ddd

Jika Yesus Kristus adalah orang gila, stress berat, tidak mungkin ada pengikutnya. Jika Yesus Kristus seorang penipu tidak mungkin Dia mau disalib. Kesimpulannya adalah Yesus Kristus adalah Tuhan Allah yang datang ke dunia menjadi manusia

Minggu, 26 Oktober 2014

TEOLOGI PEMBEBASAN

Teologi Pembebasan


Berbicara mengenai teologi pembebasan berarti berbicara mengenai konteks teologi Kristen. Pembahasan ini tidak terlepas dari Amerika Latin dimana teologi ini lahir. Amerika Latin, bukanlah termasuk kategori “Barat”, tetapi kategori dunia ketiga. Ia merupakan salah satu obyek eksploitasi negara Barat. Penduduk Amerika Latin terdiri dari ras campuran, Indian, Afrika, Mongoloid, Jawa, Portugas, Spanyol dan suku-suku pribumi. Dalam periode abad 16-20 M, bangsa Portugis dan Spanyol menjadi “Raja” diantara suku-suku dan bangsa-bangsa di Amerika Latin melalui kolonialisme-nya sehingga dalam keanekaragamanan ras tersebut menimbulkan pengkotak-kotakan antara kulit putih dan kulit hitam.[1] Teologi pembebasan adalah sebuah paham akan peranan agama dalam lingkup sosial, yakni pengontekstualisasian ajaran-ajaran dan nilai agama pada masalah konkret yang terjadi disekitarnya. Menurut Eta Linnemann di dalam buku yang dimaksud dengan teologi pembebasan adalah: “teologi yang memperhatikan situasi dan penderitaan orang miskin. Keinginannya tidak lain daripada membela dan memihak kepada hak orang miskin”.[2]
A.    Latar Belakang
Pada awalnya munculnya di Eropa dandiperkenalkan oleh para teolog Katolik di Amerika Latin pada abad pertengahan sebagaimana dikatakan Fr. Wahono Nitiprawiro:
Teologi pembebasan pada awalnya muncul di Eropa abad kedua puluh dan menjadi studi penting bagi agama-agama untuk melihat peran agama dalam ancaman globalisasi dan menghindar manusia dari berbagai macam dosa, serta menawarkan paradigm untuk memperbaiki sistim social bagi manusia yang telah dirusak oleh berbagai system ideology dari perbuatan manusia sendiri.[3]
 Jadi, teologi Pembebasan muncul pada abad ke-20 seiring banyaknya permasalahan dunia yang sedang tidak merdeka dinilai dari sudut pandang keadilan sebagai manusia yang sama di hadapan Tuhan. Teologi pembebasan adalah sebuah paham tentang peranan agama atau gereja dalam ruang lingkup lingkungan sosial. Dengan kata lain teologi pembebasan adalah suatu usaha kontekstualisasi ajaran-ajaran dan nilai keagamaan atau nilai-nilai teologis pada masalah kongkret di sekitarnya. Teologi pembebasan muncul dari proses panjang transformasi pasca-Pencerahan refleksi teologis Kristen. Jadi, gerakan ini muncul karena perpaduan dari perubahan-perubahan internal dan eksternal. Secara internal gerakan ini muncul berbarengan dengan perkembangan aliran-aliran teologis dan keterbukaan terhadap perkembangan sains sosial modern.

B.     Pendiri Teologi Pembebasan
Gustavo Gutierrez Merino Lahir pada tanggal 8 Juni 1928 di Monserat, sebuah kawasan miskin di Lima, Ibu kota Peru. Ia berasal dari keluarga sederhana yang berdarah Mestizo, keturunan campuran Hispanic (Spanyol) dan Indian. Gutierrez adalah satu-satunya anak laki-laki dari tiga bersaudara. Meskipun ada kesulitan-kesulitan ekonomi, ia tidak mengalami kekurangan cinta dari keluarganya. Ketika berada di bangku sekolah menengah, Gutierrez diserang penyakit Osteomiletis. Penyakit ini menyebabkan kepincangan permanen pada kakinya. Penyakit ini pulalah yang menuntun dia memilih jurusan farmasi pada Universitas San Marcos, Lima. Tetapi, kemudian ia memutuskan untuk masuk seminari dan belajar filsafat-teologi di Seminari Santiago de Chile.[4]
Kehidupan Gustavo yang lahir dari keluarga sederhana dan perjumpaannya kepada Tuhan membuatnya mengambil keputusan untuk memperhatikan orang-orang kecil yang tertindas dan mendorongnya untuk melakukan kontekstualisasi dalam berteologi. Menurut Gutierrez pendekatan teologi Barat yang dia pelajari tidak dapat diaplikasikan dalam situasi masyarakat di Amerika Latin. Menurut dia, butuh pendekatan khas untuk berteologi dalam situasi yang sangat memprihatinkan di Amerika Latin waktu itu.
Ia menjadi anggota Akademi Bahasa Peru, dan pada 1993 dan dianugerahi Legiun Kehormatan oleh pemerintah Perancis untuk karyanya yang tak mengenal lelah. Gutierrez pernah belajar kedokteran dan sastra, psikologi dan filsafat, dan mendapat gelar doktor dari Institut Pastoral d'Etudes Religieuses (IPER), Université Catholique di Lyon. Karya terobosan Gutiérrez, A Theology  of  Liberation: History, Politics, Salvation tahun1971(Suatu Teologi Pembebasan: Sejarah, Politik, Keselamatan”) menjelaskan pemahamannya tentang kemiskinan Kristen sebagai suatu tindakan solidaritas penuh cinta kasih dengan kaum miskin maupun sebagai protes pembebasan melawan kemiskinan.
a.      Berkembangnya Teologi Pembebasan
Berkembangnya teologi pembebasan sangat dipengaruhi oleh ajaran Marx. Ada dua ajaran Karl Marx yang masuk dalam konsep teologi pembebasan Amerika Latin. Konsep perjuangan kelas, kaitannya dengan kemandirian individu. Setiap orang, begitu kata Gutierrez, haruslah memperjuangkan nasibnya dengan cara dan metode apapun. Jika perjuangan kelas Karl Marx lebih menekankan pada aspek ekonomi, maka perjuangan ala Gutierrez menekankan pada semangat “kemerdekaan dalam tatanan sosial”. Status sebagai orang merdeka, bebas dari penindasan, berdikari dan merumuskan/menjalani kehidupan sesuai dengan kehendaknya sendiri. Individu menjadi salah satu “juru selamat” bagi dirinya sendiri. Pengutukan terhadap kepemilikan pribadi. Dalam masyarakat Amerika Latin saat itu, harta kekayaan menjadi milik pribadi individu, dalam hal ini milik Spanyol dan Portugal. Pribumi hanyalah menjadi alat untuk meng-kaya-kan bangsa asing. Konsep “menebar kasih” telah dihilangkan oleh pemerintah colonial. Dan jelas, konsep menebar kasih ini telah ada di ajaran Kristen, agama yang juga dipeluk oleh bangsa Spanyol dan Portugal.[5]
Jadi, kelahiran teologi pembebasan dilatarbelakangi oleh pengalaman Gustavo yang lahir dari keluarga sederhana serta pengetahuan akan fungsi gereja sebagai garam dan terang dan juga pengalamannya yang tinggal bersama dengan orang-orang yang tertindas.
b.      Metodologi Teologi Pembebasan
Dalam memahami teologi pembebasan ini,  ada beberapa pemikiran praktis untuk memahami teologi pembebasan ini. Point pemikiran antara lain :
  1. Teologi pembebasan berawal dari reaksi terhadap sistem masyarakat yang tidak adil; Situasi, kondisi masyarakat pada waktu itu dalam keadaan miskin, tertindas, dipojokkan, diasingkan karena perbedaan warna kulit (sosial).
  2. Teologi Kristen “Allah mengasihi semua orang dan tidak membedakan status.
  3. Situasi kedua, berkembangnya teologi di Barat,
  4.  Teologi harus bersentuhan dengan kondisi sosial, karena ia lahir dari kondisi sosial.
  5. Teologi tidak bisa hanya dipahami sebagai yang “transenden” tetapi dia juga dipahami”.
  6. Teologi haruslah bersifat kontekstual,
  7. Menempatkan “aksi sosial” sebagai peran utama dalam pembebasan masyarakat tertindas.
Dari ketujuh point di atas bahwa yang terpenting di dalam teologi pembebasan ini adalah “bagaimana pernanan Alkitab secara nyata bagi orang yang tertindas baik secara kehidupan di dunia nyata maunpun di dunia akhirat yaitu pembebasan dari dosa dan masuk dalam persekutuan dengan Tuhan Allah dan semua manusia.  Gutierrez mengatakan bahwa Alkitab harus direfleksikan bukan saja kepentingan dunia semata, melainkan pembebasan dalam arti sebagai peziarahan seluruh manusia dalam segala keutuhan dan kedalaman hidupnya serta sekaligus pembebasan dalam arti penyelamatan manusia dari dosa. Lebih tegasnya Gutierrez ingin mnunjukkan lebih jelas tugas teologi dalam hubungan antara iman dan perjuangan pembebasan. Refleksi teologi diharapkan menjawab soal hubungan antara iman dan eksistensi manusia, soal-soal sosial, aksi politik atau hubungan antara Kerajaan Allah dan bangunan dunia. Ringkasnya, bagaimana hubungan antara iman dan penciptaan manusia baru yang merupakan tujuan perjuangan pembebasan.

C.     Pengajaran Teologi Pembebasan.
Konteks sosial yang terjadi adalah penindasan, kemiskinan, keterbelakangan, dan harkat manusia. Paham ini tumbuh bersama suburnya sosialisme di Amerika Latin, akhir 1960-an dan awal 1970-an. Teologi Pembebasan merupakan refleksi bersama suatu komunitas terhadap suatu persoalan sosial.
Teologinya berpusat pada pengentasan rakyat miskin yang diperlakukan tidak adil oleh sistem masyarakat kelas yang memisahkan manusia dalam kategori borjuis (para bangsawan yang biasanya kaya) dan proletar (rakyat jelata yang hanya punya anak namun tanpa harta) sebagaimana dikatakan Y. W. Wartaya Winangun
Teologi pembebasan adalah usaha untuk melakukan teologi local. Teologi ini mendasarkan diri pada pengalaman konkret dalam situasi umat beriman local. Keprihatinana teologi-teologi pembebasan itu sejalan dengan gerakan pemerdekaan maupun cita-cita kemanusian, gerkan untuk menumbuhkan solidaritas rakyat lemah, dan keadilan social. Dan dapat disebut beriorentasi pada kerakyatan yang tidak adil.[6]
.[7] Menurut Gutierrez,  mempunyai tiga dimensi utama:
Pertama, mencakup pembebasan politik dan sosial, penghapusan hal-hal yang langsung menyebabkan kemiskinan dan ketidakadilan.
Kedua, Pembebasan mencakup emansipasi kaum miskin, kaum marjinal, mereka yang terinjak-injak dan tertindas dari segala sesuatu yang membatasi kemampuan mereka untuk mengembangkan diri dengan bebas dan dengan bermartabat.
Ketiga, Teologi pembebasan mencakup pembebasan dari egoisme dan dosa, pembentukan kembali hubungan dengan Allah dan dengan orang-orang lain.
Dari refleksi kritis Gutierrez, jelas bahwa yang diperjuangkan oleh para teolog pembebasan Amerika Latin bukan saja kepentingan dunia semata, melainkan pembebasan dalam arti sebagai peziarahan seluruh manusia dalam segala keutuhan dan kedalaman hidupnya serta sekaligus pembebasan dalam arti penyelamatan manusia dari dosa.

Teologi pembebasan adalah bagian dari kerjaan Allah.[8] Teologi Pembebasan sendiri sebenarnya juga memiliki pengajaran yang didasarkan dengan Alkitab sebagaimana Allah membebaskan umat-Nya dari perbudakan bangsa Mesir:
Teologi pembebasan berpijak pada kenyataan bahwa Allah memihak pada orang-orang yang tertindas dan yang dikesampingkan. Ia membebaskan sekelompok pekerja-pekerja dari “rumah perbudakan Mesir” menjadikan mereka umat-Nya serta mengikuti perjanjian dengan mereka dan memberikan hokum kemerdekaan untuk mengatur hidup bermasyarakat mereka.[9]
Jadi, bagi pengajaran teologi pembebasan mempunyai pemahaman bahwa Allah dipahami sebagai pembebas (liberator) di dalam Perjanjian Lam dan Perjanjian Baru.[10] sebagaimana dikatakan dalam kitab PL maupun PB:
  1.  Bani Israel berada di tanah Mesir, Tuhan telah mendengarkan jeritan mereka, dan membebaskan mereka dari perbudakan dan penderitaan. (Keluaran 6:13).
  2. Nyanyian pujian Maria yang terdapat dalam Injil Lukas 1:46-55"... Ia memperlihatkan kuasa-Nya dengan perbuatan tangan-Nya dan menceraiberaikan orang-orang yang congkak hatinya; Ia menurunkan orang-orang yang berkuasa dari takhtanya dan meninggikan orang-orang yang rendah; Ia melimpahkan segala yang baik kepada orang yang lapar dan menyuruh orang yang kaya pergi dengan tangan hampa ...."
  3. Nubuat nabi Yesaya tentang pekerjaan Messias: "... untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang yang miskin; dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang." (Luk 4:18-19).
Dalam pengajaran teologi pembebasan ini, para teolog ini membedakan antara metode teologi pembebasan dengan teologi tradisional. Teologi tradisional adalah teologi yang membahas tentang Tuhan semata-mata, sementara teologi pembebasan adalah cara berteologi yang berasal dari refleksi iman di tengah realitas konkrit yang menyejarah. Yakni teologi yang memprihatini nasib dan solider kepada mereka yang menderita ketidakadilan, kalah, miskin, ditindas dan menjadi korban sejarah; teologi yang mau mentransformasikan dunia sebagaimana dikatakan dikatakan Y. W. Wartaya Winangun bahwa Teologi pembebasan memahami dirinya bukan sebagai cabang dari teologi, tetapi  merupakan orientasi keseluruhan reflesi teologis, yaitu orientasi pembebasan kaum miskin, tertindas, lemah dan yang diperlakukan secara tidak adil.[11]
Arah dasar teologi pembebasan adalah pembebasan kaum miskin, kaum lemah, dan kaum yang tertindas. Pembebabasan dimengerti secara menyeluruh meliputi pembebasan dari social ekonomi.[12] Edmund Woga menjelaskan bahawa teologi pembebasan ini menjelaskan:
Refleksi yang ditempuh oleh teologi pembebasan yang mengutamakan fenomena-fenomena historis dan kegiatan-kegiatan manusia merupakan cara yang memadai dalam menanggapi paham tentang keselamatan yang idealistis-utopis. Teologi ini mencoba menjembatani kesenjangan antara kata-kata, kesaksian, karena reflesksinya berdasarkan pengalaman social masyarakat di lapangan ditujukan kepada praksis pembebasan manusia dalam segala macam segi kehidupan.[13]
Refleksi kritis Gutierrez, jelas bahwa yang diperjuangkan oleh para teolog pembebasan Amerika Latin bukan saja kepentingan dunia semata, melainkan pembebasan dalam arti sebagai peziarahan seluruh manusia dalam segala keutuhan dan kedalaman hidupnya serta sekaligus pembebasan dalam arti penyelamatan manusia dari dosa.
Jadi, argument paling mendasar dari teologi pembebasan adalah bahwa gereja harus peduli pada refleksi, aksi dan usaha membangkitkan kesadaran orang-orang miskin mengenai perlunya bertindak untuk menjamun keadilan social. Dosa bukan hanya akibat kesalahan pribadi tetapi juga karena ketidakadilan, dan ini perlu diberantas oleh umat-umat Tuhan atau gereja.[  

                                                                               BAB IV
       Kesimpulan

Berdasarkan penguraian tentang Teologi Pembebasan di atas, dapat disimpulkan bahwa untuk memahami teologi pembebas secara efektif harus memperhatikan beberapa hal, pertama,  situasi budaya atau konteks latar belakang kehidupan Amerika Latin pada waktu itu atau berpusat pada konsep dalam social masyarakat.Kedua, mengkonfrontasikan perjuangan kelas, ekonomi dan ideologi yang berbeda dengan iman Kristen. Keempat, Teologi Pembebasan lebih merupakan ideologi (yaitu perpindahan dari masyarakat ke teologi) yang ada di bawah pengaruh Marxisme.Teologi pembebasan mencoba mengajarkan satu pandangan yang mencoba mengangkat status orang-orang yang tertindas oleh berbagai problem hidup. Masalah hidup seperti ekonomi dan yang lainnya menyebabkan rakyat jelata menderita, yang mana penderitaan tersebut dimanfaatkan oleh segelitir orang untuk semakin mengukuhkan kedudukannya di dalam sebuah badan organisasi termasuk di dalam gereja.
Teologi Pembebasan merupakan upaya berteologi secara kontekstual. Teologi Pembebasan yang diterjemahkan dari Bahasa Inggris Liberation Theology menjadi keharusan bagi kegiatan gereja-gereja dalam komitmen kristianinya pada kehidupan sosial. Teologi pembebasan lahir sebagai respons terhadap situasi ekonomi dan politik yang dinilai menyengsarakan rakyat. Masalah-masalah itu dijabarkan dalam penindasan, rasisme, kemiskinan, penjajahan, bias ideologi dsb. Pada kalangan Jesuit, baik di Asia termasuk Indonesia, Brazil , Amerika Latin, dan Afrika Selatan Teologi ini berkembang pesat sebagai dampak dari hermeneutika Alkitab secara kontekstual untuk menjawab persoalan yang dihadapi umat manusia. Teologi Pembebasan merupakan refleksi bersama suatu komunitas terhadap suatu persoalan sosial. Karena itu masyarakat terlibat dalam perenungan-perenungan keagamaan.Mereka mempertanyakan seperti apa tanggung jawab agama dan apa yang harus dilakukan agama dalam konteks pemiskinan struktural.pada intinya teologi pembesan ingin menjadikan atau membebaskan masyarakat dari keterbelakangan menuju masyarakat yang beradab dengan cara menjadikan semanngat atauh agama dijadikan ruh untuk melawan pemerintah.
Jika dipahami dan dipelajari lebih dalam lagi memang masih banyak yang belum setuju tentang teologi pembebasan namun penulis mencoba menggali dari latar belakang pendiri teologi pembebasan, maka dapat ditemukan bahwa tujuan semata-mata teologi ini adalah untuk keselamatan jiwa terutama bagi mereka yang masih tidak mendapat keadilan.
 Jadi, pembebasan haruslah dipandang sebagai antisipasi dan datangnya Kerajaan Allah, kerajaan yang didirikan keadilan, persamaan, persaudaraan, dan persekutuan solidaritas.
Praksis pembebasan adalah aktivitas transformasi masyarakat yang menguntungkan mereka yang tertindas, dan itu praktik penting dari Kasih Kristinai. Cinta Kristusharus dijelmakan dan dibuat kreatif dalam sejarah.teologi Gutierrez merupakan reaksi menentang metode tradisional dalam berteologi. Pada akhirnya, Gutierrez mengatakan bahwa gereja tidak akan memiliki suatu teologi pembebasan yang otentik sampai mereka yang tertindas mampu mengekspresikan diri mereka sendiri secara bebas dan kreatif di dalam masyarakat sebagai manusia Allah.
Jadi, teologi pembebasan adalah refleksi dari teologi dalam kontekstual untuk kemerdekaan dari dari perbudakan secara materiil maupun spiritual demi keselamtan jiwa.









Teologi Pembebasan


Teologi Pembebasan



PENDAHULUAN
Berbicara mengenai teologi pembebasan berarti berbicara mengenai konteks teologi Kristen. Pembahasan ini tidak terlepas dari Amerika Latin dimana teologi ini lahir. Amerika Latin, bukanlah termasuk kategori “Barat”, tetapi kategori dunia ketiga. Ia merupakan salah satu obyek eksploitasi negara Barat. Penduduk Amerika Latin terdiri dari ras campuran, Indian, Afrika, Mongoloid, Jawa, Portugas, Spanyol dan suku-suku pribumi. Dalam periode abad 16-20 M, bangsa Portugis dan Spanyol menjadi “Raja” diantara suku-suku dan bangsa-bangsa di Amerika Latin melalui kolonialisme-nya sehingga dalam keanekaragamanan ras tersebut menimbulkan pengkotak-kotakan antara kulit putih dan kulit hitam.[1] Teologi pembebasan adalah sebuah paham akan peranan agama dalam lingkup sosial, yakni pengontekstualisasian ajaran-ajaran dan nilai agama pada masalah konkret yang terjadi disekitarnya. Menurut Eta Linnemann di dalam buku yang dimaksud dengan teologi pembebasan adalah: “teologi yang memperhatikan situasi dan penderitaan orang miskin. Keinginannya tidak lain daripada membela dan memihak kepada hak orang miskin”.[2]
A.    Latar Belakang
Pada awalnya munculnya di Eropa dandiperkenalkan oleh para teolog Katolik di Amerika Latin pada abad pertengahan sebagaimana dikatakan Fr. Wahono Nitiprawiro:
Teologi pembebasan pada awalnya muncul di Eropa abad kedua puluh dan menjadi studi penting bagi agama-agama untuk melihat peran agama dalam ancaman globalisasi dan menghindar manusia dari berbagai macam dosa, serta menawarkan paradigm untuk memperbaiki sistim social bagi manusia yang telah dirusak oleh berbagai system ideology dari perbuatan manusia sendiri.[3]
 Jadi, teologi Pembebasan muncul pada abad ke-20 seiring banyaknya permasalahan dunia yang sedang tidak merdeka dinilai dari sudut pandang keadilan sebagai manusia yang sama di hadapan Tuhan. Teologi pembebasan adalah sebuah paham tentang peranan agama atau gereja dalam ruang lingkup lingkungan sosial. Dengan kata lain teologi pembebasan adalah suatu usaha kontekstualisasi ajaran-ajaran dan nilai keagamaan atau nilai-nilai teologis pada masalah kongkret di sekitarnya. Teologi pembebasan muncul dari proses panjang transformasi pasca-Pencerahan refleksi teologis Kristen. Jadi, gerakan ini muncul karena perpaduan dari perubahan-perubahan internal dan eksternal. Secara internal gerakan ini muncul berbarengan dengan perkembangan aliran-aliran teologis dan keterbukaan terhadap perkembangan sains sosial modern.

B.     Pendiri Teologi Pembebasan
Gustavo Gutierrez Merino Lahir pada tanggal 8 Juni 1928 di Monserat, sebuah kawasan miskin di Lima, Ibu kota Peru. Ia berasal dari keluarga sederhana yang berdarah Mestizo, keturunan campuran Hispanic (Spanyol) dan Indian. Gutierrez adalah satu-satunya anak laki-laki dari tiga bersaudara. Meskipun ada kesulitan-kesulitan ekonomi, ia tidak mengalami kekurangan cinta dari keluarganya. Ketika berada di bangku sekolah menengah, Gutierrez diserang penyakit Osteomiletis. Penyakit ini menyebabkan kepincangan permanen pada kakinya. Penyakit ini pulalah yang menuntun dia memilih jurusan farmasi pada Universitas San Marcos, Lima. Tetapi, kemudian ia memutuskan untuk masuk seminari dan belajar filsafat-teologi di Seminari Santiago de Chile.[4]
Kehidupan Gustavo yang lahir dari keluarga sederhana dan perjumpaannya kepada Tuhan membuatnya mengambil keputusan untuk memperhatikan orang-orang kecil yang tertindas dan mendorongnya untuk melakukan kontekstualisasi dalam berteologi. Menurut Gutierrez pendekatan teologi Barat yang dia pelajari tidak dapat diaplikasikan dalam situasi masyarakat di Amerika Latin. Menurut dia, butuh pendekatan khas untuk berteologi dalam situasi yang sangat memprihatinkan di Amerika Latin waktu itu.
Ia menjadi anggota Akademi Bahasa Peru, dan pada 1993 dan dianugerahi Legiun Kehormatan oleh pemerintah Perancis untuk karyanya yang tak mengenal lelah. Gutierrez pernah belajar kedokteran dan sastra, psikologi dan filsafat, dan mendapat gelar doktor dari Institut Pastoral d'Etudes Religieuses (IPER), Université Catholique di Lyon. Karya terobosan Gutiérrez, A Theology  of  Liberation: History, Politics, Salvation tahun1971(Suatu Teologi Pembebasan: Sejarah, Politik, Keselamatan”) menjelaskan pemahamannya tentang kemiskinan Kristen sebagai suatu tindakan solidaritas penuh cinta kasih dengan kaum miskin maupun sebagai protes pembebasan melawan kemiskinan.
a.      Berkembangnya Teologi Pembebasan
Berkembangnya teologi pembebasan sangat dipengaruhi oleh ajaran Marx. Ada dua ajaran Karl Marx yang masuk dalam konsep teologi pembebasan Amerika Latin. Konsep perjuangan kelas, kaitannya dengan kemandirian individu. Setiap orang, begitu kata Gutierrez, haruslah memperjuangkan nasibnya dengan cara dan metode apapun. Jika perjuangan kelas Karl Marx lebih menekankan pada aspek ekonomi, maka perjuangan ala Gutierrez menekankan pada semangat “kemerdekaan dalam tatanan sosial”. Status sebagai orang merdeka, bebas dari penindasan, berdikari dan merumuskan/menjalani kehidupan sesuai dengan kehendaknya sendiri. Individu menjadi salah satu “juru selamat” bagi dirinya sendiri. Pengutukan terhadap kepemilikan pribadi. Dalam masyarakat Amerika Latin saat itu, harta kekayaan menjadi milik pribadi individu, dalam hal ini milik Spanyol dan Portugal. Pribumi hanyalah menjadi alat untuk meng-kaya-kan bangsa asing. Konsep “menebar kasih” telah dihilangkan oleh pemerintah colonial. Dan jelas, konsep menebar kasih ini telah ada di ajaran Kristen, agama yang juga dipeluk oleh bangsa Spanyol dan Portugal.[5]
Jadi, kelahiran teologi pembebasan dilatarbelakangi oleh pengalaman Gustavo yang lahir dari keluarga sederhana serta pengetahuan akan fungsi gereja sebagai garam dan terang dan juga pengalamannya yang tinggal bersama dengan orang-orang yang tertindas.
b.      Metodologi Teologi Pembebasan
Dalam memahami teologi pembebasan ini,  ada beberapa pemikiran praktis untuk memahami teologi pembebasan ini. Point pemikiran antara lain :
  1. Teologi pembebasan berawal dari reaksi terhadap sistem masyarakat yang tidak adil; Situasi, kondisi masyarakat pada waktu itu dalam keadaan miskin, tertindas, dipojokkan, diasingkan karena perbedaan warna kulit (sosial).
  2. Teologi Kristen “Allah mengasihi semua orang dan tidak membedakan status.
  3. Situasi kedua, berkembangnya teologi di Barat,
  4.  Teologi harus bersentuhan dengan kondisi sosial, karena ia lahir dari kondisi sosial.
  5. Teologi tidak bisa hanya dipahami sebagai yang “transenden” tetapi dia juga dipahami”.
  6. Teologi haruslah bersifat kontekstual,
  7. Menempatkan “aksi sosial” sebagai peran utama dalam pembebasan masyarakat tertindas.
Dari ketujuh point di atas bahwa yang terpenting di dalam teologi pembebasan ini adalah “bagaimana pernanan Alkitab secara nyata bagi orang yang tertindas baik secara kehidupan di dunia nyata maunpun di dunia akhirat yaitu pembebasan dari dosa dan masuk dalam persekutuan dengan Tuhan Allah dan semua manusia.  Gutierrez mengatakan bahwa Alkitab harus direfleksikan bukan saja kepentingan dunia semata, melainkan pembebasan dalam arti sebagai peziarahan seluruh manusia dalam segala keutuhan dan kedalaman hidupnya serta sekaligus pembebasan dalam arti penyelamatan manusia dari dosa. Lebih tegasnya Gutierrez ingin mnunjukkan lebih jelas tugas teologi dalam hubungan antara iman dan perjuangan pembebasan. Refleksi teologi diharapkan menjawab soal hubungan antara iman dan eksistensi manusia, soal-soal sosial, aksi politik atau hubungan antara Kerajaan Allah dan bangunan dunia. Ringkasnya, bagaimana hubungan antara iman dan penciptaan manusia baru yang merupakan tujuan perjuangan pembebasan.
C.     Pengajaran Teologi Pembebasan.
Konteks sosial yang terjadi adalah penindasan, kemiskinan, keterbelakangan, dan harkat manusia. Paham ini tumbuh bersama suburnya sosialisme di Amerika Latin, akhir 1960-an dan awal 1970-an. Teologi Pembebasan merupakan refleksi bersama suatu komunitas terhadap suatu persoalan sosial.
Teologinya berpusat pada pengentasan rakyat miskin yang diperlakukan tidak adil oleh sistem masyarakat kelas yang memisahkan manusia dalam kategori borjuis (para bangsawan yang biasanya kaya) dan proletar (rakyat jelata yang hanya punya anak namun tanpa harta) sebagaimana dikatakan Y. W. Wartaya Winangun
Teologi pembebasan adalah usaha untuk melakukan teologi local. Teologi ini mendasarkan diri pada pengalaman konkret dalam situasi umat beriman local. Keprihatinana teologi-teologi pembebasan itu sejalan dengan gerakan pemerdekaan maupun cita-cita kemanusian, gerkan untuk menumbuhkan solidaritas rakyat lemah, dan keadilan social. Dan dapat disebut beriorentasi pada kerakyatan yang tidak adil.[6]
.[7] Menurut Gutierrez,  mempunyai tiga dimensi utama:
Pertama, mencakup pembebasan politik dan sosial, penghapusan hal-hal yang langsung menyebabkan kemiskinan dan ketidakadilan.
Kedua, Pembebasan mencakup emansipasi kaum miskin, kaum marjinal, mereka yang terinjak-injak dan tertindas dari segala sesuatu yang membatasi kemampuan mereka untuk mengembangkan diri dengan bebas dan dengan bermartabat.
Ketiga, Teologi pembebasan mencakup pembebasan dari egoisme dan dosa, pembentukan kembali hubungan dengan Allah dan dengan orang-orang lain.
Dari refleksi kritis Gutierrez, jelas bahwa yang diperjuangkan oleh para teolog pembebasan Amerika Latin bukan saja kepentingan dunia semata, melainkan pembebasan dalam arti sebagai peziarahan seluruh manusia dalam segala keutuhan dan kedalaman hidupnya serta sekaligus pembebasan dalam arti penyelamatan manusia dari dosa.

Teologi pembebasan adalah bagian dari kerjaan Allah.[8] Teologi Pembebasan sendiri sebenarnya juga memiliki pengajaran yang didasarkan dengan Alkitab sebagaimana Allah membebaskan umat-Nya dari perbudakan bangsa Mesir:
Teologi pembebasan berpijak pada kenyataan bahwa Allah memihak pada orang-orang yang tertindas dan yang dikesampingkan. Ia membebaskan sekelompok pekerja-pekerja dari “rumah perbudakan Mesir” menjadikan mereka umat-Nya serta mengikuti perjanjian dengan mereka dan memberikan hokum kemerdekaan untuk mengatur hidup bermasyarakat mereka.[9]
Jadi, bagi pengajaran teologi pembebasan mempunyai pemahaman bahwa Allah dipahami sebagai pembebas (liberator) di dalam Perjanjian Lam dan Perjanjian Baru.[10] sebagaimana dikatakan dalam kitab PL maupun PB:
  1.  Bani Israel berada di tanah Mesir, Tuhan telah mendengarkan jeritan mereka, dan membebaskan mereka dari perbudakan dan penderitaan. (Keluaran 6:13).
  2. Nyanyian pujian Maria yang terdapat dalam Injil Lukas 1:46-55"... Ia memperlihatkan kuasa-Nya dengan perbuatan tangan-Nya dan menceraiberaikan orang-orang yang congkak hatinya; Ia menurunkan orang-orang yang berkuasa dari takhtanya dan meninggikan orang-orang yang rendah; Ia melimpahkan segala yang baik kepada orang yang lapar dan menyuruh orang yang kaya pergi dengan tangan hampa ...."
  3. Nubuat nabi Yesaya tentang pekerjaan Messias: "... untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang yang miskin; dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang." (Luk 4:18-19).
Dalam pengajaran teologi pembebasan ini, para teolog ini membedakan antara metode teologi pembebasan dengan teologi tradisional. Teologi tradisional adalah teologi yang membahas tentang Tuhan semata-mata, sementara teologi pembebasan adalah cara berteologi yang berasal dari refleksi iman di tengah realitas konkrit yang menyejarah. Yakni teologi yang memprihatini nasib dan solider kepada mereka yang menderita ketidakadilan, kalah, miskin, ditindas dan menjadi korban sejarah; teologi yang mau mentransformasikan dunia sebagaimana dikatakan dikatakan Y. W. Wartaya Winangun bahwa Teologi pembebasan memahami dirinya bukan sebagai cabang dari teologi, tetapi  merupakan orientasi keseluruhan reflesi teologis, yaitu orientasi pembebasan kaum miskin, tertindas, lemah dan yang diperlakukan secara tidak adil.[11]
Arah dasar teologi pembebasan adalah pembebasan kaum miskin, kaum lemah, dan kaum yang tertindas. Pembebabasan dimengerti secara menyeluruh meliputi pembebasan dari social ekonomi.[12] Edmund Woga menjelaskan bahawa teologi pembebasan ini menjelaskan:
Refleksi yang ditempuh oleh teologi pembebasan yang mengutamakan fenomena-fenomena historis dan kegiatan-kegiatan manusia merupakan cara yang memadai dalam menanggapi paham tentang keselamatan yang idealistis-utopis. Teologi ini mencoba menjembatani kesenjangan antara kata-kata, kesaksian, karena reflesksinya berdasarkan pengalaman social masyarakat di lapangan ditujukan kepada praksis pembebasan manusia dalam segala macam segi kehidupan.[13]
Refleksi kritis Gutierrez, jelas bahwa yang diperjuangkan oleh para teolog pembebasan Amerika Latin bukan saja kepentingan dunia semata, melainkan pembebasan dalam arti sebagai peziarahan seluruh manusia dalam segala keutuhan dan kedalaman hidupnya serta sekaligus pembebasan dalam arti penyelamatan manusia dari dosa.
Jadi, argument paling mendasar dari teologi pembebasan adalah bahwa gereja harus peduli pada refleksi, aksi dan usaha membangkitkan kesadaran orang-orang miskin mengenai perlunya bertindak untuk menjamun keadilan social. Dosa bukan hanya akibat kesalahan pribadi tetapi juga karena ketidakadilan, dan ini perlu diberantas oleh umat-umat Tuhan atau gereja.

                                                                             BAB IV
Kesimpulan

Berdasarkan penguraian tentang Teologi Pembebasan di atas, dapat disimpulkan bahwa untuk memahami teologi pembebas secara efektif harus memperhatikan beberapa hal, pertama,  situasi budaya atau konteks latar belakang kehidupan Amerika Latin pada waktu itu atau berpusat pada konsep dalam social masyarakat.Kedua, mengkonfrontasikan perjuangan kelas, ekonomi dan ideologi yang berbeda dengan iman Kristen. Keempat, Teologi Pembebasan lebih merupakan ideologi (yaitu perpindahan dari masyarakat ke teologi) yang ada di bawah pengaruh Marxisme.Teologi pembebasan mencoba mengajarkan satu pandangan yang mencoba mengangkat status orang-orang yang tertindas oleh berbagai problem hidup. Masalah hidup seperti ekonomi dan yang lainnya menyebabkan rakyat jelata menderita, yang mana penderitaan tersebut dimanfaatkan oleh segelitir orang untuk semakin mengukuhkan kedudukannya di dalam sebuah badan organisasi termasuk di dalam gereja.
Teologi Pembebasan merupakan upaya berteologi secara kontekstual. Teologi Pembebasan yang diterjemahkan dari Bahasa Inggris Liberation Theology menjadi keharusan bagi kegiatan gereja-gereja dalam komitmen kristianinya pada kehidupan sosial. Teologi pembebasan lahir sebagai respons terhadap situasi ekonomi dan politik yang dinilai menyengsarakan rakyat. Masalah-masalah itu dijabarkan dalam penindasan, rasisme, kemiskinan, penjajahan, bias ideologi dsb. Pada kalangan Jesuit, baik di Asia termasuk Indonesia, Brazil , Amerika Latin, dan Afrika Selatan Teologi ini berkembang pesat sebagai dampak dari hermeneutika Alkitab secara kontekstual untuk menjawab persoalan yang dihadapi umat manusia. Teologi Pembebasan merupakan refleksi bersama suatu komunitas terhadap suatu persoalan sosial. Karena itu masyarakat terlibat dalam perenungan-perenungan keagamaan.Mereka mempertanyakan seperti apa tanggung jawab agama dan apa yang harus dilakukan agama dalam konteks pemiskinan struktural.pada intinya teologi pembesan ingin menjadikan atau membebaskan masyarakat dari keterbelakangan menuju masyarakat yang beradab dengan cara menjadikan semanngat atauh agama dijadikan ruh untuk melawan pemerintah.
Jika dipahami dan dipelajari lebih dalam lagi memang masih banyak yang belum setuju tentang teologi pembebasan namun penulis mencoba menggali dari latar belakang pendiri teologi pembebasan, maka dapat ditemukan bahwa tujuan semata-mata teologi ini adalah untuk keselamatan jiwa terutama bagi mereka yang masih tidak mendapat keadilan.
 Jadi, pembebasan haruslah dipandang sebagai antisipasi dan datangnya Kerajaan Allah, kerajaan yang didirikan keadilan, persamaan, persaudaraan, dan persekutuan solidaritas.
Praksis pembebasan adalah aktivitas transformasi masyarakat yang menguntungkan mereka yang tertindas, dan itu praktik penting dari Kasih Kristinai. Cinta Kristusharus dijelmakan dan dibuat kreatif dalam sejarah.teologi Gutierrez merupakan reaksi menentang metode tradisional dalam berteologi. Pada akhirnya, Gutierrez mengatakan bahwa gereja tidak akan memiliki suatu teologi pembebasan yang otentik sampai mereka yang tertindas mampu mengekspresikan diri mereka sendiri secara bebas dan kreatif di dalam masyarakat sebagai manusia Allah.
Jadi, teologi pembebasan adalah refleksi dari teologi dalam kontekstual untuk kemerdekaan dari dari perbudakan secara materiil maupun spiritual demi keselamtan jiwa.
          =============================================
       

DAFTAR PUSTAKA
Claire Barth F Marie, Hati Allah Bagaikan Hati Seorang Ibu, Jakarta:Gunung Mulia, 2006
.
Curran Charles E., BURUH, PETANI, DAN PERANG NUKLIR, Ajaran Sosial Katolik 189, Yogyakarta:Kanisius, 2007.
Fr. Wahono Nitiprawiro, dkk, Teologi pembebasan ,Yogyakarta:LKIS, 2002.

John Clinebell Howard, Tipe Tipe Dasar Pendampingan & Konseling Pastoral,Yogyakarta:Kanisius, 2002.
Keene Michael, Seri Access Guides KRISTIANITAS,Yogyakarta:Kanisius, 2006.

Lane Tony., Runtut Pijar, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007.
Linnemann Eta, TEOLOGI KONTEMPORER,ILMU ATAU PRADUGA? Malang: Departemen Literatur Yayasan Persekutuan Pekabaran Injil Indonesia, 1991.
Ramly Andi M., Karl Marx, Yogyakarta:LKIS,2000.
Taylor Michael., Dilarang Melarat-Narasi Teologis Tentang Kemiskinan, Yogyakarta: Kanisius, 2007.

Wahono Nitiprawiro, , Teologi Pembebasan: Sejarah, Metode, Praksis, dan Isinya, Yogyakarta:

Wartaya Winangun Y. W., Tanah sumber nilai hidup, (Yogyakarta:Kanisius, 2004.

Woga Edmund, CSsR. Pustaka Teologi DASAR-DASAR MISIOLOGI, Yogyakarta:Kanisius, 2002.





Rabu, 20 Agustus 2014

BOLEHKAH ORANG KRISTEN BERTATO..??


Pada masyarakat modern saat ini cenderung lebih terbuka terhadap beragam
ekspresi gaya hidup, termasuk tato di kalangan mahasiswa.Tato tersebut menjadi
sebuah bentuk komunikasi nonverbal dari pengguna tato tersebut bahwa mereka
adalah bagian dari minoritas yang mendukung perubahan image tato secara tidak
langsung dari tato yang dipersepsikan berbeda oleh masyarakat yang dulu adalah
sebagai simbol dari kriminalitas dan juga budaya. Dengan adanya studio-studio
tato yang berada di berbagai penjuru kota.
A. Latar Belakang Masalah
Awal kemunculan tato, sejak 12.000 tahun SM, tato dilambangkan sebagai ritual pada suku-suku kuno seperti Maori, Inca, Ainu, Polynesians. Di Mesir terdapat bukti sejarah kebudaayaan tato pada pyramid, merupakan kebudayaan tato tertua. Menurut sejarah, bangsa Mesir lah yang menjadi asal usul terbentuknya tattoo experience di dunia. Dahulu bangsa Mesir menjadi sebuah bangsa yang terkenal kuat, expansi mereka terhadap bangsa-bangsa lain sehingga akhirnya kebudayaan tato juga menyebar luas ke berbagai belahan dunia, antara lain seperti ke daerah Yunani, Persia, dan Arab.[1] Mentato sama sekali bukan praktek modern. Telah ditemukan mumi-2 bertato di Mesir dan Libyia yang berasal dari zaman ratusan tahun sebelum Kristus. Mumi-mumi bertato juga ditemukan di Amerika Selatan. Banyak gambar tato berkaitan langsung dengan ibadat kepada dewa-dewi kafir. Menurut peneliti per-tato-an, ”tato tertua yang diketahui merupakan sebuah gambar, bukan abstrak, melainkan menggambarkan Dewa Bes. Dalam mitologi orang Mesir, Bes adalah dewa pesta pora yang cabul”.
Tato adalah salah satu bentuk kebudayaan yang keberadaannya tidak lepas dari pengaruh proses dialektika sosial. Di Indonesia ada beberapa daerah yang memiliki tradisi tato yang sangat kuat, diantaranya yaitu suku Dayak di Kalimantan, Mentawai, dan Nusa Tenggara Timur. Tato di dalam masyarakat Dayak diperkirakan mendapat pengaruh dari budaya Cina, hal itu didasarkan pada keyakinan bahwa orang dayak merupakan keturunan atau memiliki asal usul dari orang Yunan Cina Selatan. Tato bagi masyarakat Dayak tradisional memiliki fungsi dan makna yang sangat sakral, karena pembuatan tato selalu dihubungkan dengan berbagai aspek kebudayaan, diantaranya yaitu peribadatan dan
pengayauan. Seperti yang dituliskan oleh Olong:
Tato pada masyarakat prasejarah terdapat di daerah Inggris, yakni masyarakat Picts dan Breton yang menato tubuh mereka dengan berbagai bagan dan warna. Tato pada waktu itu mempunyai peran signifikan dalam kehidupan. Bahkan nama Picts secara literer merupakan akar kata dari menggores, sedangkan nama Briton berarti melukis dengan beberapa warna.[2]
            Tato bagi masyarakat Dayak merupakan simbol ikatan pertalian yang tak terpisahkan hingga ajal menjemput. Disebutkan bahwa tato merupakan unsur yang dapat menyelamatkan manusia ketika seseorang meninggal,beruwa (jiwa) akan melayang berjalan menuju surga tempat nenek moyang mereka tinggal. Dalam kehidupan sosial tato bagi masyarakat Dayak juga memiliki fungsi dan makna yang sangat kuat dalam tatanan kehidupan sosial, seperti tato yang dikenakan oleh seorang prajurit yang dianggap sudah pernah memenggal kepala musuhnya, akan dikenali lewat tanda tato pada tubuhnya berupa garis–garis yang halus dan tajam pada kedua tangannya. Tato bagi masyarakat Dayak tradisional masih memiliki banyak fungsi dan makna yang bersifat tradisi dan turun temurun. Di Mentawai tato juga memiliki fungsi dan makna yang hampir sama dengan tato  di Dayak, yaitu dikaitkan dengan kepercayaan, sebagai identitas dalam tatanan sosial berupa keanggotaan dari suku tertentu. Fungsi lain tato Mentawai yaitu sebagai simbol kemahiran atau ketrampilan secara skill dari seseorang, misalnya tato gambar binatang biasa dikenakan oleh seseorang yang ahli berburu binatang. Tato juga berfungsi sebagai hiasan, biasanya dalam hal ini pemilihan objek dan penempatannya menyesuaikan dengan selera pengguna, pada perempuan tato biasanya menambah kesan cantik dan pada pria memberikan kesan gagah.
Di dalam perkembangannya tato mengalami proses adaptasi, menyesuaikan dengan paradigma yang berkembang pada masyarakat modern. tidak lagi bersifat tradisional yang identik dengan tradisi ritual dan identitas kedaerahan, tetapi berfungsi sebagai media ekspresi yang membawa nilai – nilai perlawanan, pencarian identitas, untuk kesenangan atau kenyamanan bagi penggunanya. Tato saat ini berkembang seiring dengan perkembangan tren gaya hidup, di mana tato dapat merepresentasikan nilai – nilai keseksian, keberanian, kejantanan, dan kepercayaan diri. Di kalangan anak muda urban, tato dianggap sebagai bagian dari atribut yang dapat menunjang penampilan dan gaya hidup serta mencerminkan jati diri mereka.Era postmodern sering juga disebut sebagai era kapitalis lanjut, maka tak diragukan lagi jika postmodern erat kaitannya dengan bidang konsumsi. Di dalam pasca modern ini bidang konsumsi yang dalam hal ini adalah apa yang kita beli dan apa yang menentukan apa yang kita beli, semakin dipengaruhi oleh budaya popular. Budaya poluler yang dimaksud di atas adalah budaya yang menjadi latar belakang alasan mengapa anak–anak muda memutuskan menato dirinya, yaitu sebagai bentuk mencari kesenangan, membangun kepercayaan diri, dan sebagai bagian dari atribut penampilan mereka.

BAB II
BAHAYA PEMAKAIAN TATO
Memasang tato dan tindik dapat memberikan efek pada tubuh, salah satunya adalah infeksi. Infeksi terjadi jika terdapat luka pada lokasi tato ataupun tindik. Infeksi pada kulit akibat dua aktifitas ini biasanya terjadi pada permukaan kulit tempat lokasi tato atau tindik dilakukan. Infeksi yang terjadi biasanya berupa munculnya cairan jernih ataupun kuning terang hingga berwarna kuning gelap, coklat ataupun merah serta mengeluarkan bentuk dan bau seperti nanah sebagaimana yang dikatakan dalam situs www.thecrowdvoice.com yang mengatakan:
Bakteri masuk kedalam kulit melalui tinta, hingga menyebabkan ruam. Menjumpai orang dengan tubuh yang dihiasi seni rajah atau tato mungkin bukan hal yang aneh lagi sekarang. Selain sebagai salah satu bentuk ekspresi seni, sebagian orang juga merasa keren saat tubuhnya berhias tato. Rupa-rupa warna pada tato ternyata menyimpan bahaya tersembunyi. Berdasarkan studi di beberapa negara bagian Amerika, tinta yang digunakan dalam tato menjadi sarang yang nyaman bagi bakteri. Bahkan berkembang biak. Hal ini diduga karena penggunaan air yang tidak steril dalam pembuatan tato, yang kemudian mencemari tinta. Menurut laman Live Science, tercatat 22 infeksi kulit yang terjadi akibat tato di negara bagian New York, Colorado, Washington, dan Iowa. Bakteri yang ditemukan dalam kasus di New York adalah Mycobacterium chelonae, bakteri yang masih terkait dengan penyebab tuberkulosis dan kusta. Bakteri ini kerap ditemukan pada air keran. Setelah masuk ke kulit lewat jarum tato, bakteri ini akan menyebabkan ruam yang tidak akan hilang selama berbulan-bulan, meski tidak terlalu berbahaya bagi kekebalan tubuh. Untuk menghilangkannya, dibutuhkan antibiotik dosis tinggi atau bahkan operasi. Jika tetap ingin merajah tubuh tanpa khawatir tertular bakteri, calon konsumen disarankan memilih parlor tato yang sudah terdaftar. Merek adapat menjamin kesterilan alat-alat yang digunakan. Jika Anda merasakan adanya  infeksi yang muncul setelah  membuat tato, jangan menunda untuk mencari pertolongan medis.[3]
Jika dilihat dari sisi kesehatan tato juga memiliki efek yang negatif jika cara
pembuatannya tidak profesional. Efek samping yang bisa muncul dari pembuatan
tato adalah adanya risiko infeksi seperti penggunaan jarum yang tidak steril atau
kandungan zat-zat berbahaya dari tinta yang dipakai. Seperti yang di beritakan di
detikhealth.com :
“Jika tidak benar-benar steril, seni merajah kulit alias tato bisa menularkan
berbagai jenis infeksi seperti HIV/AIDS dan Hepatitis C. Departemen
Kesehatan Australia mengungkapkan seorang warga Australia terinfeksi
HIV setelah membuat tato di Bali. Turis tersebut diketahui terkena positif
virus Human Immunodeficiency Virus (HIV) setelah pulang ke negaranya
dan melakukan tes darah.Departemen Kesehatan Australia tidak
memberikan detil identitas orang tersebut. Namun, menjelaskan hal ini
belum pernah terjadi sebelumnya. Demikian ditulis abc.net.au, Sabtu
(24/12/2011)[4]
Prof Helen Suh MacIntosh, pakar kesehatan lingkungan dari Harvard University mengatakanbeberapa penyakit yang bisa ditimbulkan dari proses tato yang tidak steril adalah:
 Infeksi HIV AIDS,  Hepatitis B atau C, TBC, Mycobacterium, Sifilis, Malaria, Lepra.[5]
Berdasarkan pernyataan di atas tentunya bagi orang yang ingin memakai tato memperhatikan dan mempertimbangkan dengan baik sebab akibatnya bisa membunuh tubuh.  


BAB III
BOLEHKAH ORANG KRISTEN BERTATO
Tato merupakan tren yang sedang digemari dikalangan kaum muda pada saat ini. Tren ini tidak hanya masuk dikalangan bawah tetapi kalangan menengah ke atas, pria maupun wanita, dari para dokter hingga pengacara, artis-artis dan tidak terkecuali kaum muda Kristen. Menurut sejarah tattoo selalu dihubungkan dengan ritual yang mengerikan dan mengeluarkan darah yang dipergunakan dalam ritual agama untuk menyelaraskan jiwa manusia dengan kekuatan gaib agar jiwa tersebut dapat masuk ke alam baka dengan tenang. Arti-arti spiritual yang tersembunyi dalam tattoo antara lain adalah lambang perbudakan yang dipakai oleh bangsa Yunani dan Roma kepada para budak mereka, sebagai simbol arwah-arwah leluhur, sebagai tanda pengenal sekte-sekte tertentu dan simbol dalam ritual-ritual sex, lambang untuk mengambil bagian dalam pesta narkoba, dan hal-hal yang berhubungan dengan pemberontakan, mistik, kanibalisme, dan penyembahan terhadap setan.
Ada tiga kriteria yang menjadi tolok ukur sehingga suatu perbuatan dianggap sebagai tindakan yang menyimpang. Pertama, perbuatan tersebut dianggap sebagai perilaku yang buruk, menjijikkan atau suatu penampilan yang tidak biasa sehingga tidak pantas dalam masyarakat. Dengan kata lain perbuatan tersebut dianggap sebagai sesuatu yang mengancam dan membahayakan lingkungan masyarakat. Kedua, perbuatan buruk dipahami dapat menyesatkan orang lain. Ketiga, penyimpangan sosial selalu dikaitkan dengan perilaku, pikiran dan penampilan yang buruk. Akibatnya orang yang berbuat buruk mendapat reaksi negatif dari masyarakat.[6]
Berdasarkan pandangan tersebut, maka tidaklah mengherankan jika tato dianggap sebagai perbuatan yang menyimpang, karena dianggap sebagai perbuatan buruk yang tidak biasa dalam lingkungan masyarakat tertentu, yang dapat membahayakan bahkan menyesatkan menyesatkan orang. Secara teologis. pun pemahaman tersebut tidak jauh berbeda. Tato secara teologis dipandang sebagai perbuatan yang menodai atau merusak karya Allah



A.    Pandangan Alkitab tentang Tato
Selama ini banyak orang memahami bahwa tato adalah “boleh-boleh saja” namun Alkitab menjelaskan dengan jelas bahwa tato dilarang Firman Tuhan. Ada beberapa alasan mengapa orang Kristen tidak boleh memakai tato:
1.      Tato sebuah tanda karena Orang yang dikasihi Mati
Menarik sekali, Hukum Musa melarang umat Allah untuk mentato diri. Imamat 19:28 mengatakan, ”Jangan membuat torehan-torehan pada tubuhmu untuk jiwa yang sudah mati, dan jangan membuat tanda tato pada dirimu. Akulah Yehuwa.” Para penyembah kafir, seperti orang-orang Mesir, mentato nama atau simbol dewa mereka di dada atau lengan mereka. Dengan menaati larangan Yehuwa dalam membuat tanda tato, orang Israel secara mencolok berbeda dari bangsa-bangsa lain.—Ulangan 14:1, 2.
Perjanjian Lama memerintahkan orang-orang Israel, Imamat 19:28 Janganlah kamu menggoresi tubuhmu karena orang mati dan janganlah merajah tanda-tanda pada kulitmu; Akulah TUHAN. Dalam terjemahan Leveticus 19:28 Ye shall not make any cuttings in your flesh for the dead, nor print any marks upon you: I am the LORD. (KJV). Kata kunci:menggoresi tubuhmu karena orang mati (cuttings in your flesh for the dead). Jika kita mendefinisikan tattoo sebagai tanda- tanda yang dirajah di kulit, maka sesungguhnya berdasarkan ayat ini, sepertinya dilarang oleh Tuhan. Memang konteksnya pada jaman PL dulu, membuat tattoo di tubuh adalah kebiasaan bangsa- bangsa kafir, sehingga Allah melarang orang Israel untuk mengikuti kebiasaan tersebut. Sekarang ini nampaknya tattoo tidak lagi berkonotasi sebagai kebiasaan bangsa kafir, karena tattoo ini malah sekarang dikomersialkan dalam dunia secular. Tattoo adalah tanda orang mati atau tanda bahwa orang tersebut menjadi bagian dari kematian.
Orang kafir jaman dulu, menorah-noreh dirinya dengan pisau berkaitan dengan pemanggilan arwah orang mati yang berakar dari sihir dan pemujaan berhala. Tentunya sekarang peralatan tidak dengan pisau dan tidak berdarah-darah. Tapi pada intinya, rajah (tattoo) berakar dari pemujaan berhala. Jauhi hal ini karena hanya akan menimbulkan murka Allah. Allah sangat membenci unsur-unsur pemujaan berhala bahkan sampai saat ini.


2.      Tubuh merupakan Bait Allah
Tubuh adalah bait Allah karena itu harus dijaga dengan baik, tidak boleh dinodai bahkan merusaknya. I Korintus 6:19-20: “Atau tidak tahukah kamu, bahwa tubuhmu adalah bait Roh Kudus yang diam di dalam kamu, Roh Kudus yang kamu peroleh dari Allah, dan bahwa kamu bukan milik kamu sendiri? Sebab kamu telah dibeli dan harganya telah lunas dibayar. Karena itu muliakanlah Allah dengan tubuhmu”.Tato dianggap sebagai perbuatan yang merusak tubuh, karena itu orang yang bertato dapat disamakan dengan orang yang tidak menghargai atau tidak taat lagi terhadap Allah. Hal ini dikarenakan pada umumnya anak muda yang bertato jarang sekali ikut dalam persekutuan dengan jemaat dan kurang terlibat dalam kegiatan-kegiatan gereja.:
3.      Tubuh adalah Gambar rupa Allah
Kitab Kejadian menjelaskan bawa keberadaan manusia itu diciptakan Allah serupa segambar dengan Allah.“  Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka.” Kata “gambar Allah” dalam teks aslinya memakai bahasa selem yang artinya “patung; gambar; salinan” sedangkan kata rupa sama dengan gambar, tetapi mencakup tambahan makna: “demut, rupa; bentuk; figure;format; pola. Kata kerja rupa adalah damah  yaitu menjadi sama, yaitu keserupaan dalam moral dan sosial.[7]
4.      Tubuh adalah Buatan Tangan Allah
Keberadaan manusia adalah buatan Allah seagaimana kitab Efesus mengatakan: “Karena kita ini buatan Allah, diciptakan dalam Kristus Yesus untuk melakukan pekerjaan baik, yang dipersiapkan Allah sebelumnya. Ia mau supaya kita hidup didalamnya. (Efesus 2:10).  Kata” buatan Allah” adalah berbicara mengenai “keistimewaan” sebagai mahluk yang mulia yang telah di tebus oleh darah Yesus Kristus melalui kematian dan kebangkitan-Nya, dan sekarang menjadi manusia baru yang mempunyai pengharapan keselamatan pasti di dalam Yesus. Jadi nilai kehidupan manusia itu sangat berarti dan berharga ketika hidup di dalam Yesus Kristus.  Hal itulah yang membuat bahwa manusia itu sangat “berarti” dihadapan Tuhan jadi tidak usah lagi di poles-polesh sebab sudah sempurna  sebab Tuhan sendiri menciptakannya.Sebab kalau digoresi berarti sedang tidak setuju dengan karya Tuhan.



BAB IV
KESIMPULAN
Setelah penulis menyusun makalah ini, dapat ditarik kesimpulan bahwa orang Kristen dilarang memakai tato dengan alasan secara etika bahwa tato adalah mengotori tubuh dan merusak tubuh, secara kesehatan dapat mengganggu kesehatan bahkan sampai kepada pembunuhan tubuh, dan yang ketiga, bahwa Alkitab melarang bahwa tato adalah tanda orang mati, tato adalah penyembahan berhala.
Alasan kuat mengapa orang Kristen tidak boleh memakai tato, karena tubuh ini adalah bait Allah, diciptakan Allah serupa segambar dengan Allah, buatan tangan Allah sendiri. Jadi tidak perlu lagi ditambah-tambahi sebab sudah sempurna diciptakan Tuhan. Dan kalau orang Kristen memperbolehkan tato berarti sedang tidak sepaham bahwa manusia diciptakan serupa segambar dengan Allah. Maka dari itu tato adalah dilarang di agama Kristen.












Masih ada jalan keluar