SEKTE-SEKTE YAHUDI DALAM ERA PERJANJIAN
BARU
Pendahuluan.
Pada waktu Yesus lahir,
orang-orang Yahudi telah terbagi dalam tiga faksi utama: Farisi, Saduki, dan
Eseni. Di dalam setiap faksi itu terdapat kelompok-kelompok kecil orang Yahudi
yang bersatu dengan landasan ajaran-ajaran seorang rabi tertentu atau
kelompoknya. Jadi selagi membicarakan ketiga faksi besar dalam agama Yahudi
Perjanjian Baru itu, kita juga perlu mengingat bahwa dalam kelompok-kelompok
kecil itu orang-orang Yahudi memiliki pandangan yang beraneka ragam.
A.
Orang-Orang Farisi: Para Ahli Taurat
Sekte Farisi adalah sekte
yang paling banyak pengikutnya dalam masa Perjanjian Baru. Nama mereka diambil
dari kata kerja parash, yang berarti
memisahkan. Mereka adalah kelompok yang memisahkan diri, atau kaum puritan
Yudaisme, yang menghindari segala hubungan dengan kejahatan dan berusaha
menaati hukum lisan maupun tulisan secara mutlak sampai kepada hal yang
sekecil- kecilnya (Merril C. Tenney, Malang: Penerbit Gandum Mas, 2006). Orang-orang Farisi muncul
dari kalangan kaum Hasidim pada masa Yohanes Hirkanus. Orang-orang Farisi ini adalah
ahli-ahli tafsir tradisi mulut ke mulut yang berasal dari para rabi. Pada
umumnya mereka berasal dari kalangan menengah, yakni para tukang dan kaum
pedagang (contoh, Paulus adalah pembuat tenda). Mereka mempunyai pengaruh yang
sangat besar di antara para petani. Yosefus mengamati bahwa pada saat
orang-orang Yahudi harus mengambil suatu keputusan yang sangat penting, mereka
lebih bersandar pada pendapat orang- orang Farisi ketimbang pada raja ataupun
imam besar (Antiquities, Bk. XII, Psl. x Bgn. 5). Karena rakyat sangat
mempercayai mereka, orang Farisi diangkat untuk menduduki jabatan jabatan
penting dalam pemerintahan, termasuk untuk duduk dalam Sanhedrin (Senat).
Menurut perkiraan Yosefus, dalam zaman Tuhan Yesus, di tanah Palestina hanya
ada sekitar 6.000 orang Farisi; karena itu mereka sangat memerlukan dukungan
rakyat banyak. Kemungkinan itulah sebabnya mereka sangat gentar melihat
kemampuan Yesus mengumpulkan orang banyak di sekitar- Nya.
Para Farisi mengajarkan bahwa orang yang benar akan mengalami kebangkitan
sesudah kematian (Kisah 23:8), sedangkan orang durhaka akan menerima hukuman
yang kekal. Tidak banyak kelompok Yahudi yang menerima ajaran itu. Sebaliknya
banyak yang mendukung pendapat Yunani dan Persia bahwa setelah mati jiwa dan
tubuh berpisah untuk selama-lamanya. Mereka menjalankan kewajiban doa dan puasa
dan membayar persepuluhan dari harta mereka dengan sangat teliti (Mat 23:23;
Lukas 11:42). Mereka memelihara hukum Sabat dengan sangat ketat, hingga memetik
bulir gandum sambil berjalanpun mereka tidak perkenankan (Matius 12:1, 2).
Kemungkinan faktor itu juga yang menyebabkan banyak orang datang pada
Yesus. Yesus adalah seorang tukang kayu miskin, namun ia sangat ahli dalam
menjelaskan hukum Taurat (Matius 7:28, 29); selain itu, Ia juga mengajarkan
tentang kebangkitan dan kehidupan sesudah kematian (Lukas 14:14; Yohanes
11:25). Pengajaran Yesus mengenai adat istiadat manusia (Markus 7:1-9), penghormatan
kepada orang tua (Markus 7:10-13), dan soal memelihara Sabat (Matius 12:2432),
cocok dengan pengajaran orang-orang Farisi. Yesus juga sering berbicara
mengenai malaikat-malaikat, setan-setan, dan berbagai macam roh seperti yang
digambarkan dalam mistik Yahudi. Ini menarik minat orang banyak.
B.
Orang-Orang Saduki: Para Penjaga Taurat.
Setelah wangsa Makabeus berhasil
memaksa Siria untuk angkat kaki dari bumi Palestina, orang-orang Yahudi Helenis
tidak berani lagi menunjukkan diri mereka. Bagi para sarjana Yahudi, menyokong
pemikiran-pemikiran Yunani sudah menjadi tidak aman. Namun kaum intelektual
Yahudi ini tetap menerapkan jalan pemikiran mereka terhadap berbagai masalah
pada masa itu dan mereka membentuk suatu sekte Yahudi baru yang dikenal sebagai Saduki.
Dari mana asalnya nama itu tidak lagi diketahui dengan pasti. Banyak ahli
bahasa Ibrani yang menganggap kata itu diambil dari kata saddig ("benar"),
atau kemungkinan juga berasal dari nama imam Zadok, karena orang-orang Saduki
terkait erat dengan keimaman di Bait Allah.
Orang-orang Saduki menolak tradisi para rabi yang diturunkan dari mulut ke
mulut itu. Mereka hanya menerima Taurat Musa yang tertulis, dan setiap
pengajaran lain yang tidak didasarkan pada Firman Tuhan yang tertulis, mereka
tolak dengan keras (Yosefus, Antiquities, Bk. XIII, Psl. x, Bgn.
6). Mereka melihat bahwa pengajaran Farisi terlalu banyak mendapat pengaruh
dari Persia dan Asyur, dan menganggap orang-orang Farisi sebagai
penghianat-penghianat terhadap tradisi Yahudi. Mereka menolak ajaran
orang-orang Farisi mengenai malaikat-malaikat, setan-setan, dan kebangkitan
setelah kematian (Matius 22:23-32; Kisah 23:8). Jadi mereka menentang Yesus
ketika dalam hal itu Yesus sependapat dengan para Farisi (Matius 22:31-32).
Orang-orang Saduki mengambil pendapat seorang filsuf Yunani, Epikurus, yang
mengatakan bahwa jiwa seseorang ikut mati juga ketika tubuhnya mati
(Yosefus, Antiquities, B. XIII, Psl. ii, Bgn. 4). Mereka
mengajarkan bahwa tiap orang menentukan nasibnya sendiri.
Orang-orang Saduki gemar berdebat tentang soal-soal teologi dan
filsafat-bukti lain dari minat Yunani yang telah menjadi bagian mereka. Ide-ide
canggih mereka tidak menarik untuk banyak orang, karena itu dalam bidang
politik mereka terpaksa bergandengan tangan dengan orang-orang Farisi.
Sebetulnya, seandainya tidak terjadi perubahan yang aneh dalam politik Yahudi,
pastilah orang-orang Saduki sudah tenggelam sebelum masa Perjanjian Baru.
Orang-orang Farisi menentang keputusan Yohanes Hirkanus untuk menjadi imam
besar, karena mereka mendengar bahwa dalam masa teror pemerintahan Antiokhus
IV, ibu Hirkanus telah diperkosa. Hirkanus membuktikan bahwa cerita itu bohong,
tetapi pengadilan Farisi hanya menjatuhkan hukuman beberapa kali pukulan saja
bagi si pembuat cerita itu. Hal ini membuat Hirkanus marah besar dan ia
memberikan sokongannya kepada orang-orang Saduki.
Anak Hirkanus, Aleksander Yaneus (tahun 104-78 SM), belajar di bawah asuhan
para dosen Yunani di Roma. Ia sangat tertarik dengan pemikiran-pemikiran
Yunani, dan secara diam-diam menyokong orang-orang Saduki yang intelektual itu.
Yosefus mencatat bahwa suatu ketika Yaneus menjadi mabuk pada hari raya Pondok
Daun, dan menuangkan air persembahan ke kakinya, bukan ke atas mezbah. (Mungkin
ini adalah cara Yaneus untuk mengejek orang-orang Farisi, yang menuangkan air
ke atas mezbah bila sedang mengharapkan turunnya hujan.) Pemberontakan pun
terjadi. Tentara-tentara Yaneus memulihkan keadaan, tetapi mereka baru berhasil
setelah jatuh korban sebanyak 6.000 orang (Yosefus, Antiquities,
Bk. XIII, Psl. v, Bgn. 13). Orang-orang Farisi mengadakan perang saudara yang
sengit dengan Yaneus (tahun 94-88 SM), yang berakhir dengan disalibkannya para
pemimpin Farisi bersama 800 pengikut mereka.
Istri Hirkanus, Salome, lebih bertoleransi terhadap orang-orang Farisi
ketika ia memegang pemerintahan (tahun 78-69 SM). Namun orang-orang Farisi
maupun Saduki tidak pernah melupakan episode berdarah itu.
C.
Orang-Orang Eseni: Para Pemegang Kebenaran Radikal
Orang-orang Eseni juga muncul dari gerakan saleh yang dikenal sebagai Hasidim.
Yosefus menginformasikan tentang adanya dua kelompok Eseni. sedangkan Uskup
Hippolytus yang hidup pada abad ke-3 mengatakan ada empat kelompok Eseni (lihat
karyanya, Refutation of All Heresies). Mungkin saja jumlahnya lebih
dari itu.
Nama Eseni berasal dari bahasa Ibrani yang berarti "saleh" atau
"suci". Walaupun mereka dinamakan demikian oleh orang-orang Yahudi
yang lain, orang-orang Eseni sendiri kemungkinan menolak julukan itu. Mereka tidak
memandang diri mereka suci atau saleh; tetapi mereka menganggap diri mereka
sebagai para penjaga kebenaran-kebenaran yang misterius, yang akan menguasai
kehidupan Israel bila kelak Mesias datang.
Secara teologis kaum Eseni menyerupai kaum Farisi dalam hal ketaatan mereka
pada hukum dan keyakinan supernaturalisasinya. Mereka mengajarkan bahwa jiwa
manusia tidak dapat disentuh dan tidak mati, tetapi terbelenggu dalam jiwa yang
fana. Pada waktu kematian, orang yang baik akan berpindah ke suatu negeri yang
penuh sinar matahari dan berangin sejuk, sedangkan jiwa- jiwa orang jahat
dikirim ke suatu tempat yang gelap penuh badai dan siksaan yang tak pernah
berakhir (Merril C. Tenney, Malang:
Penerbit Gandum Mas, 2006). Akan
tetapi mereka lebih ekstrim dari orangFarisi dalam masalah ritual
dan ritual Sabat. Mereka menekankan perlunya mandi sebelummelaksanakan ritual
dan bangun pagi untuk berdoa. Mereka mengutamakan berdiam diri dalamwaktu yang
lama (The Standart Jewish Encyclopedia, 1966:640).
Banyak sarjana percaya bahwa naskah-naskah kaum Zadok yang ditemukan di
sinagoge di Kairo pada tahun 1896 ditulis oleh salah satu kelompok Eseni.
Naskah-naskah tersebut melukiskan pertempuran terakhir antara Baik dan Jahat,
yang akan mempersiapkan jalan bagi kedatangan Sang Mesias.
Orang-orang Eseni berencana untuk merahasiakan informasi-informasi seperti
itu sampai tiba waktu yang tepat. Kemungkinan mereka melihat diri mereka
sebagai maskilim, "orang-orang bijaksana" yang Daniel
katakan akan menuntun Israel dalam masa sengsara besar (Daniel 11:33; 12:9-10).
Orang-orang Eseni pada umumnya hidup secara berkelompok jauh di
daerah-daerah pedalaman gurun pasir. Sebagian lagi tinggal di suatu pemukiman
di Yerusalem dan di sana bahkan ada gerbang yang disebut Gerbang Eseni. Mereka mempraktikkan
berbagai upacara yang sangat rumit untuk menyucikan diri mereka, rohani maupun
jasmani. Tulisan-tulisan mereka (yaitu Gulungan Naskah Laut Mati yang pada
umumnya diakui para ahli sebagai tulisan-tulisan kaum Eseni) menunjukkan bahwa
mereka sangat ketat menghindarkan diri agar tidak tercemar oleh masyarakat di
sekitar mereka, dengan harapan bahwa Tuhan akan menghargai kesetiaan mereka
itu. Mereka menyebut pimpinan mereka sebagai Guru Kebenaran.
Gulungan Naskah Laut Mati tidak mengidentifikasi orang-orang dalam
masyarakat Qumran tempat gulungan naskah itu ditulis; namun Plinius, sejarawan
Romawi, mengatakan bahwa wilayah tersebut adalah markas sekte Eseni. Pada tahun
1947 seorang anak gembala Badui melemparkan sebuah batu ke dalam sebuah gua di
Khirbet Qumran (di pantai barat laut Laut Mati) dan mendengar suara tembikar
yang pecah. Anak gembala tersebut memasuki gua itu dan menemukan beberapa buah
guci berisi naskah-naskah kuno. Para sarjana kemudian mengenali naskah- naskah
temuan tersebut sebagai kitab Yesaya, tafsiran kitab Habakuk, dan beberapa
dokumen lainnya yang berisi ajaran-ajaran sekte Qumran. Akhirnya, mereka
berhasil menemukan sebelas gua yang di dalamnya terdapat gulungan naskah-naskah
kuno. Kecuali kitab Ester, seluruh kitab lainnya dari Perjanjian Lama terdapat
di antara naskah-naskah itu, baik secara lengkap ataupun sebagiannya. Sebagian
besar dari naskah-naskah itu merupakan salinan-salinan dari zaman wangsa
Makabeus. Penemuan itu telah merangsang minat para arkeolog terhadap puing-puing
Khirbet Qumran sendiri, tempat mereka menemukan sebuah ruangan besar yang
pernah digunakan untuk menyalin berbagai naskah.
Para sarjana masih memperdebatkan apakah benar penghuni Qumran adalah
orang-orang Eseni, karena beberapa bagian dari tulisan-tulisan mereka ada yang
bertentangan dengan ajaran-ajaran yang dikenal sebagai ajaran Eseni. Ada yang
percaya bahwa orang- orang Farisi yang melarikan diri dari amukan Yaneus (tahun
88 SM) telah datang dan menetap di Qumran. (Sebuah tafsiran kitab Nahum yang
ditemukan di Qumran nampak ada kaitannya dengan cara hidup orang-orang Farisi.)
Namun seandainya masyarakat Qumran hanyalah salah satu pecahan dari orang-orang
Eseni, itu akan merupakan penjelasan yang memuaskan tentang adanya
penyimpangan-penyimpangan yang kadang-kadang mereka lakukan terhadap
ajaran-ajaran Eseni yang utama.
D. Orang-Orang Zelot
Kaum Zelot bukanlah suatu sekte religius yang
segolongan dengan kaum Farisi dan eseni, mereka adalah suatu partai nasionalis
fanatik yang ingin membebaskan diri dari Roma dengan jalan kekerasan.
Akibat serbuan Pompeius ke tanah Palestina pada tahun 63 SM memupuskan
harapan orang-orang Yahudi untuk membangun kembali suatu pemerintahan sendiri.
Namun ada kelompok-kelompok yang tetap bersikeras bahwa orang-orang Yahudi
harus berhasil mengusir para penyerbu dari Romawi itu. Orang-Orang
"Zelot" ini berupaya membangkitkan pemberontakan di antara
orang-orang Yahudi.
Pemimpin Zelot yang paling dikenal adalah Yudas orang Galilea (Kisah 5:37).
Ketika Agustus memerintahkan untuk mengenakan pajak kepada "semua orang di
seluruh dunia" (Lukas 2:2), Yudas memimpin suatu pemberontakan yang
membawa malapetaka melawan pasukan Romawi. Yosefus berkata bahwa pemberontakan
ini adalah awal dari konflik-konflik Yahudi dengan Kerajaan Romawi yang
berakhir dengan penghancuran Bait Allah pada tahun 70 (Antiquities, Bk.
VIII, Psl. viii).
Yudas dan pengikut-pengikutnya membenci setiap kekuatan asing yang
menguasai pemerintahan di negeri mereka. Kemungkinan jalan pikiran mereka yang
mendorong seorang Farisi untuk bertanya kepada Yesus, "Apakah
diperbolehkan membayar pajak kepada Kaisar atau tidak?" (Markus 12:14).
Pada masa Feliks menjadi prokurator atas Yudea (tahun 52-60), orang-orang
Zelot membentuk suatu kelompok radikal yang terkenal dengan nama Sicarii ("manusia
belati"). Pada waktu diadakan upacara-upacara perayaan, para Sicarii
disebarkan ke tengah massa. Di sana mereka membunuh para simpatisan Roma dengan
belati yang diselipkan di balik baju mereka. Dalam masa perang dengan Roma
(tahun 66-70), para Sicarii menyelamatkan diri ke benteng tua
Yahudi di Masada, dan membuat benteng itu sebagai markas besar mereka. Dua
tahun setelah jatuhnya Yerusalem, satu legiun Romawi mengadakan gempuran ke
Masada. Daripada mati di tangan orang bukan Yahudi, para Sicarii memilih
untuk bunuh diri beserta keluarga mereka-960 orang tewas dalam peristiwa itu.
E. Orang-Orang Herodian
Sebuah sekte Yahudi lagi yang muncul dalam era Romawi, yaitu sekte yang
dikenal dengan nama Herodian. Sekte ini adalah suatu partai politik yang
beranggotakan orang-orang Yahudi dari berbagai macam sekte keagamaan. Mereka
mendukung dinasti Herodes Agung; sebetulnya mereka tampaknya lebih suka otonomi
penuh penindasan oleh Herodes daripada pengawasan asing penguasa Romawi.
Orang-orang Herodian ini tiga kali disebut dalam Perjanjian Baru (Matius 22:16;
Markus 3:6; 12:13), namun tidak ada satu pun dari ayat-ayat itu yang memberi
kita gambaran yang jelas mengenai kepercayaan mereka.
Beberapa sarjana percaya bahwa orang-orang Herodian mengira Herodes adalah
Mesias. Namun pandangan tersebut tidak didukung oleh bukti yang kuat.
F. Orang-orang Samaria
Orang-orang Samaria adalah hasil perkawinan campuran antara orang-orang
Yahudi yang tetap tinggal di tanah Palestina dengan orang-orang Asyur yang
menaklukkan Israel dan menduduki Tanah Perjanjian itu. Jadi, keberadaan mereka
merupakan suatu pelanggaran terhadap Taurat Allah. Mereka beribadah kepada
Allah di Bukit Gerizim, di lokasi tempat mereka mempersembahkan binatang kurban
dan mendirikan tempat ibadah mereka sendiri. Orang-orang Samaria dipandang
rendah oleh orang-orang Yahudi yang kembali dari pembuangan. Mereka disebut
sebagai "orang bodoh yang tinggal di Sikhem" (Ekklesiastikus
50:25-26). Pada tahun 128 SM Yohanes Hirkanus menghancurkan tempat ibadah di
Bukit Gerizim itu. Sejak saat itu orang-orang Yahudi dan orang-orang Samaria
putus hubungan sama sekali (band. Yohanes 4:9).
Dalam hal-hal tertentu, Yesus juga mengambil jarak dengan orang-orang
Samaria. Ia menyuruh murid-murid-Nya agar tidak menyimpang ke tempat
orang-orang bukan Yahudi dan ke kota-kota orang Samaria (Matius 10:5-7). la
juga mencela kebiasaan orang-orang Samaria yang menyembah hanya di Bukit
Gerizim (Yohanes 4:19-24). Meskipun demikian Yesus mau berkunjung ke sebuah
desa di Samaria (Lukas 9:52), dan berbicara dengan seorang perempuan Samaria
(Yohanes 4:742). Bahkan perumpamaan-Nya tentang Orang Samaria yang Murah Hati
menunjukkan bahwa dalam pandangan-Nya, orang Samaria bisa jadi lebih setia
terhadap Taurat daripada orang Yahudi (Lukas 10:25-37). Ketika Yesus
menyembuhkan 10 orang kusta, hanya si pria Samaria yang datang mengucapkan
terima kasih kepada-Nya (Lukas 17:11-19). Dan ketika Yesus mengamanatkan
murid-murid-Nya untuk melaksanakan misi pemberitaan Injil, Ia secara khusus
mengutus mereka untuk pergi juga ke Samaria (Kisah 1:8).
G. Para Pengikut Yohanes Pembaptis
Yohanes Pembaptis, dilahirkan dari pasangan suami-istri lanjut usia
keturunan keluarga Imam Harun. Sebagian sarjana beranggapan bahwa setelah orang
tuanya meninggal, Yohanes Pembaptis pergi ke padang gurun dan hidup di antara
orang-orang Eseni (band. Lukas 1:80). Namun lebih besar kemungkinannya bahwa
orang tuanya yang telah membawa dia ke padang gurun untuk menghindari
pembantaian bayi-bayi yang dilakukan oleh Herodes (Matius 2:16). Bagaimanapun
juga, orang-orang Eseni tentu sudah mempengaruhi keluarga Yohanes Pembaptis.
Yohanes Pembaptis menyatakan bahwa Mesias segera akan muncul di Israel, dan
ia menyerukan agar orang Israel mempersiapkan diri untuk menyambut kedatangan
Sang Penebus itu. Ini menarik perhatian masyarakat umum yang kemudian datang
kepada Yohanes untuk dibaptis. Tetapi Herodes kuatir kalau-kalau kegiatan
Yohanes ini memberi inspirasi kepada masyarakat untuk mengadakan pemberontakan
(Yosefus, Antiquities, Bk. XVIII, Psl. v, Bgn. 2).
Pengajaran Yohanes sendiri rupanya bersifat revolusioner. Ia menganjurkan
murid-muridnya untuk saling berbagi pakaian dan makanan (Lukas 3: 11). Ia
mengutuk perkawinan Herodes dengan iparnya karena suami sang ipar, yaitu
saudara laki-laki Herodes sendiri, masih hidup. Ia tidak gentar menentang
keadaan politik Israel yang status quo. Akhirnya, Yohanes dipancung atas
perintah Herodes Antipas.
Banyak dari pengikut Yohanes yang beranggapan bahwa Yohanes adalah Sang
Mesias itu sendiri. Walaupun mereka pada hakikatnya tidak membentuk suatu sekte
tersendiri, pada masa Yesus gerakan mereka merupakan gerakan keagamaan yang
penting. Sekarang ini di Timur Dekat ada suatu kelompok kecil yang dikenal
sebagai orang-orang Mandea, yang menyatakan diri mereka sebagai keturunan dari
pengikut-pengikut Yohanes Pembaptis.
Daftar Pustaka
Ofm, Groenen.C, Pengantar
ke dalam Perjanjian baru, Penerbit Kanisius, 1984
Tenney, Merril. C. Survei Perjanjian
Baru, Penerbit: Gandum Mas, 2006.
Wikipedia. com