ddd

Jika Yesus Kristus adalah orang gila, stress berat, tidak mungkin ada pengikutnya. Jika Yesus Kristus seorang penipu tidak mungkin Dia mau disalib. Kesimpulannya adalah Yesus Kristus adalah Tuhan Allah yang datang ke dunia menjadi manusia

Minggu, 26 Oktober 2014

Bolehkah Bercerai....???




Bolehkah Kristen Bercerai...???

Berbicara mengenai perceraian memang bukan masalah baru dalam sejarah umat manusia.Apalagi dikalangan para selebiritis di Indonesia perceraian bukanlah sesuatu hal yang menyedihkan.Dan buktinya “terjadi kawin cerai” dan ternyata bukannya para selebritis dan tetangga sepupu, ternyata ada juga orang Kristen yang melakukan perceraian dengan pasangannya.Padahal sebenarnya mereka sudah mengerti pemahaman kebenaran Alkitab lewat pemberkatan dan janji yang telah diucapkan berdua ketika dalam acara perberkatan di gereja namun masih ada saja yang melakukan cerai.Dan masalah ini perlu diselediki mengapa terjadi perceraian?
Terjadinya Perceraian
Pada umumnya memang terjadinya perceraian disebabkan perselingkuhan namun tidak dipungkiri bahwa perceraian bisa ditimbulkan karena banyak factor seperti perbedaan iman, perbedaaan pendapat, tidak saling mengerti, kurang komunikasi, kurang menikmati hubungan imtim, masalah uang, masalah mertua, anak dan lain sebagainya.
Budaya  Israel
Di Israel Kuno, suami muda menceraikan istri meski harus ada alas an. Jika janda itu menikah dengan pria lain, suaminya yang telah menceraikannya tidak bisa menikahinya kembali, sekalipun suami keduanya sudah meninggal. Mungkin ini dimaksudkan agar laki-laki tidak tergesa-gesa menulis surat cerai. Melanggar hukum ini bisa mendatangkan dosa atas negeri.Ternayata bahwa perceraian terjadi memang karena sebuah kebiasaan atau budaya kaum Semit yang telah Baheula.Yang dimana kebiasaan ini ketika si istri kedapatan melakukan kemesuman atau ketidaksenonohan maka si istri dapat diceraikan.
Mazhab Hille; menafsirkan sebagai ketidaksenonohan dalam arti luas, termasuk bahwa si sitri dapat diceraikan karena sebab-sebab di luar kemesuman. Sekalipun persekutuan perkawinan adalah kudus dan tidak dapat diganggugugat, namun perkawinan itu dapat di akhiri dengan syarat-syarat tertentu.  Dalam tradisi Yahudi, laki-laki dan perempuan dianggap sudah menikah walaupun mereka masih “bertunangan.”Percabulan dalam masa “pertunangan” ini dapat merupakan satu-satunya alasan untuk bercerai.Ibid, halamam.332.
Terjemahan versi New American Standar Bible ac'm' .. Kata ini memakai kata benda, tunggal, orang ketiga maskulin, yang artinya didapati;kedapatan. Berarti dapat disimpulkan bahwa kata tidak senonoh disini adalah bisa diartikan ditemuinya si istri melakukan hubungan intim (sex) “sesuatu yang memalukan”
Alasan dibuat Surat Cerai
Kitab Ulangan 17:7, dan Imamat 20:10 menjelaskan bagaimana orang yang kedapatan yang berzinah dihukum mati atau dirajam dengan batu sesuai dengan hukum Kitab Musa.  Bagi yang melakukan perzinahan tidak ada “tawar menawar” atau kata “ampun” tidak ada belas kasihan, tidak ada diberi kesempatan.  Berarti bisa ditarik benang merah bahwa orang-orang yang melakukan perzinahan dalam Kitab Perjanjian Lama begitu banyak yang mati tanpa ada diberi kesempatan untuk bertobat.
Tujuan Surat Perceraian
Tujuan Surat cerai dalam Perjanjian Lama tentulah merupakan suatu perlindungan untuk wanita dalam pernikahan. Membuat suatu surat atau sertifikat pada masa dulu merupakan pekerjaan yang memakan banyak waktu. Jadi kalau seorang suami harus membuat surat cerai, maka perceraian itu tidak mungkin diadakan dalam emosi sesaat. Apalagi kemudian surat cerai itu dapat dijadikan tanda identitas atau sebagai suatu status yang jelas kepada wanita itu.
Perceraian Menurut Hukum Musa
Menurut hukum Taurat untuk menceraikan istri, seorang suami harus membuat surat cerai yang resmi. Ini dimaksudkan agar para suami tidak mudah menceraikan istri mereka.Sebelum aturan ini ada, para istri dapat diusir begitu saja dan tidak lagi dianggap sebagai istri.Dan hukum taurat tidak mengizinkan para istri menceraikan suami mereka.Ketetapan Musa tentang perceraian bukanlah suatu pembenaran terhadap perceraian, tapi suatu kelonggaran atau konsesi karena ketegaran hati Israel.Musa sendiri tidak menyetujui perceraian.Ia mengajarkan pernikahan yang permanen, seperti yang tertulis dalam Kitab Kejadian. Namun, umat belum siap untuk menerima dan memenuhi tuntutan tersebut.Kenajisan, dimana terjadi melalui pernikahan yang kedua, berdasarkan konsep pernikahan ibrani.Seperti yang dinyatakan sebelumnya, pernikahan menjadikan seorang laki-laki dan seoarang perempuan menjadi satu daging dan seorang perempuan menjadi satu dengan seorang laki-laki selain itu dia sudah menjadi satu daging dengan suaminya, bahwan setelah perceraian adalah kenajisan.
ž  Jesus Pronounces it adultery in his day (Luke 16:18)
Mencegah Perceraian yang terburu-buru
Surat perceraian di izinkan oleh musa supaya tidak tergesa-gesa dan terburu-buru menceraikannya tentu di dalam pengambilan keputusan perlu ada saksi dan fakta yang perlu ditunjukkan. Dan di dalam waktu pembuktian fakta ini akan member kesempatan untuk memperbaiki hubungan yang retak dan juga kepedulian yang menyeluruh untuk mencegah sesuatu yang mencurigakan sebagaimana dikatakan oleh Driver:
Melindungi Para Istri dari Hukuman Rajam Batu
Surat perceraian ini sebagai bentuk tindakan berprikemanusiaan untuk melindungi perempuan yang bercerai dalam perkara dengan suami pertamanya yang ingin memeras sebagai balas dendam dengan mendakwa dia berzinah dengan suami keduanya.
Jadi ternyata bahwa surat cerai ini dibuat untuk melindungi dan membuktikan bahwa dia tidak melakukan perzinahan dengan suami pertamanya. Karena kalau ketahuan atau kedapatan si istri melakukan perzinahan tentu menurut hokum Musa bahwa orang yang melakukan perzinahan akan dirajam dengan batu sampai mati (Imamat.20:10). Hukuman mati ini menunjukkan bahwa perzinahan atau perselingkuhan merupakan pelanggaran prinsip moral karena merusak ikatan pernikahan yang telah dirancang Allah Tigay, Deuteronomy, 222; Cairns, Word and Presence, 210
Hukum Taurat Melarang Perceraian
Hukum Musa tak pernah mendorong, melarang atau menyetujui perceraian dalam Ulangan 24:1-4. Sebaliknya, hukum itu hanya menggariskan tata cara tertentu jika dan tatkala perceraian terjadi secara tragis. Ada satu ayat dalam Perjanjian Lama yang menyatakan bahwa Allah membenci perceraian: Musa memang mengizinkan perceraian di dalam Perjanjian Lama karena  memang kekerasan hati bangsa Israel (Matius 19:8; 5:31). Dengan kata lain, Alkitab tidak pernah berkompromi atau mendukung perceraian karena sejak semula perceraian bukanlah rencana Allah. Salah satu referensi adalah di Maleakhi 2:14-16 Sebab Aku membenci perceraian, firman TUHAN, Allah Israel -- juga orang yang menutupi pakaiannya dengan kekerasan, firman TUHAN semesta alam. Maka jagalah dirimu dan janganlah berkhianat.Bahkan kitab Kejadian berbicara secara implicit bahwa istri yang disediakan Allah bagi Adam adalah penolong yang sepadan dengan dia,
Perceraian Menurut Kitab Injil
Tuhan Yesus sebenarnya tidak mempermasalahkan Musa, namun Ia mempermasalahkan orang-orang Israel yang tegar hati. Oleh sebab ketegaran hati orang israel, maka Musa mengatur surat cerai, supaya nantinya jangan ada kekacauan secara penuh, misalnya janganlah seorang istri diusir dengan begitu saja oleh seorang suami. Ketentuan ini dimaksudkan untuk mempersulit para suami menceraikan istrinya.Karena sebelum hokum ini dibuat, para suami sesukanya mengusir istrinya begitu saja dan menganggapnya bukan istrinya lagi. Bagi Yesus. Perkawinan merupakan hal yang penting dan untuk menegaskan hal itu, Ia mengutip kisah penciptaan dari Kitab Kejadian.
Yesus Kristus Melarang Perceraian
Tuhan Yesus menegaskan bahwa ketetapan Musa tentang perceraian tersebut bukanlah bagian dari rancangan asali Allah tentang pernikahan."Sejak semula tidaklah demikian”. Tuhan Yesus tetap mempertahankan bahwa maksud Allah sejak semula di dalam Kitab Kejadian supaya menjaga hubungan dalam nikah berjalan terus seperti yang diuraikan-Nya pada ayat ini: Matius 19:4-6 Jawab Yesus: "Tidakkah kamu baca, bahwa Ia yang menciptakan manusia sejak semula menjadikan mereka laki-laki dan perempuan? Dan firman-Nya: Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia."
Ø  Yesus Mengampuni orang Yang Berzinah
Ø  Yesus Kristus Memberi Kesempatan Untuk berubah

KESIMPULAN
  
Dapat disimpulkan bahwa sebenarnya Musa tidak mengizinkan perceraian, dengan alasan bahwaYesus sendiri berkata di dalam Matius 19:9  “tetapi karena ketegaran hati mereka maka Musa mengizinkan kamu untuk menceraikan istrimu. Juga tujuan Musa mengizinkan untuk membuat surat cerai secara resmi supaya disaat pembuatan atau pengurusan surat ini memakan waktu yang lama, agar benar-benar dipertimbangkan matang sebelum cerai dengan istrinya.
Jadi tidak ada alasan karena berzinah atau tidak senonoh sebab Yesus Kristus di dalam Perjanjian baru memberi kesempatan bertobat kepada perempuan atau istri yang melakukan perzinahan.Dan mengenai pernikahan kembali hanya diizinkan kepada suami yang telah meninggal.


Manajemen Konflik

Manajemen Konflik

Organisasi terdiri dari berbagai macam komponen yang berbeda dan saling memiliki ketergantungan dalam proses kerjasama untuk mencapai tujuan tertentu. Perbedaan yang terdapat dalam organisasi seringkali menyebabkan terjadinya ketidakcocokan yang akhirnya menimbulkan konflik. Hal ini disebabkan karena pada dasarnya ketika terjadi suatu organisasi, maka sesungguhnya terdapat banyak kemungkinan timbulnya konflik.     
Timbulnya konflik karena perbedaan pandangan terhadap peran konflik dalam kelompok atau organisasi. Ada yang berpendapat bahwa konflik harus dihindari atau dihilangkan, karena jika dibiarkan maka akan merugikan organisasi. Berlawanan dengan ini, pendapat lain menyatakan bahwa jika konflik dikelola sedemikian rupa maka konflik tersebut akan membawa keuntungan bagi kelompok dan organisasi. Stoner dan Freeman menyebut konflik tersebut sebagai konflik organisasional (organizational conflict).
Konflik bisa terjadi bagi pribadi atau organisasi, konflik tidak dapat  dihindari. Konflik dapat menjadi masalah yang serius dalam setiap organisasi, tanpa peduli apapun bentuk dan tingkat kompleksitas organisasi tersebut, jika konflik tersebut dibiarkan berlarut-larut tanpa penyelesaian. Karena itu keahlian untuk mengelola konflik sangat diperlukan bagi setiap pimpinan atau manajer organisasi
Jadi, seorang seorang pemimpin perlu memiliki kreativitas dalam mencari pemecahaan dari suatu masalah. Contoh kasus yaitu dalam rapat mingguan sebuah perusahaan pastilah masing-masing individu memiliki argumen dan pendapat yang berbeda-beda. Perbedaan pendapat tersebut terkadang dapat memicu adanya suatu perdebatan yang apabila dibiarkan dapat berujung pada konflik. Dan tentunya hal ini dapat menghambat lahirnya suatu keputusan bersama. Untuk itu pimpinan perusahaan atau pimpinan rapat harus bersikap bijak.

BAB II
KAJIAN TEORI
A.    Defenisi Manejemen
Kata Manajemen berasal dari bahasa Perancis kuno ménagement, yang memiliki arti "seni melaksanakan dan mengatur.Manajemen belum memiliki definisi yang mapan dan diterima secara universal.  Mary Parker Follet, misalnya, mendefinisikan manajemen sebagai seni menyelesaikan pekerjaan melalui orang lain. Definisi ini berarti bahwa seorang manajer bertugas mengatur dan mengarahkan orang lain untuk mencapai tujuan organisasi.[1]
Konflik dalam pengertian yang sangat luas dapat dikatakan sebagai segala macam bentuk antar hubungan antar manusia yang bersifat berlawanan (antagonistik). Ia dapat terlihat secara jelas dan dapat pula tersembunyi.
Menurut kamus besar bahasa Indonesia, konflik adalah percekcokan, perselisihan atau pertentangan baik dari segi pemikiran atau kebijakan.
Menurut sosiologis, konflik merupakan proses antara dua orang atau lebih yang berusaha menyingkirkan dengan cara menghancurkan atau membuat tidak berdaya.
Dahulu konflik dianggap sebagai gejala atau fenomena yang tidak wajar dan berakibat negatif, tetapi sekarang konflik dianggap sebagai gejala yang wajar yang dapat berakibat negatif maupun positif tergantung bagaimana cara mengelolanya.
B.     Defenisi Konflik
Konflik berasal dari kata kerja Latin “configure” yang berarti saling memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya.
Para pakar ilmu perilaku organisasi, memang banyak yang memberikan definisi tentang konflik. Robbins mengatakan: “sebuah proses dimana sebuah upaya sengaja dilakukan oleh seseorang untuk menghalangi usaha yang dilakukan oleh orang lain dalam berbagai bentuk hambatan (blocking) yang menjadikan orang lain tersebut merasa frustasi dalam usahanya mancapai tujuan yang diinginkan atau merealisasi minatnya”. Dengan demikian yang dimaksud dengan Konflik adalah proses pertikaian yang terjadi sedangkan peristiwa yang berupa gejolak dan sejenisnya adalah salah satu manifestasinya. Stephen P. Robbins dalam bukunya perilaku Organisasi (Organizational Behavior) menjelaskan bahwa terdapat banyak definisi konflik. Meskipun makna yang diperoleh definisi itu berbeda-beda, beberapa tema umum mendasari sebagian besar dari definisi tersebut. Konflik harus dirasakan oleh pihak-pihak yang terlibat; apakah konflik itu ada atau tidak ada merupakan persoalan persepsi. Jika tidak ada yang menyedari akan adanya konflik, secara umum lalu disepakati konflik tidak ada. kesamaan lain dari definisi-definisi tersebut adalah pertentangan atau ketidakselarasan dan bentuk-bentuk interaksi. Beberapa faktor ini menjadi kondisi yang merupakan titik awal proses konflik.[2]
Jadi, konflik sebagai sebuah proses yang dimulai ketika suatu pihak memiliki persepsi bahwa pihak lain telah memengaruhi secara negatif, sesuatu yang menjadi kepedulian atau kepentingan pihak pertama. Definisi ini mencakup beragam konflik yang orang alami dalam organisasi-ketidakselarasan tujuan, perbedaan interpretasi fakta, ketidaksepahaman yang disebabkan oleh ekspektasi perilaku, dan sebagainya. Selain itu, definisi lain cukup fleksibel untuk mencakup beragam tingkatan konflik-dari tindakan terang-terangan dank eras sampai ke bentuk-bentuk ketidaksepakatan yang tidak terlihat
C.  Dampak Konflik
Konflik dapat berdampak positif dan negatif yang rinciannya adalah sebagai berikut :
1. Dampak Positif Konflik
Menurut Wijono bila upaya penanganan dan pengelolaan konflik karyawan dilakukan secara efisien dan efektif maka dampak positif akan muncul melalui perilaku yang dinampakkan oleh karyawan sebagai sumber daya manusia potensial dengan berbagai akibat seperti: Meningkatnya ketertiban dan kedisiplinan dalam menggunakan waktu bekerja, seperti hampir tidak pernah ada karyawan yang absen tanpa alasan yang jelas, masuk dan pulang kerja tepat pada waktunya, pada waktu jam kerja setiap karyawan menggunakan waktu secara efektif, hasil kerja meningkat baik kuantitas maupun kualitasnya.
Pertama, Meningkatnya hubungan kerjasama yang produktif. Hal ini terlihat dari cara pembagian tugas dan tanggung jawab sesuai dengan analisis pekerjaan masing-masing.
Kedua, Meningkatnya motivasi kerja untuk melakukan kompetisi secara sehat antar pribadi maupun antar kelompok dalam organisasi, seperti terlihat dalam upaya peningkatan prestasi kerja, tanggung jawab, dedikasi, loyalitas, kejujuran, inisiatif dan kreativitas.
Ketiga, Semakin berkurangnya tekanan-tekanan, intrik-intrik yang dapat membuat stress bahkan produktivitas kerja semakin meningkat. Hal ini karena karyawan memperoleh perasaan-perasaan aman, kepercayaan diri, penghargaan dalam keberhasilan kerjanya atau bahkan bisa mengembangkan karier dan potensi dirinya secara optimal.
Kelima, Banyaknya karyawan yang dapat mengembangkan kariernya sesuai dengan potensinya melalui pelayanan pendidikan (education), pelatihan (training) dan konseling (counseling) dalam aspek kognitif, afektif dan psikomotorik. Semua ini bisa menjadikan tujuan organisasi tercapai dan produktivitas kerja meningkat akhirnya kesejahteraan karyawan terjamin.
2. Dampak Negatif Konflik
Dampak negatif konflik (Wijono, 1993, p.2), sesungguhnya disebabkan oleh kurang efektif dalam pengelolaannya yaitu ada kecenderungan untuk membiarkan konflik tumbuh subur dan menghindari terjadinya konflik. Akibatnya muncul keadaan-keadaan sebagai berikut:
Pertama, Meningkatkan jumlah absensi karyawan dan seringnya karyawan mangkir pada waktu jam-jam kerja berlangsung seperti misalnya ngobrol berjam-jam sambil mendengarkan sandiwara radio, berjalan mondar-mandir menyibukkan diri, tidur selama pimpinan tidak ada di tempat, pulang lebih awal atau datang terlambat dengan berbagai alasan yang tak jelas.
Kedua, Banyak karyawan yang mengeluh karena sikap atau perilaku teman kerjanya yang dirasakan kurang adil dalam membagi tugas dan tanggung jawab.
Ketiga, Seringnya terjadi perselisihan antar karyawan yang bisa memancing kemarahan, ketersinggungan yang akhirnya dapat mempengaruhi pekerjaan, kondisi psikis dan keluarganya.
Keempat, Banyak karyawan yang sakit-sakitan, sulit untuk konsentrasi dalam pekerjaannya, muncul perasaan-perasaan kurang aman, merasa tertolak oleh teman ataupun atasan, merasa tidak dihargai hasil pekerjaannya, timbul stres yang berkepanjangan yang bisa berakibat sakit tekanan darah tinggi, maag ataupun yang lainnya.
Kelima, Seringnya karyawan melakukan mekanisme pertahanan diri bila memperoleh teguran dari atasan, misalnya mengadakan sabotase terhadap jalannya produksi, dengan cara merusak mesin-mesin atau peralatan kerja, mengadakan provokasi terhadap rekan kerja, membuat intrik-intrik yang merugikan orang lain.
Keenam, Meningkatnya kecenderungan karyawan yang keluar masuk dan ini disebut labor turn-over. Kondisi semacam ini bisa menghambat kelancaran dan kestabilan organisasi secara menyeluruh karena produksi bisa macet, kehilangan karyawan potensial, waktu tersita hanya untuk kegiatan seleksi dan memberikan latihan dan dapat muncul pemborosan dalam cost benefit.


BAB III
CARA MENGATASI MANEJEMEN KONFLIK
Para manajer/pemimpin memandang konflik secara negatif, karena itu berusaha untuk menghapuskan semua jenis konflik. Konflik dianggap mengganggu organisasi dan menghalangi pencapaian tujuan organisasi yang optimal.
Jadi untuk mengatasi konflik perlu dimengerti dan fahami untuk tidak  menjadi masalah besar bagi organisasi.Metode yang sering digunakan untuk menangani konflik adalah:
A.Mengenal Penyebab Konflik
Seorang pemimpin dapat melakukan setiap saat ketika ada indikasi konflik dan memperhatikan konflik yang nyata dan tersembunyi. Konflik yang nyata akan mudah dikenali dan dianalisis, tetapi konflik tersembunyi tidak demikian adanya. Konflik yang tersembunyi perlu dibuka melalui pemberian stimulus yang terencana supaya menjadi terbuka dan jelas. Soetopo dan Supriyanto  berpendapat apabila kedua konflik tersebut di organisasi tidak ada dan organisasi menunjukkan adanya kestatisan, pimpinan dapat merangsang timbulnya konflik dengan suatu maksud, sekolah menjadi dinamis dan ini diperlukan bagi terciptanya suasana yang kondusif bagi pencapaian tujuan penyelenggaraan.[3]
Sumber konflik lainnya yang potensial adalah faktor pribadi, yang meliputi: sistem nilai yang dimiliki tiap-tiap individu, karakteristik kepribadian yang menyebabkan individu memiliki keunikan (idiosyncrasies) dan berbeda dengan individu yang lain. Kenyataan menunjukkan bahwa tipe kepribadian tertentu, misalnya, individu yang sangat otoriter, dogmatik, dan menghargai rendah orang lain, merupakan sumber konflik yang potensial. Jika salah satu dari kondisi tersebut terjadi dalam kelompok, dan para karyawan menyadari akan hal tersebut, maka muncullah persepsi bahwa di dalam kelompok terjadi konflik. Keadaan ini disebut dengan konflik yang dipersepsikan (perceived conflict). Kemudian jika individu terlibat secara emosional, dan mereka merasa cemas, tegang, frustrasi, atau muncul sikap bermusuhan, maka konflik berubah menjadi konflik yang dirasakan (felt conflict). Selanjutnya, konflik yang telah disadari dan dirasakan keberadaannya itu akan berubah menjadi konflik yang nyata, jika pihak-pihak yang terlibat mewujudkannya dalam bentuk perilaku. Misalnya, serangan secara verbal, ancaman terhadap pihak lain, serangan fisik, huru-hara, pemogokan, dan sebagainya.
Jadi, inilah adalah langkah yang terpenting. Metode yang benar dan telah diuji mengenai siapa, apa,mengapa, dimana, dan bagaimana berhasil dengan sempurna. Pusatkan perhatian pada masalahutama dan bukan pada hal-hal sepele.

B.     Mendiagnosa Konflik

Metodenya mendiagnosa sebuah organisasi atau perusahaan yang mengalami gangguan. Adapun sorotan analisanya adalah pada peranan manajemen puncak, proses pembuatan suatu keputusan dan dampaknya, serta makna dari konflik dalam organisasi. Inilah langkah yang terpenting. Metode yang benar dan telah diuji mengenai siapa, apa, mengapa, dimana, dan bagaimana berhasil dengan sempurna. Memusatkan perhatian pada masalah utama dan bukan pada hal-hal sepele. Mendiagnosa konflik merupakan upaya untuk menentukan kualitas suatu konflik. Soetopo dan Supriyanto (2003:176) menyatakan kualitas suatu konflik dapat ditinjau dari dua segi yaitu intensitas dan keluasannya. Keduanya terkait satu sama lain, atas dasar ini kualitas konflik dapat diklasifikasikan menjadi a) konflik ringan/kecil (jika intensitas rendah dan keluasan kecil), konflik sedang (jika intensitas dan keluasannya sedang), dan c) konflik besar/berat (jika intensitas tinggi dan keluasannya besar).
Semua konflik dimaksud pada dasarnya perlu mendapat perhatian dan dicarikan solusi penyelesaian secara baik sesuai dengan situasi dan kondisi masing-masing. Diagnosa konflik bertujuan untuk menentukan taktik penyelesaian, apakah menggunakan taktik competitive (kompetisi), avoidant (penghindaran), accomodation (akomodasi), dan sharing orientation (kompromi), atau collaborative (kolaborasi). Organisasi harus memperhatikan konflik berdasarkan skala prioritas. Sehingga pengkajian terhadap suatu konflik perlu diperhatikan dengan baik agar pencapaian tujuan organisasi dapat terlaksana secara efektif dan efisien.
C.     Menyepakati Suatu Solusi
Mengumpulkanlah masukan mengenai jalan keluar yang memungkinkan dari orang-orang yang terlibat di dalamnya. Saringlah penyelesaian yang tidak dapat diterapkan atau tidak praktis. Jangan sekali-kali menyelesaikan dengan cara yang tidak terlalu baik. Carilah yang terbaik.
D.    Mengontrol Komunikasi
Suatu Komunikasi yang baik akan menciptakan lingkungan yang terapetik dan kondusif. Suatu upaya yang dapat dilakukan manajer untuk menghindari konflik adalah dengan menerapkan komunikasi yang efektif dalam kegitan sehari-hari yang akhirnya dapat dijadikan sebagai satu cara hidup.
Jadi dalam penyelesaian konflik sebagai pemimpin harus tetap menjaga komunikasi yang baik dang sopan dalam artian jangan sampai keluar kata-kata menghakimi, kata-kata kotor sehingga suasana tetap aman.
E.     Sikap Menghindar
Menghindari konflik dapat dilakukan jika isu atau masalah yang memicu konflik tidak terlalu penting atau jika potensi konfrontasinya tidak seimbang dengan akibat yang akan ditimbulkannya. Penghindaran merupakan strategi yang memungkinkan pihak-pihak yang berkonfrontasi untuk menenangkan diri. Manajer perawat yang terlibat didalam konflik dapat menepiskan isu dengan mengatakan “Biarlah kedua pihak mengambil waktu untuk memikirkan hal ini dan menentukan tanggal untuk melakukan diskusi” Russel Swanburg mengatakan:
Menghindaradalah suatu strategi yang memungkinkan kelompok konflik menjadi dingin. Manejer perawar dan mengelakkan isu dengan mengatakan “marilah kedua belah pihak mengambil waktu untuk memikirkan tentang hal ini dan tenttukan waktu untuk memikirkan tentang hal ini dan tentukan waktu untuk pertemuan waktu berikutnya.[4]
Jadi dalam sikap menghindar memerlukan waktu perenungan atau kesempatan untuk berfikir bagaimana cara penyelesaian yang lebih baik lagi.

F.      Mengakomodasi
Menghindari konflik dapat dilakukan jika isu atau masalah yang memicu konflik tidak terlalu penting atau jika potensi konfrontasinya tidak seimbang dengan akibat yang akan ditimbulkannya. Penghindaran merupakan strategi yang memungkinkan pihak-pihak yang berkonfrontasi untuk menenangkan diri. Manajer perawat yang terlibat didalam konflik dapat menepiskan isu dengan mengatakan “Biarlah kedua pihak mengambil waktu untuk memikirkan hal ini dan menentukan tanggal untuk melakukan diskusi”[5]  sebagaimana dikatakan Ann Jackman mengatakan:
Pendekatan ini nonkonfrontatif dan kooperatif, kebalikan dari bersaing. Ketika mengakomodasi, individu mengaibaikan kepentingannya sendiri untuk memuaskan kepentingan orang lain. Jadi, ada unsure pengorbanan diri dalam gaya ini. Akomodasi bisa berbentuk amal atau memberkati, mematui perintah orang lain padahal anda tidak ingin, atau menyerah pada cara pandang orang lain.[6]
G.    Sikap Kompromi
Dalam gaya ini perhatian pada diri sendiri maupun pada orang lain dlam posisi tengah. Dalam kompromi setiap orang memiliki sesuatu untuk diberikan dan menerima sesuatu. Kompromi paling efektif sebagai alat bila isu itu komplek dan menjadi pilihan bila metode lain gagal. Kompromi hampir selalu dijadika sarana oleh semua kelompok yang berselisih untuk memberikan sesuatu guna mendapatkan jalan keluar atau pemecahan.
H.    Bersaing
Pendekatan ini konfrontatif dan tidak kooperatif. Individu mengejar kepentingannya sendiri dengan mengorbankan kepentingan orang lain. Ini adalah gaya yang berorientasi pada kekuatan. Seseorang menggunakan kekuatan apapun yang bisa digunakan, misalnya kemampuan berdebat, sanksi ekonomi, untuk memegang kendali. Bersaing bisa berarti membela hak anda, mempertahankan posisi yang anda dapat benar, atau hanya berupaya untuk menang.

I.       SOLUSI
Pemecahan sama-sama menang dimana individu yang terlibat mempunyai tujuan kerja yang sama.Perlu adanya satu komitmen dari semua pihak yang terlibat untuk saling mendukung dan saling memperhatikan satu sama lainnya. Mengendalikan konflik berarti menjaga tingkat konflik yang kondusif bagi perkembangan organisasi sehingga dapat berfungsi untuk menjamin efektivitas dan dinamika organisasi yang optimal.
J.       EVALUASI
Meskipun keputusan telah disiapkan oleh masing-masing kelompok dan tim mediasi, keputusan tersebut harus dievaluasi oleh semua pihak yang terkait di dalam perusahaan atau kantor.[7]


BAB IV
KESIMPULAN

Manajemen konflik adalah serangkaian proses untuk mempertemukan kemepentingan dua belah pihak, menetralisir konflik, dan memulihkan pasca konflik. Manajemen konflik harus diawali dengan memetakan konflik, mendengar ketarangan dua belah pihak, mempertemukan kedua belah pihak, dan pengambilan keputusan untuk mengatasi konflik.
Konflik adalah saran untuk menghasilkan perubahan radikal. Konflik merupakan alat yang dengannya manajemen berubah secara drastic struktur kekuasaaan yang ada, pola-pola interaksi yang sedang berjalan, dan sikap yang sudah mengakar.
Kelompok atau organisasi yang tidak mengalami konflik kiranya akan menderita apati, kemandekan, sikap ikut-ikutan arus, dan penyakit-penyakit lainnya yang membuatnya lemah.
Jadi,  konflik bukanlah dihindari apalagi untuk di abaikan, akan tetapi konflik hendaklah harus dihadapi atau di kompromikan kepada pihak yang bertingkai.  Konflik dapat diatas jika komunikasi diantara para pihak yng terjadi konflik dapat dipahami dan dicari solusinya.










TEOLOGI PEMBEBASAN

Teologi Pembebasan


Berbicara mengenai teologi pembebasan berarti berbicara mengenai konteks teologi Kristen. Pembahasan ini tidak terlepas dari Amerika Latin dimana teologi ini lahir. Amerika Latin, bukanlah termasuk kategori “Barat”, tetapi kategori dunia ketiga. Ia merupakan salah satu obyek eksploitasi negara Barat. Penduduk Amerika Latin terdiri dari ras campuran, Indian, Afrika, Mongoloid, Jawa, Portugas, Spanyol dan suku-suku pribumi. Dalam periode abad 16-20 M, bangsa Portugis dan Spanyol menjadi “Raja” diantara suku-suku dan bangsa-bangsa di Amerika Latin melalui kolonialisme-nya sehingga dalam keanekaragamanan ras tersebut menimbulkan pengkotak-kotakan antara kulit putih dan kulit hitam.[1] Teologi pembebasan adalah sebuah paham akan peranan agama dalam lingkup sosial, yakni pengontekstualisasian ajaran-ajaran dan nilai agama pada masalah konkret yang terjadi disekitarnya. Menurut Eta Linnemann di dalam buku yang dimaksud dengan teologi pembebasan adalah: “teologi yang memperhatikan situasi dan penderitaan orang miskin. Keinginannya tidak lain daripada membela dan memihak kepada hak orang miskin”.[2]
A.    Latar Belakang
Pada awalnya munculnya di Eropa dandiperkenalkan oleh para teolog Katolik di Amerika Latin pada abad pertengahan sebagaimana dikatakan Fr. Wahono Nitiprawiro:
Teologi pembebasan pada awalnya muncul di Eropa abad kedua puluh dan menjadi studi penting bagi agama-agama untuk melihat peran agama dalam ancaman globalisasi dan menghindar manusia dari berbagai macam dosa, serta menawarkan paradigm untuk memperbaiki sistim social bagi manusia yang telah dirusak oleh berbagai system ideology dari perbuatan manusia sendiri.[3]
 Jadi, teologi Pembebasan muncul pada abad ke-20 seiring banyaknya permasalahan dunia yang sedang tidak merdeka dinilai dari sudut pandang keadilan sebagai manusia yang sama di hadapan Tuhan. Teologi pembebasan adalah sebuah paham tentang peranan agama atau gereja dalam ruang lingkup lingkungan sosial. Dengan kata lain teologi pembebasan adalah suatu usaha kontekstualisasi ajaran-ajaran dan nilai keagamaan atau nilai-nilai teologis pada masalah kongkret di sekitarnya. Teologi pembebasan muncul dari proses panjang transformasi pasca-Pencerahan refleksi teologis Kristen. Jadi, gerakan ini muncul karena perpaduan dari perubahan-perubahan internal dan eksternal. Secara internal gerakan ini muncul berbarengan dengan perkembangan aliran-aliran teologis dan keterbukaan terhadap perkembangan sains sosial modern.

B.     Pendiri Teologi Pembebasan
Gustavo Gutierrez Merino Lahir pada tanggal 8 Juni 1928 di Monserat, sebuah kawasan miskin di Lima, Ibu kota Peru. Ia berasal dari keluarga sederhana yang berdarah Mestizo, keturunan campuran Hispanic (Spanyol) dan Indian. Gutierrez adalah satu-satunya anak laki-laki dari tiga bersaudara. Meskipun ada kesulitan-kesulitan ekonomi, ia tidak mengalami kekurangan cinta dari keluarganya. Ketika berada di bangku sekolah menengah, Gutierrez diserang penyakit Osteomiletis. Penyakit ini menyebabkan kepincangan permanen pada kakinya. Penyakit ini pulalah yang menuntun dia memilih jurusan farmasi pada Universitas San Marcos, Lima. Tetapi, kemudian ia memutuskan untuk masuk seminari dan belajar filsafat-teologi di Seminari Santiago de Chile.[4]
Kehidupan Gustavo yang lahir dari keluarga sederhana dan perjumpaannya kepada Tuhan membuatnya mengambil keputusan untuk memperhatikan orang-orang kecil yang tertindas dan mendorongnya untuk melakukan kontekstualisasi dalam berteologi. Menurut Gutierrez pendekatan teologi Barat yang dia pelajari tidak dapat diaplikasikan dalam situasi masyarakat di Amerika Latin. Menurut dia, butuh pendekatan khas untuk berteologi dalam situasi yang sangat memprihatinkan di Amerika Latin waktu itu.
Ia menjadi anggota Akademi Bahasa Peru, dan pada 1993 dan dianugerahi Legiun Kehormatan oleh pemerintah Perancis untuk karyanya yang tak mengenal lelah. Gutierrez pernah belajar kedokteran dan sastra, psikologi dan filsafat, dan mendapat gelar doktor dari Institut Pastoral d'Etudes Religieuses (IPER), Université Catholique di Lyon. Karya terobosan Gutiérrez, A Theology  of  Liberation: History, Politics, Salvation tahun1971(Suatu Teologi Pembebasan: Sejarah, Politik, Keselamatan”) menjelaskan pemahamannya tentang kemiskinan Kristen sebagai suatu tindakan solidaritas penuh cinta kasih dengan kaum miskin maupun sebagai protes pembebasan melawan kemiskinan.
a.      Berkembangnya Teologi Pembebasan
Berkembangnya teologi pembebasan sangat dipengaruhi oleh ajaran Marx. Ada dua ajaran Karl Marx yang masuk dalam konsep teologi pembebasan Amerika Latin. Konsep perjuangan kelas, kaitannya dengan kemandirian individu. Setiap orang, begitu kata Gutierrez, haruslah memperjuangkan nasibnya dengan cara dan metode apapun. Jika perjuangan kelas Karl Marx lebih menekankan pada aspek ekonomi, maka perjuangan ala Gutierrez menekankan pada semangat “kemerdekaan dalam tatanan sosial”. Status sebagai orang merdeka, bebas dari penindasan, berdikari dan merumuskan/menjalani kehidupan sesuai dengan kehendaknya sendiri. Individu menjadi salah satu “juru selamat” bagi dirinya sendiri. Pengutukan terhadap kepemilikan pribadi. Dalam masyarakat Amerika Latin saat itu, harta kekayaan menjadi milik pribadi individu, dalam hal ini milik Spanyol dan Portugal. Pribumi hanyalah menjadi alat untuk meng-kaya-kan bangsa asing. Konsep “menebar kasih” telah dihilangkan oleh pemerintah colonial. Dan jelas, konsep menebar kasih ini telah ada di ajaran Kristen, agama yang juga dipeluk oleh bangsa Spanyol dan Portugal.[5]
Jadi, kelahiran teologi pembebasan dilatarbelakangi oleh pengalaman Gustavo yang lahir dari keluarga sederhana serta pengetahuan akan fungsi gereja sebagai garam dan terang dan juga pengalamannya yang tinggal bersama dengan orang-orang yang tertindas.
b.      Metodologi Teologi Pembebasan
Dalam memahami teologi pembebasan ini,  ada beberapa pemikiran praktis untuk memahami teologi pembebasan ini. Point pemikiran antara lain :
  1. Teologi pembebasan berawal dari reaksi terhadap sistem masyarakat yang tidak adil; Situasi, kondisi masyarakat pada waktu itu dalam keadaan miskin, tertindas, dipojokkan, diasingkan karena perbedaan warna kulit (sosial).
  2. Teologi Kristen “Allah mengasihi semua orang dan tidak membedakan status.
  3. Situasi kedua, berkembangnya teologi di Barat,
  4.  Teologi harus bersentuhan dengan kondisi sosial, karena ia lahir dari kondisi sosial.
  5. Teologi tidak bisa hanya dipahami sebagai yang “transenden” tetapi dia juga dipahami”.
  6. Teologi haruslah bersifat kontekstual,
  7. Menempatkan “aksi sosial” sebagai peran utama dalam pembebasan masyarakat tertindas.
Dari ketujuh point di atas bahwa yang terpenting di dalam teologi pembebasan ini adalah “bagaimana pernanan Alkitab secara nyata bagi orang yang tertindas baik secara kehidupan di dunia nyata maunpun di dunia akhirat yaitu pembebasan dari dosa dan masuk dalam persekutuan dengan Tuhan Allah dan semua manusia.  Gutierrez mengatakan bahwa Alkitab harus direfleksikan bukan saja kepentingan dunia semata, melainkan pembebasan dalam arti sebagai peziarahan seluruh manusia dalam segala keutuhan dan kedalaman hidupnya serta sekaligus pembebasan dalam arti penyelamatan manusia dari dosa. Lebih tegasnya Gutierrez ingin mnunjukkan lebih jelas tugas teologi dalam hubungan antara iman dan perjuangan pembebasan. Refleksi teologi diharapkan menjawab soal hubungan antara iman dan eksistensi manusia, soal-soal sosial, aksi politik atau hubungan antara Kerajaan Allah dan bangunan dunia. Ringkasnya, bagaimana hubungan antara iman dan penciptaan manusia baru yang merupakan tujuan perjuangan pembebasan.

C.     Pengajaran Teologi Pembebasan.
Konteks sosial yang terjadi adalah penindasan, kemiskinan, keterbelakangan, dan harkat manusia. Paham ini tumbuh bersama suburnya sosialisme di Amerika Latin, akhir 1960-an dan awal 1970-an. Teologi Pembebasan merupakan refleksi bersama suatu komunitas terhadap suatu persoalan sosial.
Teologinya berpusat pada pengentasan rakyat miskin yang diperlakukan tidak adil oleh sistem masyarakat kelas yang memisahkan manusia dalam kategori borjuis (para bangsawan yang biasanya kaya) dan proletar (rakyat jelata yang hanya punya anak namun tanpa harta) sebagaimana dikatakan Y. W. Wartaya Winangun
Teologi pembebasan adalah usaha untuk melakukan teologi local. Teologi ini mendasarkan diri pada pengalaman konkret dalam situasi umat beriman local. Keprihatinana teologi-teologi pembebasan itu sejalan dengan gerakan pemerdekaan maupun cita-cita kemanusian, gerkan untuk menumbuhkan solidaritas rakyat lemah, dan keadilan social. Dan dapat disebut beriorentasi pada kerakyatan yang tidak adil.[6]
.[7] Menurut Gutierrez,  mempunyai tiga dimensi utama:
Pertama, mencakup pembebasan politik dan sosial, penghapusan hal-hal yang langsung menyebabkan kemiskinan dan ketidakadilan.
Kedua, Pembebasan mencakup emansipasi kaum miskin, kaum marjinal, mereka yang terinjak-injak dan tertindas dari segala sesuatu yang membatasi kemampuan mereka untuk mengembangkan diri dengan bebas dan dengan bermartabat.
Ketiga, Teologi pembebasan mencakup pembebasan dari egoisme dan dosa, pembentukan kembali hubungan dengan Allah dan dengan orang-orang lain.
Dari refleksi kritis Gutierrez, jelas bahwa yang diperjuangkan oleh para teolog pembebasan Amerika Latin bukan saja kepentingan dunia semata, melainkan pembebasan dalam arti sebagai peziarahan seluruh manusia dalam segala keutuhan dan kedalaman hidupnya serta sekaligus pembebasan dalam arti penyelamatan manusia dari dosa.

Teologi pembebasan adalah bagian dari kerjaan Allah.[8] Teologi Pembebasan sendiri sebenarnya juga memiliki pengajaran yang didasarkan dengan Alkitab sebagaimana Allah membebaskan umat-Nya dari perbudakan bangsa Mesir:
Teologi pembebasan berpijak pada kenyataan bahwa Allah memihak pada orang-orang yang tertindas dan yang dikesampingkan. Ia membebaskan sekelompok pekerja-pekerja dari “rumah perbudakan Mesir” menjadikan mereka umat-Nya serta mengikuti perjanjian dengan mereka dan memberikan hokum kemerdekaan untuk mengatur hidup bermasyarakat mereka.[9]
Jadi, bagi pengajaran teologi pembebasan mempunyai pemahaman bahwa Allah dipahami sebagai pembebas (liberator) di dalam Perjanjian Lam dan Perjanjian Baru.[10] sebagaimana dikatakan dalam kitab PL maupun PB:
  1.  Bani Israel berada di tanah Mesir, Tuhan telah mendengarkan jeritan mereka, dan membebaskan mereka dari perbudakan dan penderitaan. (Keluaran 6:13).
  2. Nyanyian pujian Maria yang terdapat dalam Injil Lukas 1:46-55"... Ia memperlihatkan kuasa-Nya dengan perbuatan tangan-Nya dan menceraiberaikan orang-orang yang congkak hatinya; Ia menurunkan orang-orang yang berkuasa dari takhtanya dan meninggikan orang-orang yang rendah; Ia melimpahkan segala yang baik kepada orang yang lapar dan menyuruh orang yang kaya pergi dengan tangan hampa ...."
  3. Nubuat nabi Yesaya tentang pekerjaan Messias: "... untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang yang miskin; dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang." (Luk 4:18-19).
Dalam pengajaran teologi pembebasan ini, para teolog ini membedakan antara metode teologi pembebasan dengan teologi tradisional. Teologi tradisional adalah teologi yang membahas tentang Tuhan semata-mata, sementara teologi pembebasan adalah cara berteologi yang berasal dari refleksi iman di tengah realitas konkrit yang menyejarah. Yakni teologi yang memprihatini nasib dan solider kepada mereka yang menderita ketidakadilan, kalah, miskin, ditindas dan menjadi korban sejarah; teologi yang mau mentransformasikan dunia sebagaimana dikatakan dikatakan Y. W. Wartaya Winangun bahwa Teologi pembebasan memahami dirinya bukan sebagai cabang dari teologi, tetapi  merupakan orientasi keseluruhan reflesi teologis, yaitu orientasi pembebasan kaum miskin, tertindas, lemah dan yang diperlakukan secara tidak adil.[11]
Arah dasar teologi pembebasan adalah pembebasan kaum miskin, kaum lemah, dan kaum yang tertindas. Pembebabasan dimengerti secara menyeluruh meliputi pembebasan dari social ekonomi.[12] Edmund Woga menjelaskan bahawa teologi pembebasan ini menjelaskan:
Refleksi yang ditempuh oleh teologi pembebasan yang mengutamakan fenomena-fenomena historis dan kegiatan-kegiatan manusia merupakan cara yang memadai dalam menanggapi paham tentang keselamatan yang idealistis-utopis. Teologi ini mencoba menjembatani kesenjangan antara kata-kata, kesaksian, karena reflesksinya berdasarkan pengalaman social masyarakat di lapangan ditujukan kepada praksis pembebasan manusia dalam segala macam segi kehidupan.[13]
Refleksi kritis Gutierrez, jelas bahwa yang diperjuangkan oleh para teolog pembebasan Amerika Latin bukan saja kepentingan dunia semata, melainkan pembebasan dalam arti sebagai peziarahan seluruh manusia dalam segala keutuhan dan kedalaman hidupnya serta sekaligus pembebasan dalam arti penyelamatan manusia dari dosa.
Jadi, argument paling mendasar dari teologi pembebasan adalah bahwa gereja harus peduli pada refleksi, aksi dan usaha membangkitkan kesadaran orang-orang miskin mengenai perlunya bertindak untuk menjamun keadilan social. Dosa bukan hanya akibat kesalahan pribadi tetapi juga karena ketidakadilan, dan ini perlu diberantas oleh umat-umat Tuhan atau gereja.[  

                                                                               BAB IV
       Kesimpulan

Berdasarkan penguraian tentang Teologi Pembebasan di atas, dapat disimpulkan bahwa untuk memahami teologi pembebas secara efektif harus memperhatikan beberapa hal, pertama,  situasi budaya atau konteks latar belakang kehidupan Amerika Latin pada waktu itu atau berpusat pada konsep dalam social masyarakat.Kedua, mengkonfrontasikan perjuangan kelas, ekonomi dan ideologi yang berbeda dengan iman Kristen. Keempat, Teologi Pembebasan lebih merupakan ideologi (yaitu perpindahan dari masyarakat ke teologi) yang ada di bawah pengaruh Marxisme.Teologi pembebasan mencoba mengajarkan satu pandangan yang mencoba mengangkat status orang-orang yang tertindas oleh berbagai problem hidup. Masalah hidup seperti ekonomi dan yang lainnya menyebabkan rakyat jelata menderita, yang mana penderitaan tersebut dimanfaatkan oleh segelitir orang untuk semakin mengukuhkan kedudukannya di dalam sebuah badan organisasi termasuk di dalam gereja.
Teologi Pembebasan merupakan upaya berteologi secara kontekstual. Teologi Pembebasan yang diterjemahkan dari Bahasa Inggris Liberation Theology menjadi keharusan bagi kegiatan gereja-gereja dalam komitmen kristianinya pada kehidupan sosial. Teologi pembebasan lahir sebagai respons terhadap situasi ekonomi dan politik yang dinilai menyengsarakan rakyat. Masalah-masalah itu dijabarkan dalam penindasan, rasisme, kemiskinan, penjajahan, bias ideologi dsb. Pada kalangan Jesuit, baik di Asia termasuk Indonesia, Brazil , Amerika Latin, dan Afrika Selatan Teologi ini berkembang pesat sebagai dampak dari hermeneutika Alkitab secara kontekstual untuk menjawab persoalan yang dihadapi umat manusia. Teologi Pembebasan merupakan refleksi bersama suatu komunitas terhadap suatu persoalan sosial. Karena itu masyarakat terlibat dalam perenungan-perenungan keagamaan.Mereka mempertanyakan seperti apa tanggung jawab agama dan apa yang harus dilakukan agama dalam konteks pemiskinan struktural.pada intinya teologi pembesan ingin menjadikan atau membebaskan masyarakat dari keterbelakangan menuju masyarakat yang beradab dengan cara menjadikan semanngat atauh agama dijadikan ruh untuk melawan pemerintah.
Jika dipahami dan dipelajari lebih dalam lagi memang masih banyak yang belum setuju tentang teologi pembebasan namun penulis mencoba menggali dari latar belakang pendiri teologi pembebasan, maka dapat ditemukan bahwa tujuan semata-mata teologi ini adalah untuk keselamatan jiwa terutama bagi mereka yang masih tidak mendapat keadilan.
 Jadi, pembebasan haruslah dipandang sebagai antisipasi dan datangnya Kerajaan Allah, kerajaan yang didirikan keadilan, persamaan, persaudaraan, dan persekutuan solidaritas.
Praksis pembebasan adalah aktivitas transformasi masyarakat yang menguntungkan mereka yang tertindas, dan itu praktik penting dari Kasih Kristinai. Cinta Kristusharus dijelmakan dan dibuat kreatif dalam sejarah.teologi Gutierrez merupakan reaksi menentang metode tradisional dalam berteologi. Pada akhirnya, Gutierrez mengatakan bahwa gereja tidak akan memiliki suatu teologi pembebasan yang otentik sampai mereka yang tertindas mampu mengekspresikan diri mereka sendiri secara bebas dan kreatif di dalam masyarakat sebagai manusia Allah.
Jadi, teologi pembebasan adalah refleksi dari teologi dalam kontekstual untuk kemerdekaan dari dari perbudakan secara materiil maupun spiritual demi keselamtan jiwa.









Masih ada jalan keluar