adalah orang gila, stress berat, tidak mungkin ada pengikutnya. Jika Yesus Kristus seorang penipu tidak mungkin Dia mau disalib. Kesimpulannya adalah Yesus Kristus adalah Tuhan Allah yang datang ke dunia menjadi manusia

Minggu, 26 Oktober 2014

TEOLOGI PEMBEBASAN

Teologi Pembebasan


Berbicara mengenai teologi pembebasan berarti berbicara mengenai konteks teologi Kristen. Pembahasan ini tidak terlepas dari Amerika Latin dimana teologi ini lahir. Amerika Latin, bukanlah termasuk kategori “Barat”, tetapi kategori dunia ketiga. Ia merupakan salah satu obyek eksploitasi negara Barat. Penduduk Amerika Latin terdiri dari ras campuran, Indian, Afrika, Mongoloid, Jawa, Portugas, Spanyol dan suku-suku pribumi. Dalam periode abad 16-20 M, bangsa Portugis dan Spanyol menjadi “Raja” diantara suku-suku dan bangsa-bangsa di Amerika Latin melalui kolonialisme-nya sehingga dalam keanekaragamanan ras tersebut menimbulkan pengkotak-kotakan antara kulit putih dan kulit hitam.[1] Teologi pembebasan adalah sebuah paham akan peranan agama dalam lingkup sosial, yakni pengontekstualisasian ajaran-ajaran dan nilai agama pada masalah konkret yang terjadi disekitarnya. Menurut Eta Linnemann di dalam buku yang dimaksud dengan teologi pembebasan adalah: “teologi yang memperhatikan situasi dan penderitaan orang miskin. Keinginannya tidak lain daripada membela dan memihak kepada hak orang miskin”.[2]
A.    Latar Belakang
Pada awalnya munculnya di Eropa dandiperkenalkan oleh para teolog Katolik di Amerika Latin pada abad pertengahan sebagaimana dikatakan Fr. Wahono Nitiprawiro:
Teologi pembebasan pada awalnya muncul di Eropa abad kedua puluh dan menjadi studi penting bagi agama-agama untuk melihat peran agama dalam ancaman globalisasi dan menghindar manusia dari berbagai macam dosa, serta menawarkan paradigm untuk memperbaiki sistim social bagi manusia yang telah dirusak oleh berbagai system ideology dari perbuatan manusia sendiri.[3]
 Jadi, teologi Pembebasan muncul pada abad ke-20 seiring banyaknya permasalahan dunia yang sedang tidak merdeka dinilai dari sudut pandang keadilan sebagai manusia yang sama di hadapan Tuhan. Teologi pembebasan adalah sebuah paham tentang peranan agama atau gereja dalam ruang lingkup lingkungan sosial. Dengan kata lain teologi pembebasan adalah suatu usaha kontekstualisasi ajaran-ajaran dan nilai keagamaan atau nilai-nilai teologis pada masalah kongkret di sekitarnya. Teologi pembebasan muncul dari proses panjang transformasi pasca-Pencerahan refleksi teologis Kristen. Jadi, gerakan ini muncul karena perpaduan dari perubahan-perubahan internal dan eksternal. Secara internal gerakan ini muncul berbarengan dengan perkembangan aliran-aliran teologis dan keterbukaan terhadap perkembangan sains sosial modern.

B.     Pendiri Teologi Pembebasan
Gustavo Gutierrez Merino Lahir pada tanggal 8 Juni 1928 di Monserat, sebuah kawasan miskin di Lima, Ibu kota Peru. Ia berasal dari keluarga sederhana yang berdarah Mestizo, keturunan campuran Hispanic (Spanyol) dan Indian. Gutierrez adalah satu-satunya anak laki-laki dari tiga bersaudara. Meskipun ada kesulitan-kesulitan ekonomi, ia tidak mengalami kekurangan cinta dari keluarganya. Ketika berada di bangku sekolah menengah, Gutierrez diserang penyakit Osteomiletis. Penyakit ini menyebabkan kepincangan permanen pada kakinya. Penyakit ini pulalah yang menuntun dia memilih jurusan farmasi pada Universitas San Marcos, Lima. Tetapi, kemudian ia memutuskan untuk masuk seminari dan belajar filsafat-teologi di Seminari Santiago de Chile.[4]
Kehidupan Gustavo yang lahir dari keluarga sederhana dan perjumpaannya kepada Tuhan membuatnya mengambil keputusan untuk memperhatikan orang-orang kecil yang tertindas dan mendorongnya untuk melakukan kontekstualisasi dalam berteologi. Menurut Gutierrez pendekatan teologi Barat yang dia pelajari tidak dapat diaplikasikan dalam situasi masyarakat di Amerika Latin. Menurut dia, butuh pendekatan khas untuk berteologi dalam situasi yang sangat memprihatinkan di Amerika Latin waktu itu.
Ia menjadi anggota Akademi Bahasa Peru, dan pada 1993 dan dianugerahi Legiun Kehormatan oleh pemerintah Perancis untuk karyanya yang tak mengenal lelah. Gutierrez pernah belajar kedokteran dan sastra, psikologi dan filsafat, dan mendapat gelar doktor dari Institut Pastoral d'Etudes Religieuses (IPER), Université Catholique di Lyon. Karya terobosan Gutiérrez, A Theology  of  Liberation: History, Politics, Salvation tahun1971(Suatu Teologi Pembebasan: Sejarah, Politik, Keselamatan”) menjelaskan pemahamannya tentang kemiskinan Kristen sebagai suatu tindakan solidaritas penuh cinta kasih dengan kaum miskin maupun sebagai protes pembebasan melawan kemiskinan.
a.      Berkembangnya Teologi Pembebasan
Berkembangnya teologi pembebasan sangat dipengaruhi oleh ajaran Marx. Ada dua ajaran Karl Marx yang masuk dalam konsep teologi pembebasan Amerika Latin. Konsep perjuangan kelas, kaitannya dengan kemandirian individu. Setiap orang, begitu kata Gutierrez, haruslah memperjuangkan nasibnya dengan cara dan metode apapun. Jika perjuangan kelas Karl Marx lebih menekankan pada aspek ekonomi, maka perjuangan ala Gutierrez menekankan pada semangat “kemerdekaan dalam tatanan sosial”. Status sebagai orang merdeka, bebas dari penindasan, berdikari dan merumuskan/menjalani kehidupan sesuai dengan kehendaknya sendiri. Individu menjadi salah satu “juru selamat” bagi dirinya sendiri. Pengutukan terhadap kepemilikan pribadi. Dalam masyarakat Amerika Latin saat itu, harta kekayaan menjadi milik pribadi individu, dalam hal ini milik Spanyol dan Portugal. Pribumi hanyalah menjadi alat untuk meng-kaya-kan bangsa asing. Konsep “menebar kasih” telah dihilangkan oleh pemerintah colonial. Dan jelas, konsep menebar kasih ini telah ada di ajaran Kristen, agama yang juga dipeluk oleh bangsa Spanyol dan Portugal.[5]
Jadi, kelahiran teologi pembebasan dilatarbelakangi oleh pengalaman Gustavo yang lahir dari keluarga sederhana serta pengetahuan akan fungsi gereja sebagai garam dan terang dan juga pengalamannya yang tinggal bersama dengan orang-orang yang tertindas.
b.      Metodologi Teologi Pembebasan
Dalam memahami teologi pembebasan ini,  ada beberapa pemikiran praktis untuk memahami teologi pembebasan ini. Point pemikiran antara lain :
  1. Teologi pembebasan berawal dari reaksi terhadap sistem masyarakat yang tidak adil; Situasi, kondisi masyarakat pada waktu itu dalam keadaan miskin, tertindas, dipojokkan, diasingkan karena perbedaan warna kulit (sosial).
  2. Teologi Kristen “Allah mengasihi semua orang dan tidak membedakan status.
  3. Situasi kedua, berkembangnya teologi di Barat,
  4.  Teologi harus bersentuhan dengan kondisi sosial, karena ia lahir dari kondisi sosial.
  5. Teologi tidak bisa hanya dipahami sebagai yang “transenden” tetapi dia juga dipahami”.
  6. Teologi haruslah bersifat kontekstual,
  7. Menempatkan “aksi sosial” sebagai peran utama dalam pembebasan masyarakat tertindas.
Dari ketujuh point di atas bahwa yang terpenting di dalam teologi pembebasan ini adalah “bagaimana pernanan Alkitab secara nyata bagi orang yang tertindas baik secara kehidupan di dunia nyata maunpun di dunia akhirat yaitu pembebasan dari dosa dan masuk dalam persekutuan dengan Tuhan Allah dan semua manusia.  Gutierrez mengatakan bahwa Alkitab harus direfleksikan bukan saja kepentingan dunia semata, melainkan pembebasan dalam arti sebagai peziarahan seluruh manusia dalam segala keutuhan dan kedalaman hidupnya serta sekaligus pembebasan dalam arti penyelamatan manusia dari dosa. Lebih tegasnya Gutierrez ingin mnunjukkan lebih jelas tugas teologi dalam hubungan antara iman dan perjuangan pembebasan. Refleksi teologi diharapkan menjawab soal hubungan antara iman dan eksistensi manusia, soal-soal sosial, aksi politik atau hubungan antara Kerajaan Allah dan bangunan dunia. Ringkasnya, bagaimana hubungan antara iman dan penciptaan manusia baru yang merupakan tujuan perjuangan pembebasan.

C.     Pengajaran Teologi Pembebasan.
Konteks sosial yang terjadi adalah penindasan, kemiskinan, keterbelakangan, dan harkat manusia. Paham ini tumbuh bersama suburnya sosialisme di Amerika Latin, akhir 1960-an dan awal 1970-an. Teologi Pembebasan merupakan refleksi bersama suatu komunitas terhadap suatu persoalan sosial.
Teologinya berpusat pada pengentasan rakyat miskin yang diperlakukan tidak adil oleh sistem masyarakat kelas yang memisahkan manusia dalam kategori borjuis (para bangsawan yang biasanya kaya) dan proletar (rakyat jelata yang hanya punya anak namun tanpa harta) sebagaimana dikatakan Y. W. Wartaya Winangun
Teologi pembebasan adalah usaha untuk melakukan teologi local. Teologi ini mendasarkan diri pada pengalaman konkret dalam situasi umat beriman local. Keprihatinana teologi-teologi pembebasan itu sejalan dengan gerakan pemerdekaan maupun cita-cita kemanusian, gerkan untuk menumbuhkan solidaritas rakyat lemah, dan keadilan social. Dan dapat disebut beriorentasi pada kerakyatan yang tidak adil.[6]
.[7] Menurut Gutierrez,  mempunyai tiga dimensi utama:
Pertama, mencakup pembebasan politik dan sosial, penghapusan hal-hal yang langsung menyebabkan kemiskinan dan ketidakadilan.
Kedua, Pembebasan mencakup emansipasi kaum miskin, kaum marjinal, mereka yang terinjak-injak dan tertindas dari segala sesuatu yang membatasi kemampuan mereka untuk mengembangkan diri dengan bebas dan dengan bermartabat.
Ketiga, Teologi pembebasan mencakup pembebasan dari egoisme dan dosa, pembentukan kembali hubungan dengan Allah dan dengan orang-orang lain.
Dari refleksi kritis Gutierrez, jelas bahwa yang diperjuangkan oleh para teolog pembebasan Amerika Latin bukan saja kepentingan dunia semata, melainkan pembebasan dalam arti sebagai peziarahan seluruh manusia dalam segala keutuhan dan kedalaman hidupnya serta sekaligus pembebasan dalam arti penyelamatan manusia dari dosa.

Teologi pembebasan adalah bagian dari kerjaan Allah.[8] Teologi Pembebasan sendiri sebenarnya juga memiliki pengajaran yang didasarkan dengan Alkitab sebagaimana Allah membebaskan umat-Nya dari perbudakan bangsa Mesir:
Teologi pembebasan berpijak pada kenyataan bahwa Allah memihak pada orang-orang yang tertindas dan yang dikesampingkan. Ia membebaskan sekelompok pekerja-pekerja dari “rumah perbudakan Mesir” menjadikan mereka umat-Nya serta mengikuti perjanjian dengan mereka dan memberikan hokum kemerdekaan untuk mengatur hidup bermasyarakat mereka.[9]
Jadi, bagi pengajaran teologi pembebasan mempunyai pemahaman bahwa Allah dipahami sebagai pembebas (liberator) di dalam Perjanjian Lam dan Perjanjian Baru.[10] sebagaimana dikatakan dalam kitab PL maupun PB:
  1.  Bani Israel berada di tanah Mesir, Tuhan telah mendengarkan jeritan mereka, dan membebaskan mereka dari perbudakan dan penderitaan. (Keluaran 6:13).
  2. Nyanyian pujian Maria yang terdapat dalam Injil Lukas 1:46-55"... Ia memperlihatkan kuasa-Nya dengan perbuatan tangan-Nya dan menceraiberaikan orang-orang yang congkak hatinya; Ia menurunkan orang-orang yang berkuasa dari takhtanya dan meninggikan orang-orang yang rendah; Ia melimpahkan segala yang baik kepada orang yang lapar dan menyuruh orang yang kaya pergi dengan tangan hampa ...."
  3. Nubuat nabi Yesaya tentang pekerjaan Messias: "... untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang yang miskin; dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang." (Luk 4:18-19).
Dalam pengajaran teologi pembebasan ini, para teolog ini membedakan antara metode teologi pembebasan dengan teologi tradisional. Teologi tradisional adalah teologi yang membahas tentang Tuhan semata-mata, sementara teologi pembebasan adalah cara berteologi yang berasal dari refleksi iman di tengah realitas konkrit yang menyejarah. Yakni teologi yang memprihatini nasib dan solider kepada mereka yang menderita ketidakadilan, kalah, miskin, ditindas dan menjadi korban sejarah; teologi yang mau mentransformasikan dunia sebagaimana dikatakan dikatakan Y. W. Wartaya Winangun bahwa Teologi pembebasan memahami dirinya bukan sebagai cabang dari teologi, tetapi  merupakan orientasi keseluruhan reflesi teologis, yaitu orientasi pembebasan kaum miskin, tertindas, lemah dan yang diperlakukan secara tidak adil.[11]
Arah dasar teologi pembebasan adalah pembebasan kaum miskin, kaum lemah, dan kaum yang tertindas. Pembebabasan dimengerti secara menyeluruh meliputi pembebasan dari social ekonomi.[12] Edmund Woga menjelaskan bahawa teologi pembebasan ini menjelaskan:
Refleksi yang ditempuh oleh teologi pembebasan yang mengutamakan fenomena-fenomena historis dan kegiatan-kegiatan manusia merupakan cara yang memadai dalam menanggapi paham tentang keselamatan yang idealistis-utopis. Teologi ini mencoba menjembatani kesenjangan antara kata-kata, kesaksian, karena reflesksinya berdasarkan pengalaman social masyarakat di lapangan ditujukan kepada praksis pembebasan manusia dalam segala macam segi kehidupan.[13]
Refleksi kritis Gutierrez, jelas bahwa yang diperjuangkan oleh para teolog pembebasan Amerika Latin bukan saja kepentingan dunia semata, melainkan pembebasan dalam arti sebagai peziarahan seluruh manusia dalam segala keutuhan dan kedalaman hidupnya serta sekaligus pembebasan dalam arti penyelamatan manusia dari dosa.
Jadi, argument paling mendasar dari teologi pembebasan adalah bahwa gereja harus peduli pada refleksi, aksi dan usaha membangkitkan kesadaran orang-orang miskin mengenai perlunya bertindak untuk menjamun keadilan social. Dosa bukan hanya akibat kesalahan pribadi tetapi juga karena ketidakadilan, dan ini perlu diberantas oleh umat-umat Tuhan atau gereja.[  

                                                                               BAB IV
       Kesimpulan

Berdasarkan penguraian tentang Teologi Pembebasan di atas, dapat disimpulkan bahwa untuk memahami teologi pembebas secara efektif harus memperhatikan beberapa hal, pertama,  situasi budaya atau konteks latar belakang kehidupan Amerika Latin pada waktu itu atau berpusat pada konsep dalam social masyarakat.Kedua, mengkonfrontasikan perjuangan kelas, ekonomi dan ideologi yang berbeda dengan iman Kristen. Keempat, Teologi Pembebasan lebih merupakan ideologi (yaitu perpindahan dari masyarakat ke teologi) yang ada di bawah pengaruh Marxisme.Teologi pembebasan mencoba mengajarkan satu pandangan yang mencoba mengangkat status orang-orang yang tertindas oleh berbagai problem hidup. Masalah hidup seperti ekonomi dan yang lainnya menyebabkan rakyat jelata menderita, yang mana penderitaan tersebut dimanfaatkan oleh segelitir orang untuk semakin mengukuhkan kedudukannya di dalam sebuah badan organisasi termasuk di dalam gereja.
Teologi Pembebasan merupakan upaya berteologi secara kontekstual. Teologi Pembebasan yang diterjemahkan dari Bahasa Inggris Liberation Theology menjadi keharusan bagi kegiatan gereja-gereja dalam komitmen kristianinya pada kehidupan sosial. Teologi pembebasan lahir sebagai respons terhadap situasi ekonomi dan politik yang dinilai menyengsarakan rakyat. Masalah-masalah itu dijabarkan dalam penindasan, rasisme, kemiskinan, penjajahan, bias ideologi dsb. Pada kalangan Jesuit, baik di Asia termasuk Indonesia, Brazil , Amerika Latin, dan Afrika Selatan Teologi ini berkembang pesat sebagai dampak dari hermeneutika Alkitab secara kontekstual untuk menjawab persoalan yang dihadapi umat manusia. Teologi Pembebasan merupakan refleksi bersama suatu komunitas terhadap suatu persoalan sosial. Karena itu masyarakat terlibat dalam perenungan-perenungan keagamaan.Mereka mempertanyakan seperti apa tanggung jawab agama dan apa yang harus dilakukan agama dalam konteks pemiskinan struktural.pada intinya teologi pembesan ingin menjadikan atau membebaskan masyarakat dari keterbelakangan menuju masyarakat yang beradab dengan cara menjadikan semanngat atauh agama dijadikan ruh untuk melawan pemerintah.
Jika dipahami dan dipelajari lebih dalam lagi memang masih banyak yang belum setuju tentang teologi pembebasan namun penulis mencoba menggali dari latar belakang pendiri teologi pembebasan, maka dapat ditemukan bahwa tujuan semata-mata teologi ini adalah untuk keselamatan jiwa terutama bagi mereka yang masih tidak mendapat keadilan.
 Jadi, pembebasan haruslah dipandang sebagai antisipasi dan datangnya Kerajaan Allah, kerajaan yang didirikan keadilan, persamaan, persaudaraan, dan persekutuan solidaritas.
Praksis pembebasan adalah aktivitas transformasi masyarakat yang menguntungkan mereka yang tertindas, dan itu praktik penting dari Kasih Kristinai. Cinta Kristusharus dijelmakan dan dibuat kreatif dalam sejarah.teologi Gutierrez merupakan reaksi menentang metode tradisional dalam berteologi. Pada akhirnya, Gutierrez mengatakan bahwa gereja tidak akan memiliki suatu teologi pembebasan yang otentik sampai mereka yang tertindas mampu mengekspresikan diri mereka sendiri secara bebas dan kreatif di dalam masyarakat sebagai manusia Allah.
Jadi, teologi pembebasan adalah refleksi dari teologi dalam kontekstual untuk kemerdekaan dari dari perbudakan secara materiil maupun spiritual demi keselamtan jiwa.









Teologi Pembebasan


Teologi Pembebasan



PENDAHULUAN
Berbicara mengenai teologi pembebasan berarti berbicara mengenai konteks teologi Kristen. Pembahasan ini tidak terlepas dari Amerika Latin dimana teologi ini lahir. Amerika Latin, bukanlah termasuk kategori “Barat”, tetapi kategori dunia ketiga. Ia merupakan salah satu obyek eksploitasi negara Barat. Penduduk Amerika Latin terdiri dari ras campuran, Indian, Afrika, Mongoloid, Jawa, Portugas, Spanyol dan suku-suku pribumi. Dalam periode abad 16-20 M, bangsa Portugis dan Spanyol menjadi “Raja” diantara suku-suku dan bangsa-bangsa di Amerika Latin melalui kolonialisme-nya sehingga dalam keanekaragamanan ras tersebut menimbulkan pengkotak-kotakan antara kulit putih dan kulit hitam.[1] Teologi pembebasan adalah sebuah paham akan peranan agama dalam lingkup sosial, yakni pengontekstualisasian ajaran-ajaran dan nilai agama pada masalah konkret yang terjadi disekitarnya. Menurut Eta Linnemann di dalam buku yang dimaksud dengan teologi pembebasan adalah: “teologi yang memperhatikan situasi dan penderitaan orang miskin. Keinginannya tidak lain daripada membela dan memihak kepada hak orang miskin”.[2]
A.    Latar Belakang
Pada awalnya munculnya di Eropa dandiperkenalkan oleh para teolog Katolik di Amerika Latin pada abad pertengahan sebagaimana dikatakan Fr. Wahono Nitiprawiro:
Teologi pembebasan pada awalnya muncul di Eropa abad kedua puluh dan menjadi studi penting bagi agama-agama untuk melihat peran agama dalam ancaman globalisasi dan menghindar manusia dari berbagai macam dosa, serta menawarkan paradigm untuk memperbaiki sistim social bagi manusia yang telah dirusak oleh berbagai system ideology dari perbuatan manusia sendiri.[3]
 Jadi, teologi Pembebasan muncul pada abad ke-20 seiring banyaknya permasalahan dunia yang sedang tidak merdeka dinilai dari sudut pandang keadilan sebagai manusia yang sama di hadapan Tuhan. Teologi pembebasan adalah sebuah paham tentang peranan agama atau gereja dalam ruang lingkup lingkungan sosial. Dengan kata lain teologi pembebasan adalah suatu usaha kontekstualisasi ajaran-ajaran dan nilai keagamaan atau nilai-nilai teologis pada masalah kongkret di sekitarnya. Teologi pembebasan muncul dari proses panjang transformasi pasca-Pencerahan refleksi teologis Kristen. Jadi, gerakan ini muncul karena perpaduan dari perubahan-perubahan internal dan eksternal. Secara internal gerakan ini muncul berbarengan dengan perkembangan aliran-aliran teologis dan keterbukaan terhadap perkembangan sains sosial modern.

B.     Pendiri Teologi Pembebasan
Gustavo Gutierrez Merino Lahir pada tanggal 8 Juni 1928 di Monserat, sebuah kawasan miskin di Lima, Ibu kota Peru. Ia berasal dari keluarga sederhana yang berdarah Mestizo, keturunan campuran Hispanic (Spanyol) dan Indian. Gutierrez adalah satu-satunya anak laki-laki dari tiga bersaudara. Meskipun ada kesulitan-kesulitan ekonomi, ia tidak mengalami kekurangan cinta dari keluarganya. Ketika berada di bangku sekolah menengah, Gutierrez diserang penyakit Osteomiletis. Penyakit ini menyebabkan kepincangan permanen pada kakinya. Penyakit ini pulalah yang menuntun dia memilih jurusan farmasi pada Universitas San Marcos, Lima. Tetapi, kemudian ia memutuskan untuk masuk seminari dan belajar filsafat-teologi di Seminari Santiago de Chile.[4]
Kehidupan Gustavo yang lahir dari keluarga sederhana dan perjumpaannya kepada Tuhan membuatnya mengambil keputusan untuk memperhatikan orang-orang kecil yang tertindas dan mendorongnya untuk melakukan kontekstualisasi dalam berteologi. Menurut Gutierrez pendekatan teologi Barat yang dia pelajari tidak dapat diaplikasikan dalam situasi masyarakat di Amerika Latin. Menurut dia, butuh pendekatan khas untuk berteologi dalam situasi yang sangat memprihatinkan di Amerika Latin waktu itu.
Ia menjadi anggota Akademi Bahasa Peru, dan pada 1993 dan dianugerahi Legiun Kehormatan oleh pemerintah Perancis untuk karyanya yang tak mengenal lelah. Gutierrez pernah belajar kedokteran dan sastra, psikologi dan filsafat, dan mendapat gelar doktor dari Institut Pastoral d'Etudes Religieuses (IPER), Université Catholique di Lyon. Karya terobosan Gutiérrez, A Theology  of  Liberation: History, Politics, Salvation tahun1971(Suatu Teologi Pembebasan: Sejarah, Politik, Keselamatan”) menjelaskan pemahamannya tentang kemiskinan Kristen sebagai suatu tindakan solidaritas penuh cinta kasih dengan kaum miskin maupun sebagai protes pembebasan melawan kemiskinan.
a.      Berkembangnya Teologi Pembebasan
Berkembangnya teologi pembebasan sangat dipengaruhi oleh ajaran Marx. Ada dua ajaran Karl Marx yang masuk dalam konsep teologi pembebasan Amerika Latin. Konsep perjuangan kelas, kaitannya dengan kemandirian individu. Setiap orang, begitu kata Gutierrez, haruslah memperjuangkan nasibnya dengan cara dan metode apapun. Jika perjuangan kelas Karl Marx lebih menekankan pada aspek ekonomi, maka perjuangan ala Gutierrez menekankan pada semangat “kemerdekaan dalam tatanan sosial”. Status sebagai orang merdeka, bebas dari penindasan, berdikari dan merumuskan/menjalani kehidupan sesuai dengan kehendaknya sendiri. Individu menjadi salah satu “juru selamat” bagi dirinya sendiri. Pengutukan terhadap kepemilikan pribadi. Dalam masyarakat Amerika Latin saat itu, harta kekayaan menjadi milik pribadi individu, dalam hal ini milik Spanyol dan Portugal. Pribumi hanyalah menjadi alat untuk meng-kaya-kan bangsa asing. Konsep “menebar kasih” telah dihilangkan oleh pemerintah colonial. Dan jelas, konsep menebar kasih ini telah ada di ajaran Kristen, agama yang juga dipeluk oleh bangsa Spanyol dan Portugal.[5]
Jadi, kelahiran teologi pembebasan dilatarbelakangi oleh pengalaman Gustavo yang lahir dari keluarga sederhana serta pengetahuan akan fungsi gereja sebagai garam dan terang dan juga pengalamannya yang tinggal bersama dengan orang-orang yang tertindas.
b.      Metodologi Teologi Pembebasan
Dalam memahami teologi pembebasan ini,  ada beberapa pemikiran praktis untuk memahami teologi pembebasan ini. Point pemikiran antara lain :
  1. Teologi pembebasan berawal dari reaksi terhadap sistem masyarakat yang tidak adil; Situasi, kondisi masyarakat pada waktu itu dalam keadaan miskin, tertindas, dipojokkan, diasingkan karena perbedaan warna kulit (sosial).
  2. Teologi Kristen “Allah mengasihi semua orang dan tidak membedakan status.
  3. Situasi kedua, berkembangnya teologi di Barat,
  4.  Teologi harus bersentuhan dengan kondisi sosial, karena ia lahir dari kondisi sosial.
  5. Teologi tidak bisa hanya dipahami sebagai yang “transenden” tetapi dia juga dipahami”.
  6. Teologi haruslah bersifat kontekstual,
  7. Menempatkan “aksi sosial” sebagai peran utama dalam pembebasan masyarakat tertindas.
Dari ketujuh point di atas bahwa yang terpenting di dalam teologi pembebasan ini adalah “bagaimana pernanan Alkitab secara nyata bagi orang yang tertindas baik secara kehidupan di dunia nyata maunpun di dunia akhirat yaitu pembebasan dari dosa dan masuk dalam persekutuan dengan Tuhan Allah dan semua manusia.  Gutierrez mengatakan bahwa Alkitab harus direfleksikan bukan saja kepentingan dunia semata, melainkan pembebasan dalam arti sebagai peziarahan seluruh manusia dalam segala keutuhan dan kedalaman hidupnya serta sekaligus pembebasan dalam arti penyelamatan manusia dari dosa. Lebih tegasnya Gutierrez ingin mnunjukkan lebih jelas tugas teologi dalam hubungan antara iman dan perjuangan pembebasan. Refleksi teologi diharapkan menjawab soal hubungan antara iman dan eksistensi manusia, soal-soal sosial, aksi politik atau hubungan antara Kerajaan Allah dan bangunan dunia. Ringkasnya, bagaimana hubungan antara iman dan penciptaan manusia baru yang merupakan tujuan perjuangan pembebasan.
C.     Pengajaran Teologi Pembebasan.
Konteks sosial yang terjadi adalah penindasan, kemiskinan, keterbelakangan, dan harkat manusia. Paham ini tumbuh bersama suburnya sosialisme di Amerika Latin, akhir 1960-an dan awal 1970-an. Teologi Pembebasan merupakan refleksi bersama suatu komunitas terhadap suatu persoalan sosial.
Teologinya berpusat pada pengentasan rakyat miskin yang diperlakukan tidak adil oleh sistem masyarakat kelas yang memisahkan manusia dalam kategori borjuis (para bangsawan yang biasanya kaya) dan proletar (rakyat jelata yang hanya punya anak namun tanpa harta) sebagaimana dikatakan Y. W. Wartaya Winangun
Teologi pembebasan adalah usaha untuk melakukan teologi local. Teologi ini mendasarkan diri pada pengalaman konkret dalam situasi umat beriman local. Keprihatinana teologi-teologi pembebasan itu sejalan dengan gerakan pemerdekaan maupun cita-cita kemanusian, gerkan untuk menumbuhkan solidaritas rakyat lemah, dan keadilan social. Dan dapat disebut beriorentasi pada kerakyatan yang tidak adil.[6]
.[7] Menurut Gutierrez,  mempunyai tiga dimensi utama:
Pertama, mencakup pembebasan politik dan sosial, penghapusan hal-hal yang langsung menyebabkan kemiskinan dan ketidakadilan.
Kedua, Pembebasan mencakup emansipasi kaum miskin, kaum marjinal, mereka yang terinjak-injak dan tertindas dari segala sesuatu yang membatasi kemampuan mereka untuk mengembangkan diri dengan bebas dan dengan bermartabat.
Ketiga, Teologi pembebasan mencakup pembebasan dari egoisme dan dosa, pembentukan kembali hubungan dengan Allah dan dengan orang-orang lain.
Dari refleksi kritis Gutierrez, jelas bahwa yang diperjuangkan oleh para teolog pembebasan Amerika Latin bukan saja kepentingan dunia semata, melainkan pembebasan dalam arti sebagai peziarahan seluruh manusia dalam segala keutuhan dan kedalaman hidupnya serta sekaligus pembebasan dalam arti penyelamatan manusia dari dosa.

Teologi pembebasan adalah bagian dari kerjaan Allah.[8] Teologi Pembebasan sendiri sebenarnya juga memiliki pengajaran yang didasarkan dengan Alkitab sebagaimana Allah membebaskan umat-Nya dari perbudakan bangsa Mesir:
Teologi pembebasan berpijak pada kenyataan bahwa Allah memihak pada orang-orang yang tertindas dan yang dikesampingkan. Ia membebaskan sekelompok pekerja-pekerja dari “rumah perbudakan Mesir” menjadikan mereka umat-Nya serta mengikuti perjanjian dengan mereka dan memberikan hokum kemerdekaan untuk mengatur hidup bermasyarakat mereka.[9]
Jadi, bagi pengajaran teologi pembebasan mempunyai pemahaman bahwa Allah dipahami sebagai pembebas (liberator) di dalam Perjanjian Lam dan Perjanjian Baru.[10] sebagaimana dikatakan dalam kitab PL maupun PB:
  1.  Bani Israel berada di tanah Mesir, Tuhan telah mendengarkan jeritan mereka, dan membebaskan mereka dari perbudakan dan penderitaan. (Keluaran 6:13).
  2. Nyanyian pujian Maria yang terdapat dalam Injil Lukas 1:46-55"... Ia memperlihatkan kuasa-Nya dengan perbuatan tangan-Nya dan menceraiberaikan orang-orang yang congkak hatinya; Ia menurunkan orang-orang yang berkuasa dari takhtanya dan meninggikan orang-orang yang rendah; Ia melimpahkan segala yang baik kepada orang yang lapar dan menyuruh orang yang kaya pergi dengan tangan hampa ...."
  3. Nubuat nabi Yesaya tentang pekerjaan Messias: "... untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang yang miskin; dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang." (Luk 4:18-19).
Dalam pengajaran teologi pembebasan ini, para teolog ini membedakan antara metode teologi pembebasan dengan teologi tradisional. Teologi tradisional adalah teologi yang membahas tentang Tuhan semata-mata, sementara teologi pembebasan adalah cara berteologi yang berasal dari refleksi iman di tengah realitas konkrit yang menyejarah. Yakni teologi yang memprihatini nasib dan solider kepada mereka yang menderita ketidakadilan, kalah, miskin, ditindas dan menjadi korban sejarah; teologi yang mau mentransformasikan dunia sebagaimana dikatakan dikatakan Y. W. Wartaya Winangun bahwa Teologi pembebasan memahami dirinya bukan sebagai cabang dari teologi, tetapi  merupakan orientasi keseluruhan reflesi teologis, yaitu orientasi pembebasan kaum miskin, tertindas, lemah dan yang diperlakukan secara tidak adil.[11]
Arah dasar teologi pembebasan adalah pembebasan kaum miskin, kaum lemah, dan kaum yang tertindas. Pembebabasan dimengerti secara menyeluruh meliputi pembebasan dari social ekonomi.[12] Edmund Woga menjelaskan bahawa teologi pembebasan ini menjelaskan:
Refleksi yang ditempuh oleh teologi pembebasan yang mengutamakan fenomena-fenomena historis dan kegiatan-kegiatan manusia merupakan cara yang memadai dalam menanggapi paham tentang keselamatan yang idealistis-utopis. Teologi ini mencoba menjembatani kesenjangan antara kata-kata, kesaksian, karena reflesksinya berdasarkan pengalaman social masyarakat di lapangan ditujukan kepada praksis pembebasan manusia dalam segala macam segi kehidupan.[13]
Refleksi kritis Gutierrez, jelas bahwa yang diperjuangkan oleh para teolog pembebasan Amerika Latin bukan saja kepentingan dunia semata, melainkan pembebasan dalam arti sebagai peziarahan seluruh manusia dalam segala keutuhan dan kedalaman hidupnya serta sekaligus pembebasan dalam arti penyelamatan manusia dari dosa.
Jadi, argument paling mendasar dari teologi pembebasan adalah bahwa gereja harus peduli pada refleksi, aksi dan usaha membangkitkan kesadaran orang-orang miskin mengenai perlunya bertindak untuk menjamun keadilan social. Dosa bukan hanya akibat kesalahan pribadi tetapi juga karena ketidakadilan, dan ini perlu diberantas oleh umat-umat Tuhan atau gereja.

                                                                             BAB IV
Kesimpulan

Berdasarkan penguraian tentang Teologi Pembebasan di atas, dapat disimpulkan bahwa untuk memahami teologi pembebas secara efektif harus memperhatikan beberapa hal, pertama,  situasi budaya atau konteks latar belakang kehidupan Amerika Latin pada waktu itu atau berpusat pada konsep dalam social masyarakat.Kedua, mengkonfrontasikan perjuangan kelas, ekonomi dan ideologi yang berbeda dengan iman Kristen. Keempat, Teologi Pembebasan lebih merupakan ideologi (yaitu perpindahan dari masyarakat ke teologi) yang ada di bawah pengaruh Marxisme.Teologi pembebasan mencoba mengajarkan satu pandangan yang mencoba mengangkat status orang-orang yang tertindas oleh berbagai problem hidup. Masalah hidup seperti ekonomi dan yang lainnya menyebabkan rakyat jelata menderita, yang mana penderitaan tersebut dimanfaatkan oleh segelitir orang untuk semakin mengukuhkan kedudukannya di dalam sebuah badan organisasi termasuk di dalam gereja.
Teologi Pembebasan merupakan upaya berteologi secara kontekstual. Teologi Pembebasan yang diterjemahkan dari Bahasa Inggris Liberation Theology menjadi keharusan bagi kegiatan gereja-gereja dalam komitmen kristianinya pada kehidupan sosial. Teologi pembebasan lahir sebagai respons terhadap situasi ekonomi dan politik yang dinilai menyengsarakan rakyat. Masalah-masalah itu dijabarkan dalam penindasan, rasisme, kemiskinan, penjajahan, bias ideologi dsb. Pada kalangan Jesuit, baik di Asia termasuk Indonesia, Brazil , Amerika Latin, dan Afrika Selatan Teologi ini berkembang pesat sebagai dampak dari hermeneutika Alkitab secara kontekstual untuk menjawab persoalan yang dihadapi umat manusia. Teologi Pembebasan merupakan refleksi bersama suatu komunitas terhadap suatu persoalan sosial. Karena itu masyarakat terlibat dalam perenungan-perenungan keagamaan.Mereka mempertanyakan seperti apa tanggung jawab agama dan apa yang harus dilakukan agama dalam konteks pemiskinan struktural.pada intinya teologi pembesan ingin menjadikan atau membebaskan masyarakat dari keterbelakangan menuju masyarakat yang beradab dengan cara menjadikan semanngat atauh agama dijadikan ruh untuk melawan pemerintah.
Jika dipahami dan dipelajari lebih dalam lagi memang masih banyak yang belum setuju tentang teologi pembebasan namun penulis mencoba menggali dari latar belakang pendiri teologi pembebasan, maka dapat ditemukan bahwa tujuan semata-mata teologi ini adalah untuk keselamatan jiwa terutama bagi mereka yang masih tidak mendapat keadilan.
 Jadi, pembebasan haruslah dipandang sebagai antisipasi dan datangnya Kerajaan Allah, kerajaan yang didirikan keadilan, persamaan, persaudaraan, dan persekutuan solidaritas.
Praksis pembebasan adalah aktivitas transformasi masyarakat yang menguntungkan mereka yang tertindas, dan itu praktik penting dari Kasih Kristinai. Cinta Kristusharus dijelmakan dan dibuat kreatif dalam sejarah.teologi Gutierrez merupakan reaksi menentang metode tradisional dalam berteologi. Pada akhirnya, Gutierrez mengatakan bahwa gereja tidak akan memiliki suatu teologi pembebasan yang otentik sampai mereka yang tertindas mampu mengekspresikan diri mereka sendiri secara bebas dan kreatif di dalam masyarakat sebagai manusia Allah.
Jadi, teologi pembebasan adalah refleksi dari teologi dalam kontekstual untuk kemerdekaan dari dari perbudakan secara materiil maupun spiritual demi keselamtan jiwa.
          =============================================
       

DAFTAR PUSTAKA
Claire Barth F Marie, Hati Allah Bagaikan Hati Seorang Ibu, Jakarta:Gunung Mulia, 2006
.
Curran Charles E., BURUH, PETANI, DAN PERANG NUKLIR, Ajaran Sosial Katolik 189, Yogyakarta:Kanisius, 2007.
Fr. Wahono Nitiprawiro, dkk, Teologi pembebasan ,Yogyakarta:LKIS, 2002.

John Clinebell Howard, Tipe Tipe Dasar Pendampingan & Konseling Pastoral,Yogyakarta:Kanisius, 2002.
Keene Michael, Seri Access Guides KRISTIANITAS,Yogyakarta:Kanisius, 2006.

Lane Tony., Runtut Pijar, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007.
Linnemann Eta, TEOLOGI KONTEMPORER,ILMU ATAU PRADUGA? Malang: Departemen Literatur Yayasan Persekutuan Pekabaran Injil Indonesia, 1991.
Ramly Andi M., Karl Marx, Yogyakarta:LKIS,2000.
Taylor Michael., Dilarang Melarat-Narasi Teologis Tentang Kemiskinan, Yogyakarta: Kanisius, 2007.

Wahono Nitiprawiro, , Teologi Pembebasan: Sejarah, Metode, Praksis, dan Isinya, Yogyakarta:

Wartaya Winangun Y. W., Tanah sumber nilai hidup, (Yogyakarta:Kanisius, 2004.

Woga Edmund, CSsR. Pustaka Teologi DASAR-DASAR MISIOLOGI, Yogyakarta:Kanisius, 2002.





Masih ada jalan keluar